Artikel

Terorisme, Ekses Politik Dunia

Ilustrasi: Kebetan Israel membombardir Pelestina
Ilustrasi: Kebejatan Israel membombardir Pelestina

Selain menampakkan wajah yang mengerikan, isu terorisme di masa ini juga telah beralih dari makna sesungguhnya. Kata teroris tidak lagi disematkan pada setiap orang yang berusaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman, tapi mulai mengarah pada tuduhan dan fitnah terhadap agama tertentu. Hal ini dapat memicu konflik keagamaan pada tingkat yang lebih besar, karena arus tuduhan dan benih kecurigaan antar pemeluk agama sudah begitu mengakar.

Selama ini, Islam adalah satu-satunya agama menjadi korban isu terorisme dunia. Saat aksi teror pecah, hampir pasti, Islam yang pertama kali dilirik sebagai biang keladi. Meskipun sebenarnya, terorisme tidak hanya dilakukan oleh sekelompok orang dalam Islam. Agama lain pun bisa melakukannya. Yahudi-Israel, misalnya. Namun demikian, mereka tidak pernah dicap sebagai teroris, meski telah membunuh puluhan ribu warga Palestina. Juga, negara-negara Barat yang telah membunuh puluhan ribu warga sipil dengan alasan untuk memburu teroris.

Maka, patut diwaspadai adanya kemungkinan permainan isu terorisme sebagai sarana kepentingan negara-negara Barat, dan merupakan permainan intelijen tingkat tinggi dunia. Nyatanya, negara-negara Islam yang selama ini dituduh melindungi teroris, dengan serta merta diintervensi oleh Barat, khususnya Amerika Serikat yang memproklamirkan diri sebagai motor penggerak anti terorisme dunia. Di balik topeng “pemberantasan terorisme”, ada banyak pengamat meyakini ada misi-misi lain di balik itu, seperti penjajahan kekayaan alam, sentimen agama, dan lain sebagainya.

Invasi terhadap negara-negara Islam seperti Iraq, Afghanistan, Palestina, Syria, dan Libya, sangatlah mungkin karena negara-negara tersebut memiliki kekayaan alam yang melimpah, terutama kandungan minyak yang menjadi kebutuhan paling pokok di dunia pada masa teknologi ini.

Persatuan negara-negara Islam bisa menjadi ancaman terbesar bagi Barat, karena negara-negara Islam memiliki sumber minyak yang bisa memainkan dan mengendalikan gerak perekonomian dunia. Dan, kekuatan ekonomi—sebagaimana telah maklum—merupakan sumber utama kekuatan politik.Oleh karena itu, tidak heran jika ada yang berasumsi bahwa Barat sangat tidak menyukai persatuan negara-negara Islam, karena persatuan itu berpotensi besar memainkan politik minyak. Maka, mereka melakukan berbagai macam cara untuk itu, termasuk dengan melakukan invasi,intervensi dan aksi militer, dengan alasan yang dibuat-buat.

Bukanlah sesuatu yang mengada-ada jika ada pihak yang menengarai bahwa runtuhnya Gedung WTC pada 11 September 2001 sengaja dibuat untuk menjadi modal AS dalam melegalkan segala penyerangan terhadap negara-negara Islam. Setelah tragedi itu, nyatanya AS memang menguasai dua negara Islam: Iraq dan Afghanistan. Lalu, berlanjut ke negara-negara Islam yang lain melalui pergolakan politik di Timur Tengah akhir-akhir ini, seperti di Libya, Mesir, Yaman dan Syria.

Syahdan, warga Timur Tengah yang sudah babak belur oleh gempuran AS dan sekutunya lari ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Bibit-bibit teror pun muncul dengan tujuan mengintimidasi warga AS dan sekutunya yang datang ke Indonesia. Mereka ingin menciptakan ketidaknyamanan bagi para musuh Islam itu.

Dalam melakukan aksinya, mereka tidak hanya bergerak sendiri, tapi memanfaatkan warga negara yang dituju dengan menyuntikkan ideologi dan keyakinan tertentu. Misalnya, ajaran jihad dalam Islam yang merupakan tindakan suci berbuah syahid. Ajaran ini mereka suntikan dengan pengertian-pengertian yang disempitkan untuk mencari pengikut.

Dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya cenderung konsumtif, “ideologi jihad” seperti itu mudah menemukan pasar. Apalagi, pada saat kebencian umat Islam terhadap kekejaman politik Barat sudah memuncak, dan kran kebebasan di negeri ini terbuka lebar sejak era reformasi. Sejak itu, Indonesia berubah total, begitu mengagungkan kebebasan sampai nyaris tanpa pagar, baik dalam politik, budaya, agama, hukum, ekonomi dan pendidikan. Maka, paham dari luar negeri bisa masuk dan berkembang dengan mudah, terutama paham-paham keagamaan, seperti Ahmadiyah, Syiah, Wahabi, Hizbut Tahrir, Mujahidin Khawarij dan al-Qaidah.

Di antara beberapa aliran itu, terdapat aliran garis keras yang meyakini Indonesia sebagai Dar al-Harb (negara musuh yang mesti diperangi). Aliran inilah yang menciptakan suasana dalam negeri seperti negara tempur, karena beranggapan bahwa di luar aliran mereka adalah orang-orang kafir yang halal dibunuh. Ada pula aliran yang berambisi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara kekuasaannya, sehingga mereka membentuk kekuatan secara politik sembari merekrut orang-orang yang wawasan kebangsaan dan keagamaannya lemah.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia dituntut bersikap arif, melihat dengan jernih bahwa mereka adalah anak-anak bangsa yang harus dibina. Jangan hanya menggunakan pendekatan kekerasan, tapi perlu juga pendekatan-pendekatan lain untuk berdialog dan mengetahui keinginan mereka. Aksi kekerasan yang mereka lakukan, sebetulnya ditimbulkan oleh kebijakan negara yang gagal memanfaatkan potensi dan kreativitas anak bangsa.

Mengapa disebut potensi? Rata-rata para pelaku teroris memiliki militansi yang kuat, pengetahuan dan kemampuan skill yang lumayan tinggi. Sayangnya, potensi itu tidak dimanfaatkan oleh pemerintah, sehingga mereka melampiaskan kemampuannya untuk kepentingan yang justru merusak citra bangsa. Ketika mereka berbuat anarkis, justru dibalas dengan anarkisme yang lebih tinggi, menciptakan teror berkelanjutan dengan membentuk Densus 88 yang memusnahkan banyak orang.

Lantas, apakah dengan cara itu terorisme bisa diselesaikan, lalu Indonesia menjadi aman? Bagaimana bisa disebut aman jika setiap kali ada penyerangan justru pihak keamanan meningkatkan kewaspadaan. Situasi keamanan negeri semakin memanas dan intelijen semakin panik dengan ancaman teror pembalasan. Makanya, tidak ada jaminan bahwa dunia akan lebih aman setelah pasukan Navy Seal AS menembak mati Osama bin Laden, 1 Mei yang lalu.

Mestinya, kenyataan ini menyadarkan negara-negara Barat dan pemerintah Indonesia bahwa rasa aman itu tak akan pernah ada kalau terorisme hanya direaksi dengan senjata. Akan selalu muncul terorisme-terorisme baru dalam wujud dan bentuk yang berbeda. Selagi AS masih semenamena terhadap negara Islam, khususnya Palestina, mustahil terorisme akan hilang.

Jadi, tindakan militer dalam memberangus terorisme bisa kontraproduktif jika tidak diimbangi dengan upaya-upaya yang lain. Tindakan militer saja hanya akan meningkatkan dendam dan eskalasi teror. Jika itu terjadi, bangsa ini berada dalam tubir kehancuran. Bukan tidak mungkin, setelah Timur Tengah dikuasai, Barat akan mengalihkan sasarannya kepada Indonesia dengan alasan memberangus terorisme. Saat ini, meski tak datang dengan membawa pasukan, mereka telah datang dengan kerjasama-kerjasama ‘manis’ yang sebenarnya sangat berpotensi meracuni kedaulatan bangsa ini. Wallahu a’lam.[]

___________________________________________________________________

Dikutip dari Topik Utama Buletin Sidogiri Edisi 62 Syaban 1432 H
Oleh : Masyhuri Mukhtar 

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *