Feature

Menjelang Musyawarah Nahwu Jilid III

Oleh: Miromly Attakriny

Mengadakan musyawarah khusus ilmu alat, tidak semudah menapakkan kaki. Selain peminat berkurang, pembahasan nahwu-sharaf terasa tidak menyentuh realita kehidupan. Namun, bukan berarti santri angkat tangan: membiarkan hal semacam ini berlalu. Dua pekan lalu, kelas adab Idadiyah, bekerjasama dengan Daerah O mengadakan musyawarah Nahwu.

Salah-satu musyawirin sedang mencari ibarat yang cocok, untuk memperkuat argumennya.

Jumat (09/08) menjadi sejarah memukau bagi yang memiliki cita-cita menjadi nuhat (ulama Nahwu). Musyawarah yang selama ini mereka idamkan, terwujud di halaman Daerah N.

Musyawarah ini akan menjadi rutinitas setiap Jumat pagi. Diskusi perdana, berjalan mulus, meski bertepatan dengan puasa Tarwiyah. Dengan pembahasan lebih lanjut, seputar istilah “jumlah” dalam Nahwu, beserta mengobrak-abrik aneka-ragam wawu yang ada.

Meski panas, penonton tetap sigap menyimak alur musyawarah.

Diskusi kedua, tambah seru dengan topik pembahasan ibarat. Deretan kata yang dibahas ini, berada di Fathul-Qarib. Tentang janin al-mudzakah. Ibarat yang ada menggunakan fala yustatsna, tidak dikecualikan (dari bangkai najis).

“Bila diartikan secara zahir, berarti janin al-muzakah termasuk bangkai, lantaran tidak dikecualikan dari bangkai,” ujar Hayatul Makki, musyawirin yang hadir.

Namun, menurut musyawir yang lain menyanggah dengan takbir keterusannya. Yang menurutnya bertentangan.

“Gak bisa semacam itu. Wong, kelanjutannya ada lafal wakatdza ghairuhu minal mustatsnayati. Berarti termasuk pengecualian,” sanggahnya.

Sanggahan ini didukung oleh Ali Akbar, salah satu perumus dari Daerah O. Dia membacakan syarahnya di Hasyiyah Bayjuri.

“Di bayjuri-nya dijelaskan: janin al-muzakah itu suci, dan bisa dimakan. Sebab, bukan bangkai,” begitulah cuplikan ucapannya sebagai bentuk dukungan.

Setelah mereka larut dalam kebingungan, perumus lain dari Daerah O angkat suara.

“Kita sudah bisa ambil benang merah di sini,” selat Muhammad ibnu Romli, salah-satu perumus dari Daerah O.

Sorotan tertuju semua kepada perumus yang satu ini. Suasana hening seketika. Sambil menghirup nafas, perumus asal Bangkalan ini melanjutkan.

“Yang hendak di sampaikan oleh mushannif ialah: janin al-muzakah bukanlah termasuk mustatsnayat. Dengan kata lain, janin bukanlah bangkai, tetapi suci lantaran mustatsnayat. Janin itu suci lantaran bukan bangkai,” begitu ucapannya.

Musyawirin diam, menantikan penjelasan lebih lanjut. Begitu pun penonton, yang sudah merasakan terik panas matahari. Beberapa detik berlalu, perumus itu melanjutkan keterangannya.

“Di kitab besar, banyak menyebutkan bahwa janin al-muzakah dan lain semacamnya termasuk dari mustatsnayat. Dengan kata lain, janin itu bangkai, tetapi suci, karena pengecualian. Itulah uang dibantah oleh Syekh Ibnu Qasim dalam Fathul-Qarib, begitupula selain janin, yang disebut mustatsnayat di kitab besar. Semua itu bukanlah mustatsnayat!” Tegasnya.

Saking serunya, lebih satu jam, mereka hanya berhasil membahas satu masalah saja. Masalah selanjutnya, akan dibahas pada Jumat mendatang (30/08). Dengan permasalahan lafal yang ada di Tuhfatut-Tullab.

Menjelang diskusi ketiga itu, kini, murid kelas Adab Idadiyah, dan warga Daerah O sedang mencari referensi tepat sesuai dengan masalah yang dibahas.

 

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *