Artikel

RIBA; PENYAKIT KRONIS EKONOMI BANGSA

Definisi Riba
Menurut Imam Badruddin al-Aini, prinsip dasar dalam riba adalah penambahan. Dalam termenologi fikih, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.[1] Sedangkan menurut Imam as-Sarakhsi, salah satu pengikut madzhab Hanafi, riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi jual-beli tanpa adanya imbalan.[2]

Macam-macam Riba
Secara umum riba dikelompokkan dalam dua bagian; (1) riba hutang-piutang; dan (2) riba jual-beli. Selanjutnya, riba kelompok pertama terbagi lagi menjadi dua kategori, yaitu riba qardh dan riba jahiliyah. Sementara riba kelompok kedua, riba jual-beli, juga dibagi lagi menjadi dua, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.

  1. Riba qardh ialah manfaat atau barang tertentu yang disyaratkan oleh pihak kreditor terhadap pihak debitur.
  2. Riba jahiliyah ialah pembayaran pinjaman melebihi harta pokok yang dipinjam ketika pihak peminjam tidak mampu membayar pokok hutangnya dalam batas waktu yang ditentukan.
  3. Riba fadhl adalah pertukaran barang (ribawi) yang sejenis di mana salah satu kadar barang yang dipertukarkan tidak sama dalam segi timbangan atau takarannya.
  4. Pertukaran barang ribawi dimana penyerahan atau penerimaan barang yang dipertukarkan ditangguhkan.[3]

Melihat beberapa jenis riba yang telah disebutkan di atas, tampaknya riba yang sering dipraktekkan di lapangan hanya ada tiga, yaitu riba qardh, riba jahiliyah, dan riba fadhl. Lalu, dari tiga jenis riba yang sering dipraktekkan di lapangan ini, tampaknya riba qardh-lah yang menempati intensitas paling tinggi dibandingkan dengan jenis riba yang lainnya.

Dalil Keharaman Riba
Sebagaimana telah maklum, bahwa hukum riba adalah haram. Di dalam al-Qur’an Allah I berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran [3]: 130).

Di dalam ayat yang lain, Dia I juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 278).

Penyakit Kronis Ekonomi
Tentu saja pelarangan riba bukan tanpa alasan. Jika Islam memberikan perintah atau larangan untuk melakukan dan atau meninggalkan sesuatu, itu berarti ada mashlahah yang hendak dicapai atau mafsadah yang hendak dihilangkan. Karena secara prinsip, tujuan syariah Islam adalah untuk menciptakan mashlahah dan menghilangkan mafsadah bagi dua elemen, yaitu individu dan masyarakat.[4] Karena itu, Islam beserta agama-agama lain di luar Islam, sangat mengecam terhadap aktivitas riba. Demikian ini karena aktivitas riba menimbulkan banyak kerugian serta menimbulkan keresahan bagi masyarakat, baik dilihat dari aspek ekonomi, sosial, moral, agama, maupun kenegaraan.

Setidaknya ada tujuh dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh praktek riba. Berikut adalah daftar dampak negatif yang dimaksud, antara lain;

Pertama, mengambil harta orang lain tanpa imbalan. Contoh kongkritnya ialah Bapak Fulan memiliki uang Rp. 10.000.00-, kemudian uang tersebut ditukar dengan Rp. 12.000.00-,. Dalam kasus ini, jelas bahwa Bapak Fulan mendapatkan keuntungan Rp. 2.000.00-, dimana keuntungan tersebut tidak diimbangi dengan imbalan yang diberikan kepada pihak lain. Padahal, mengambil keuntungan dari orang lain tanpa memberinya suatu imbalan yang sepadan hukumnya haram. Inilah yang disebut dengan dampak negatif riba dilihat dari aspek keagamaan.

Kedua, menyebabkan hilangnya nilai kebajikan yang terkandung dalam transaksi hutang-piutang. Sebagaimana telah maklum, hutang-piutang merupakan jenis transaksi non-komersial (baca: tabarru’) yang bertujuan membantu sesama yang sedang mengalami kesulitan. Karena itu, apabila pengambilan bunga dilegalkan, maka nilai kebajikan tersebut akan hilang dari transaksi hutang-piutang. Sebab pengambilan riba akan merubah status akad yang bersifat non-komersial menjadi akad yang bersifat komersial. Inilah dampak negatif riba jika ditinjau dari aspek moral.

Ketiga, jika masyarakat bertumpu pada keuntungan riba, pada akhirnya masyarakat akan malas untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif. Sebab, ketika seorang kreditor bisa mendapatkan keuntungan, baik tunai maupun kredit, hanya dengan mengutangkan uangnya, tentu saja ia akan merasa malas melakukan kegiatan riil, seperti aktivitas perkantoran, perniagaan, pertambangan, kerajinan dll. Jika demikian, maka hasilnya akhirnya sangat mudah ditebak, yakni akan terjadi beragam kealpaan diberbagai sektor riil, mulai dari pertanian, perniagaan, pertambangan, kerajinan, transportasi dan sebagainya. Padahal, kemaslahatan umat manusia tidak dapat dicapai kecuali dengan mengaktifkan segala kegiatan di berbagai sektor riil. Inilah dampak negatif yang akan menimpa sektor ekonomi publik apabila pengambilan riba dilegalkan, lebih-lebih jika hal itu dilakukan secara besar-besaran.

Keempat, dilihat dari segi sosial-kemasyarakatan, umumnya orang yang memberikan pinjaman (baca: hutangan) adalah mereka yang status ekonominya mapan dari mereka yang membutuhkan pinjaman. Nah, apabila pengambilan bunga dilegalkan, bukankah itu berarti si kaya memakan harta si miskin? Jika demikian, maka pihak yang ekonominya sudah mapan akan bertambah mapan, sementara pihak yang ekonomi di bawah akan semakin termarginal.[5]

Kelima, dilihat dari aspek ekonomi, pengambilan bunga bisa menyebabkan keadaan inflatoir (peningkatan inflasi) yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Demikian ini disebabkan oleh fakta, bahwa salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Artinya, semakin tinggi suku bunga, maka semakin tinggi pula harga yang ditetapkan pada suatu barang.

Keenam, dampak negatif pengambilan riba dalam sektor ekonomi lainnya ialah, rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga dalam hutang akan menjadikan pihak peminjam tidak bisa keluar dari ketergantungannya pada kreditor, lebih-lebih apabila bunga pinjaman tersebut masih dibungakan. Contoh kongkritnya adalah hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun pinjaman ini disebut pinjaman lunak, artinya hutang dengan suku bunga yang rendah, pada gilirannya negara-negara yang berhutang harus berhutang lagi untuk membayar pokok hutang dan bunganya, atau bunga dari bunga itu sendiri. Maka, terjadilah hutang yang terus berkelanjutan yang tak akan pernah bisa terlunasi. Pada akhirnya, negara-negara yang berhutang akan tergadaikan pada negara-negara yang memberi pinjaman, syukur-syukur jika tidak dijual pada negara pemberi pinjaman.

Ketujuh, riba merupakan pendapatan yang diperoleh dengan cara yang tidak adil. Jika diamati, para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintah orang lain untuk berusaha dan mengembalikan pinjaman pokoknya 25 o/o lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Jika uang pinjaman itu digunakan untuk kegiatan bisnis yang produktif, barangkali peminjam masih mungkin untuk mendapatkan keuntungan melebihi 25 o/o dari yang disyaratkan oleh kreditor. Masalahnya, siapa yang bisa menjamin bahwa debitur akan mendapatkan keuntungan lebih dari 25 o/o? Belum, Jika uang pinjaman itu tidak digunakan untuk kegiatan yang produktif, melainkan untuk kebutuhan konsumtif, maka sudah tentu debitur tidak mendapatkan keuntungan apapun dari uang pinjamannya tersebut.[6]

Golongan Pro Riba
Meski pengambilan riba jelas-jelas menyebabkan dampak negatif terhadap sektor ekonomi, sosial, moral, dan bahkan negara, namun demikian tetap saja ada kelompok yang mencoba melegalkan pengambilan riba. Maka, ada beberapa teori yang dikembangkan oleh kelompok ini. Di sini kami hanya sebutkan dua di antaranya.

Pertama, teori abstinence. Menurut teori ini, pengambilan bunga dapat dibenarkan disebabkan kreditor menahan diri (baca: abstinence) untuk menggunakan uangnya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan orang lain (debitur). Dengan demikian, ia tidak bisa mendatangkan keuntungan untuk dirinya sendiri dari uang yang dipinjamkan kepada debitur.

Kedua, teori nilai uang pada masa mendatang lebih rendah dibandingkan nilai uang di masa sekarang. Sebagai contoh, uang Rp. 10.000.000.00-, di masa sekarang, nilainya akan setara dengan nilai uang Rp. 12.000.000.00-,. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila pihak kreditor mengambil bunga atas modal yang dipinjamkan. Bunga tersebut sebagai kompensasi dari penurunan nilai uang yang dipinjam oleh debitur.

Jika diamati sekilas, dua teori di atas tampak rasional. Namun demikian, apabila diteliti lebih lanjut, kita akan menemukan  kerancuan pada nalar dua teori tersebut. Pertama, dalam teori abstinence, benarkah pihak yang memberikan hutangan terhalangi untuk mendapatkan keuntungan dikarenakan keinginannya tertunda disebabkan mendahulukan kebutuhan orang lain? Jawabannya adalah tidak. Karena kenyataannya, pihak kreditor tidak akan meminjamkan uangnya kepada debitur kecuali uang tersebut tidak dibutuhkan. Disamping itu, uang yang dihutangkan kepada debitur juga belum tentu mendatangkan keuntungan andaikan uang tersebut dikelola oleh kraditor itu sendiri. Jadi, keuntungan yang mana yang tidak dapat didatangkan itu?

Kedua, teori yang menyatakan bahwa nilai uang pada masa sekarang lebih tinggi dari nilai uang di masa mendatang, juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak. Sebab, dalam dunia ekonomi tidak hanya ada inflasi, tetapi juga ada deflasi dan ekuilibrium. Jadi, fonis nilai uang pada masa sekarang lebih tinggi dari nilai uang di masa mendatang adalah fonis yang terburu-buru.[7] Sebab kenyataannya, nilai uang di masa mendatang bisa lebih tinggi atau, minimal, setara dengan nilai uang di masa sekarang.

Penulis: Siddiq SF. Artikel ini pernah dimuat di Buletin IstinbaT

____________________________________________________________________________________

[1] Al-Aini, Badruddin, Umdat al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Costantinople: Matba’ah al-Amira, 1310 H, vol. V, hal. 436.

[2] As-Sarakhsi, al-Mabsûth, vol. XII, hal. 109.

[3] Al-Haitamy, Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar, Az-Zawâjir an Iqtirâf al-Kabâ’ir, Bairut: Dar al-Fikr, vol. I, hal. 4

[4] Az-Zuhaily, A.D. Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Syuriah: Dar al-Fikr, vol. I, hal. 22.

[5] Ali Nayif asy-Syahud, Al-Mufashshal fî ahkâmir Riba, vol. II, hal. 138

[6] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah; Suatu Pengenalan Umum, hal. 95-96

[7] Ibid, hal.

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *