Artikel

Mu’allaqat; Media Sastra Terdahulu

Kita sudah tahu, bahwa pra-Islamlah kejayaan kesusastraan paling tepat. Sehingga, percakapan sehari-hari pun tidak lepas dari nilai estetika. Pada waktu itu, hukum rimba zaman Ramses II berulang kembali, tapi tak lagi adu kekuatan, melainkan adau keindahan syair.
Pada waktu itu pula, satu mukjizat dari segala mukjizat Nabi Muhammad SAW (yang sudah pasti mengungguli mukjiat para nabi lainnya) yang diaggap paling top adalah al-Quran. Saking perhatiannya orang ara dulu pada keindahan bahasa.
Sesekali timbul pertanyaan, mengapa mereka bisa demikian? Jawabannya satu: kepedulian.
Jika di sini kalian mengenal banyak majalah dinding, yang terbuat dari kaca plus ditempel pada bangunan kubus yang berisi 36 toilet, orang Arab tempo dulu berbeda.
Mereka hanya mengenal selembar syair terunggul, yang ditulis dengan tinta emas plus ditempel pada bangunan kubus paling suci sedunia, Kakbah.
Pantas saja jika kesusastraan menjadi sesuatu yang diperioritaskan, jika pengagungannya pada syair begitu besarnya. Semisal contoh, olahraga paling diminati dunia saat ini adalah sepak bola. Hal itu wajar. Mengingat, fasilitas yang disediakan, gelora yang dibangun serta hadiah yang disiapkan tidak tanggung-tangung. Sehingga, pertandingan kian bergengsi dan diminati.
Saya sangat berharap, wabil-khusus kepada pesantren jika dapat memberikan perhatian lebih pada kesusastraan. Agar kesusastraan Islam tidak “dikudeta” oleh oarang kafir. Jika terjadi, fan-tadziris-sâ’ah. Tunggulah akibatnya!

Muhammad ibnu Romli/sidogiri.net

Shares:
Show Comments (1)

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *