Masyayikh SidogiriUnggulan

KH. BAHAR BIN NOERHASAN KIAI ALIT BERILMU LADUNNI (Bagian I)

KH. BAHAR BIN NOERHASAN KIAI ALIT BERILMU LADUNNI
KH. BAHAR BIN NOERHASAN KIAI ALIT BERILMU LADUNNI

Lahir di Tengah Laut

Hadratussyekh KH Bahar bin Noerhasan bin Noerkhotim masih kanak-kanak ketika dinobatkan menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri (PPS). Saat itu beliau berumur 12 tahun. Meski demikian, Kiai Bahar adalah sosok alim yang luar biasa. Beliau terkenal memiliki ilmu ladunni, ilmu yang diberikan langsung oleh Allah tanpa proses belajar. Karena usianya yang sangat muda, beliau dikenal dengan sebutan Kiai Alit (dalam bahasa Jawa, “alit” berarti “kecil”).

Kehidupannya yang unik menjadikannya sangat menarik untuk dipelajari dan disusun dalam bentuk sejarah khusus. Namun demikian, dalam penyusunan itu tidaklah semudah yang dibayangkan. Pencarian data dan analisis yang tepat mengenai kehidupan kakak KH. Nawawie bin Noerhasan ini cukup sulit bagi tim yang dipercaya untuk membukukan sejarahnya.

Sebelum Kelahiran Kiai Bahar

Saat itu, pertengahan abad 19, Pondok Pesantren Sidogiri masih berupa bilik-bilik kecil yang sangat sederhana. Dengan desain bilik cangkruk, kesan klasik menjadi sangat mencolok jika melihatnya. Namun, ada sesuatu yang istimewa di dalamnya. Dari bangunan-bangunan ala kadarnya itu telah banyak tumbuh ulama-ulama yang menebarkan wanginya nilai-nilai ajaran agama Islam di seantero tanah Jawa dan Madura.

Para santri pada waktu itu bersemangat mengikuti pengajian KH Noerhasan bin Noerkhotim. Kiai Noerhasan senantiasa ikhlas menyalurkan ilmunya kepada mereka. Beliau yang dulunya santri Sidogiri yang sangat alim berkat ketekunan belajarnya dan memiliki sifat tawadu yang tinggi, setelah menjadi pengasuh beliau terkenal khumûl (tidak suka menampakkan kelebihan yang dimiliki) dan tidak tidur malam hari (sâhirul-layâlî). Selain itu, beliau merupakan sosok ahli ibadah.

Ketika mondok di Sidogiri, Kiai Noerhasan adalah salah satu santri KH Mahalli. Beliau mendapat perhatian khusus dari Kiai Mahalli. Karena sifat-sifat mulianya tersebut, hingga suatu hari dinikahkan dengan Nyai Hanifah, putri Kiai Mahalli.

Lahir di Perjalanan ke Makkah

Perlahan-lahan kapal itu menarik sauh dan meninggalkan pelabuhannya. Hari itu hamba-hamba Allah akan memenuhi panggilan-Nya untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah, Makkah al-Mukarramah. Dalam perjalanan itu, Kiai Noerhasan bin Noerkhotim adalah salah satu penumpang kapal sebagai calon jamaah haji, dengan ditemani istrinya yang hamil tua, Nyai Hanifah. Walaupun alat transportasinya hanyalah kapal laut sederhana yang menyebabkan perjalanan harus ditempuh cukup lama, keduanya bersyukur dapat memenuhi panggilan Tuhan. Kapal laut saat itu merupakan satu-satunya alat transportasi untuk mencapai tanah Arab.

Beberapa lama kemudian, saat kapal berada di tengah samudera, Nyai Hanifah merasa akan melahirkan. Dengan perlengkapan dan bantuan seadanya, sekuat tenaga ia mencoba berjuang melewati detik-detik penting yang mempertaruhkan nyawanya. Bahkan juga nyawa bayinya. Ketegangan pun menyelimuti para penumpang lain yang menunggu kabar di luar kamar dengan harap-harap cemas.

Tiba-tiba jerit tangis seorang bayi terdengar keras. Bayi laki-laki yang baru keluar dari rahim ibunya itu menyapa manusia-manusia dengan tangisannya. Ungkapan syukur melompat-lompat dari mulut setiap orang yang menyaksikan keharuan itu. Terlebih pasangan Kiai Noerhasan dan Nyai Hanifah yang baru saja menjadi seorang ayah dan ibu.

Dalam suasana bahagia menyambut anak pertamanya, Kiai Noerhasan mengumandangkan suara azan di telinga kanan dan suara ikamah di telinga kiri sang bayi. Nama Allah dan Muhammad diperdengarkan dan diperkenalkan kepada si mungil dengan indah, memasuki lubang telinganya. Lalu dari air gentong yang dibawa sebelum berangkat, beliau memandikan si kecil untuk pertama kalinya. Dingin dan segar.

Bayi itu lahir pada pertengahan 1800-an. Karena kelahirannya di tengah laut, dan diharapkan menjadi orang yang berpengetahuan luas dan mendalam, bayi itu oleh Kiai Noerhasan diberi nama Bahrul ‘Ulûm. Artinya, lautan ilmu. Bahrul Ulum—yang nama panggilan sehari-harinya Bahar— merupakan anak pertama dari enam bersaudara putra-putri Kiai Noerhasan bin Noerkhatim dan Nyai Hanifah binti Mahalli. Selain anak pertama, ia satu-satunya anak yang terlahir di tengah laut di antara saudara-saudaranya. Adiknya, dua laki-laki dan tiga perempuan. Yakni KH Dahlan (Sukunsari), KH Nawawie (Sidogiri), Nyai Munawwarah (Serambi), Nyai Fathonah (Sidogiri), dan Nyai Anisatun (Sidogiri).

Bahar kecil hidup di bawah naungan keluarga yang penuh kasih sayang, dan ajaran-ajaran bernafaskan agama mewarnai kehidupannya. Ayahnya seorang Pengasuh PP. Sidogiri yang kesohor dengan kealimannya sejak mondok, dan ibunya adalah putri seorang Pengasuh PP. Sidogiri, KH Mahalli (atau KH Musliman). Sementara ayahnya menjalankan aktivitas-aktivitas religius sebagai pengasuh PPS dan tokoh terpandang di mata masyarakat, ibunya mengatur rumah dan membesarkannya. Setiap hari air susunya selalu membasahi bibir si bayi. Bahar kecil belajar berjalan bersama ibunya, hingga suatu saat ia bisa berjalan dan bahkan berlari.

Ingin Berkat tanpa Hadir Undangan

Walaupun waktunya banyak dihabiskan dengan kesibukannya sebagai Pengasuh PPS, KH Noerhasan bin Noerkhotim masih menyempatkan diri mengunjungi kerabat-kerabatnya yang jauh, demi mempererat tali kekeluargaan. Misalnya, beliau pernah ke Bangkalan untuk bertemu Syaichona Cholil (1835-1925), keponakan sepupunya dari keturunan Kiai Asror yang sekaligus santrinya sendiri, yang telah menjadi ulama besar di Madura. Dalam kunjungannya ini, beliau mengajak kedua putranya yang masih kecil, Kiai Bahar dan Kiai Nawawie.

Meski sudah menjadi kiai yang sangat berpengaruh, Kiai Cholil tidak pernah melepaskan sifat tawaduk terhadap gurunya. Beliau sangat senang mendapat kunjungan orang yang pernah membekalinya dengan ilmu pengetahuan itu.

Dalam kunjungan tersebut, Kiai Cholil bertanya kepada Bahar kecil, mindoan-nya itu, “Kamu ingin mendapat berkat (dengan menghadiri undangan), atau diam di rumah (tanpa menghadiri undangan) tapi mendapatkan berkat?”

”Ya, (kalau saya) enakan di rumah diantarin berkat!” jawab Kiai Bahar singkat.

Lalu Kiai Nawawie ditanyai juga oleh Syaichona,“Kalau kamu bagaimana?”

Namun jawaban Kiai Nawawie berbeda dengan jawaban kakaknya, ”Ya enakan ikut ke sana (undangan dan) dapat berkat.”

Sebenarnya, pertanyaan yang diajukan Kiai Cholil itu bukanlah pertanyaan biasa. Pertanyaan itu berhubungan dengan cara mereka memperoleh ilmu di kemudian hari.

“Kalau kamu, nggak usah cari ilmu,” lanjut Kiai Cholil sambil menunjuk pada Kiai Bahar. Lalu beliau menoleh kepada Kiai Nawawie, ”Kalau kamu, harus kasab (usaha).” Ternyata, apa yang diucapkan Kiai Cholil menjadi kenyataan. Kiai Bahar kemudian terkenal dengan ilmu ladunni-nya; sedangkan Kiai Nawawie terkenal dengan barakahnya, berkat ilmu yang dituntutnya di beberapa tempat selama bertahun-tahun.

Berguru kepada Syaikhona Cholil

Pekembangan KH Bahar bin Noerhasan kecil tidak lepas dari pengawasan KH Noerhasan bin Noerkhotim, ayahnya. Kiai Noerhasan mendidik putra pertamanya itu dengan baik, karena ialah kelak yang diharapkan menjadi penerus perjuangannya. Kemudian, setelah dirasa cukup umur, maka Kiai Noerhasan berencana untuk memberangkatkan putranya itu menuntut ilmu ke pesantren lain.

Kiai Noerhasan adalah orang yang tawaduk dan menghormati orang alim, walaupun santrinya sendiri. Meski dirinya seorang kiai besar, beliau memilih salah satu santrinya untuk mendidik putranya. Putranya, Kiai Bahar, dimondokkan kepada Syaichona Cholil di Bangkalan Madura. Beliau adalah seorang wali dan ulama besar, hafal al-Quran pada masa kecil, pakar Fikih, Nahwu, dan Tasawuf, juga mursyid tarekat Qadariyah wan Naqsyabandiah.

Kiai Cholil merupakan salah satu santri yang mengaji kepada Kiai Noerhasan bin Noerkhotim, ayah Kiai Bahar, walaupun tidak mondok di Sidogiri. Beliau mondok di PP Keboncandi Winongan (ke timur Warungdowo, Pasuruan). Setiap hari beliau berjalan kaki menempuh jarak kira-kira 20 kilometer ke Sidogiri untuk mengaji.

Dalam perjalanan, tiap kali menjumpai pohon besar beliau berhenti dan membaca surat Yasin satu kali. Hingga ketika sampai di Sidogiri, beliau telah membaca surat Yasin 20 kali. Begitu pula dalam perjalanan pulang setelah menimba ilmu dari Kiai Noerhasan, beliau membaca Yasin 20 kali. Dan untuk melengkapi 41 kali, beliau membaca surat Yasin satu kali ketika sampai di Warungdowo.

Selain itu, sebelum masuk ke kompleks PP. Sidogiri, Kiai Cholil terlebih dahulu melepas terompahnya, lalu berjalan tanpa alas kaki menuju tempat pengajian Kiai Noerhasan. Hal ini beliau lakukan karena ta‘zhîm dan tawaduknya yang luar biasa kepada gurunya.

Sebenarnya, Kiai Cholil masih kerabat dekat Kiai Noerhasan. Beliau putra Kiai Abd Lathif bin Zaujah Kiai Hamim binti Kiai Asror, yang tinggal di Bangkalan. Sedangkan Kiai Noerhasan adalah putra Kiai Noerkhotim bin Kiai Asror. Dari silsilah ini, dapat diketahui bahwa Kiai Cholil adalah keponakan sepupu Kiai Noerhasan. Meski demikian, hal itu tidak mengurangi rasa hormatnya terhadap sang guru.

“Diusir” dari Bangkalan

Kiai Bahar mondok di Bangkalan pada umur 9 atau 12 tahun. Di antara teman seperiode beliau ketika mondok di Bangkalan adalah KH Manaf Abd Karim, pendiri PP. Lirboyo, Kediri. Tidak banyak keterangan tentang bagaimana Kiai Bahar saat nyantri di Bangkalan, baik tahun atau kegiatan kesehariannya. Namun kisah yang masyhur adalah tentang beliau ditakzir dan “diusir” oleh gurunya.

Alkisah, ketika Kiai Bahar mondok di pesantren Syaichona Cholil, beliau bermimpi tidur dengan istri Kiai Cholil. Pagi harinya (versi lain waktu Subuh) Kiai Cholil keluar membawa pedang (versi lain golok tumpul) sambil marah-marah pada santrinya. Kata beliau, “Korang ajer! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh. Ayoh ngakoh! Sapah malemmah tedung bi’ tang bineh?! (Kurang ajar! Siapa tadi malam yang tidur dengan istri saya? Ayo mengaku! Siapa yang tadi malam tidur dengan istri saya?!).”

Semua santri ketakutan dan tidak ada yang berani menjawab, karena mereka merasa tidak melakukannya. Lalu Kiai Cholil menyuruh mereka berjalan dua-dua (bergandengan) di depan beliau, “Ayuh keluar wek-duwek!” (Ayo keluar dua-dua!), bentak Kiai Cholil yang terkenal keras itu. Para santri pun keluar secara bergandengan. Namun, santri yang terakhir tidak ada gandengannya. Kiai Cholil yang mengetahui hal itu heran dan berkata, “Leh, riyyah kemmah berengah? (Lah, ini mana gandengannya?).” “Sobung Kiaeh (tidak ada Kiai),” jawab santri yang tanpa pasangan tersebut dengan gemetar. “Paleng se ngetek jiah se tedung bi’ tang bineh! Ayuh sare’en, sare’en! (Mungkin yang bersembunyi itu yang tidur dengan istri saya! Ayo cari, cari!),” perintah beliau.

Segara semua santri—yang waktu itu berjumlah 20 orang— mencari Bahar kecil yang bersembunyi di biliknya karena merasa bersalah dengan mimpi yang beliau alami. Akhirnya beliau ditemukan dan segera dibawa ke hadapan Kiai Cholil. Dengan berterus terang, Kiai Bahar menceritakan apa yang dialaminya itu, “Enggi kauleh kiaeh, keng kauleh nekah mempeh! (Ya, memang saya yang melakukannya Kiai, tapi saya cuma mimpi!).” Setelah mendengar penuturan santrinya itu, Kiai Cholil menghukumnya dengan disuruh menebang pohon-pohon bambu (barongan) di belakang dalem dengan pedang tumpul yang sejak tadi dalam genggaman beliau. “Setiah be’en e tindak bi’ engko’! Barongan se bedeh neng budinah romah ruah ketok kabbi sampek berse! Jek sampek bedeh karenah tekkaah daun settong! (Sekarang kamu saya tindak. Rumpun bambu yang ada di belakang rumah saya itu tebang semua sampai bersih! Jangan sampai ada sisanya, meskipun selembar daun!),” kata beliau.

Dalam riwayat lain, Syaichona mengatakan, “Reng-perreng poger kabbih, seareh koduh mareh! (Bambu-bambu itu tebang semua, sehari harus sudah selesai!).” Ajaib, ternyata Kiai Bahar bisa merampungkannya setengah hari.

Setelah selesai dari tugasnya, Bahar kecil pergi menghadap Kiai Cholil, untuk melaporkan hasil pekerjaannya. Kiai Cholil yang melihatnya menghadap, bertanya dengan nada tinggi, “Mareh (sudah)?!”

Si santri menjawab singkat, “Enggi, ampon (Iya, sudah)” sambil menyerahkan kembali pedang yang dibawanya tadi.

Setelah itu, Kiai Cholil mengajaknya ke dalam suatu ruangan yang di dalamnya tersedia beberapa talam penuh nasi, lengkap dengan lauk-pauknya, yang konon cukup untuk makan 40 orang. Ternyata sang kiai menyuruhnya menghabiskan nasi-nasi itu. “Setiah, riyyah kakan petadek! Jek sampek tak epetadek. Mon sampek tak epetadek, e pedhdheng been! (Sekarang, makan ini sampai habis! Jangan sampai tidak dihabiskan. Kalau tidak dihabiskan, saya tebas kamu!)” perintahnya dengan mengancam. Secara akal, tidak mungkin satu orang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu. Tetapi ternyata Bahar kecil bisa memakan nasi-nasi itu sampai habis dalam waktu singkat.

Setelah selesai, Kiai Cholil membawanya ke ruang lain yang penuh dengan aneka buah-buahan. “Setiah, riyyah petadek! (Sekarang, habiskan ini!)” perintah beliau. Segeralah Bahar melaksanakan perintah gurunya. Buah-buahan dalam ruangan itu pun habis dalam waktu singkat.

Setelah itu, ia diajak keluar dari ruangan oleh Kiai Cholil dengan menangis. Bahar tidak mengerti, kenapa gurunya menangis. ”Tang elmoh la epetadek bi’ Mas Bahar. Wes lah kakeh mole (Ilmuku sudah dihabiskan oleh Mas Bahar. Sudah, pulanglah kamu!)” kata Kiai Cholil kepada Bahar seraya mengusap air matanya. Nasi, lauk-pauk, serta buah-buahan merupakan isyarah akan aneka macam ilmu Kiai Cholil.

Riwayat lain menyebutkan bahwa Kiai Cholil berkata, “Engkok nyareh elmoh neng Sidogiri payah, setia lah ekoniin pole (Saya mencari ilmu ke Sidogiri dengan susah payah, sekarang sudah dijemput [baca: diambil] kembali).” Dan sebagian riwayat menyebutkan, setelah Kiai Bahar kecil selesai membabat pohon bambu, beliau disiram/dimandikan oleh Kiai Cholil. Ketika disiram, beliau melafalkan niat wudu. Setelah itu Kiai Cholil menyuruh beliau pulang ke Sidogiri.

Saat Kiai Bahar pulang ke Sidogiri, Kiai Cholil mengikutsertakan tujuh santrinya dari Madura untuk menjadi santri Kiai Bahar. Masa mondok Kiai Bahar pada Kiai Cholil adalah seminggu, atau kurang dari satu bulan. Setelah “diusir” Kiai Cholil, Kiai Bahar langsung menjadi Pengasuh PPS. Menurut riwayat, setelah peristiwa itu, Kiai Cholil Bangkalan pernah berkata tentang Sidogiri, “Tujuh turun dari keturunan saya harus mondok di Sidogiri.”

Belajar di Makkah

Petualangan Kiai Bahar mencari ilmu tidak hanya di Bangkalan kepada Syaichona Cholil, namun juga dilakukan di kota lahirnya agama Islam, Makkah al-Mukarramah. Sebenarnya, beliau belajar ke Makkah sekadar untuk mentahqîq-kan ilmunya, guna mengetahui seberapa dalam ilmu yang telah ia peroleh.

Diduga kuat bahwa Kiai Bahar menuntut ilmu di Mekah ketika menunaikan ibadah haji. Pada masa itu, orang naik haji ke Makkah selama tujuh bulan. Yakni dua bulan untuk pulang-pergi naik kapal laut, dan lima bulan mukim di Mekah al-Mukarramah. Kesempatan besar mukim di Mekah itu tidak disia-siakan oleh Kiai Bahar. Beliau mengisi waktu luangnya dengan mengaji di beberapa tempat. Di antaranya adalah majelis pengajian yang dibina oleh Sayid Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi (wafat pasca 1300 H), pengarang kitab I‘ânatuth-Thalibîn. Beliau seorang ahli fikih kenamaan yang juga menjadi guru Kiai Noerhasan, ayah Kiai Bahar.

Ketika Kiai Bahar berada di tanah suci, beliau banyak menjawab pertanyaan dari orang-orang di sana. Anehnya, walaupun pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada beliau dari beberapa mazhab yang berbeda, Kiai Bahar dengan mudah menjawab satu persatu sesuai dengan mazhab masing-masing. Nama Kiai Bahar pun terkenal di kalangan mereka sebagai seorang yang berwawasan tinggi dalam hukum-hukum Syariat.

Beristri Syarifah, Putri Habib Ampel

KH Bahar bin Noerhasan menikah dengan seorang syarifah dari Surabaya dan seorang janda kiai dari Pulau Madura. Beliau juga memiliki beberapa istri lain. Bahkan sering terjadi, kalau Kiai Bahar mengimami salat di suatu masjid, saat turun dari masjid beliau dikerubungi orang karena ingin menjadikan beliau sebagai menantu. Mereka berbuat demikian karena suara beliau enak didengar, wajahnya tampan, dan berpostur tubuh tinggi besar.

Dalam pernikahan, masalah kafâ’ah (kesesuaian) kedua mempelai merupakan masalah yang sangat penting. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai syarat perkawinan. Seorang laki-laki yang berkebangsaan ‘ajam (non-Arab) tidak boleh menikahi perempuan Arab. Dan menurut adat yang berlaku, biasanya kalau yang laki-laki orang Jawa dan yang perempuan orang Arab keturunan Rasulullah, keduanya tidak boleh dipertemukan, sebab bisa memutuskan nasab.

Itulah sebabnya Kiai Bahar tidak disukai oleh masyarakat Arab Ampel saat hendak menikahi putri seorang Habib keturunan Arab di Botoh Putih Ampel Surabaya ketika berusia 27 tahun. Ketika akan melangsungkan akad nikah, Kiai Bahar sempat dicaci kerena keturunan orang Jawa dan orang desa, sedangkan istrinya adalah orang kota dan berdarah keturunan Arab. Tapi mereka tidak tahu, sebenarnya Kiai Bahar juga keturunan Habaib yang bergelar Ba-Syaiban.

Pada waktu akad nikah, para Habaib dan orang-orang yang hadir waktu itu mengatakan, “Ya’opo Habib iki, kok ngame’ mantu teko deso! Koyok opo seh wonge? (Bagaimana Habib ini, kok mengambil menantu orang desa! Seperti apa sih orangnya?)” Ketika melihat Kiai Bahar datang ke tempat resepsi pernikahan dengan berpakaian sederhana dan memakai bakiak, tak sedikit orang yang mencerca dan menertawakan beliau.

Setelah akad nikah selesai, Kiai Bahar disuruh berpidato di depan khalayak ramai oleh sang mertua. Karena pidato beliau menggunakan bahasa Arab yang fasih (bukan bahasa Arab “pasaran”), kontan semua hadirin merasa takjub dan tunduk mengakui kealiman beliau, serta menyesal karena telah meremehkan beliau. Mereka sadar bahwa mereka salah besar dalam menilai Kiai Bahar dan mengakui bahwa beliau bukanlah orang sembarangan.

Istri pertama Kiai Bahar dari Surabaya itu disebut Nyai Sepuh. Nyai Sepuh tinggal di Sidogiri bersama Kiai Bahar. Ada kisah menarik tentang kekeramatan Nyai Sepuh ini. Pernah datang tamu pejabat ke dalem Kiai Bahar, yang diantarkan oleh Kepala Desa. Oleh Nyai Sepuh, tamu itu disuguhi jagung sangar dengan cara ditaburkan di hadapannya. Lalu beliau bilang, “Silahkan!” Tentu saja sang tamu keheranan, kok diberi suguhan seperti itu. Tetapi ketika ia mencoba memakan jagung itu, ternyata rasanya sangat enak, sehingga ia menyimpan beberapa butir jagung dalam saku bajunya.

Tak lama kemudian, Nyai Sepuh juga menyuguhkan roti, tetapi roti yang sudah berwarna biru karena basi. “Silahkan!” kata beliau. Kembali sang tamu heran. Awalnya ia enggan memakannya, tetapi setelah dicoba, ternyata roti itu terasa enak sekali. Maka sebagian roti itu juga disimpannya dalam saku bajunya. Tetapi saat ia pamit akan pulang, Nyai mengatakan, “Sing halal iku gi pangan gek kene! (Yang halal itu kalau dimakan di sini!)” Ternyata Nyai tahu apa yang tamu itu lakukan.

Putranya juga Berilmu Ladunni

Dari Nyai Sepuh, Kiai Bahar oleh Allah dikaruniai seorang putra yang diberi nama Abdul Ghoni. Mas Ghoni orangnya tampan dan daya tarik (mahabbah)-nya besar. Beliau juga memiliki keistimewaan seperti Kiai Bahar, memiliki ilmu ladunni.

Suatu sore, Mas Ghoni meminta sepeda roda tiga pada Kiai Bahar. Kiai Bahar menyuruh putranya menghafalkan nazham Alfiyah terlebih dahulu, baru diberi sepeda. Ternyata, pagi keesokan harinya Mas Ghoni sudah hafal Alfiyah! Katanya, “Ba, endi sepedae, aku wis hafal! (Abah, mana sepedanya, saya sudah hafal Alfiyah!)” Dalam waktu satu malam, Mas Ghoni sudah hafal Alfiyah yang berjumlah 1000 bait itu. Padahal waktu itu beliau masih kecil, mungkin umur 6 tahun.

Mas Ghoni kalau bepergian/jalan-jalan sering dengan KH Noerhasan Nawawie, sepupunya. Mas Ghoni berambut panjang. Beberapa kali ibunya menyuruh beliau untuk memotong rambut, tetapi beliau tidak mau. Ketika Mas Ghoni akan menikah, sebulan sebelumnya ibu beliau telah menyuruh untuk potong rambut. Tetapi beliau tidak mau, dan menjawab, “Kate ngatamno sik! (Mau mengkhatamkan al-Qur’an dahulu!)” Lalu seminggu sebelum menikah, sekali lagi ibu Mas Ghoni menyuruh memotong rambut, kali ini dengan nada memaksa.

Akhirnya Mas Ghoni memotong rambutnya yang panjang. Tetapi, sehari setelah memotong rambut, beliau wafat.

Sebetulnya, Kiai Bahar tidak senang punya anak. Alasan beliau, “Saya jaga diri sendiri saja tidak mampu, apalagi sampai punya anak.” Ketika istri beliau mengandung, beliau berdoa agar anaknya tidak sampai lahir. Tetapi kenyataannya istri beliau melahirkan seorang putra, Mas Abd Ghoni. Setelah itu, Kiai Bahar berdoa kepada Allah agar putranya mati pada waktu kecil. Ternyata takdir berkata lain, Mas Abd Ghoni tumbuh besar sampai hampir kawin.

Ketika acara pernikahan akan dilangsungkan, dan iringaniringan penganten perempuan dari Sidoresmo Surabaya sudah datang, Mas Abd Ghoni masuk ke dalam kamarnya, tak berapa lama kemudian beliau wafat di sana. Semua undangan ribut karena calon penganten laki-laki meninggal. Akhirnya sebagian orang memberanikan diri mengabarkan hal itu kepada Kiai Bahar yang sedang mengisi pengajian untuk santri di surau. Tapi, yang keluar dari bibir beliau setelah diberitahu ternyata kalimat syukur, “Alhamdulillah, tang anak mateh! (Alhamdulillah, anakku sudah meninggal.)” Kejadian ini sesuai dengan harapan Kiai Bahar, karena beliau tidak ingin memiliki keturunan.

Mas Ghoni wafat kira-kira setengah jam sebelum menikah. Akad nikah akan dilaksanakan jam 9 pagi, jam setengah 9 beliau telah menghadap Sang Kuasa. Riwayat lain mengatakan beliau wafat tiga hari menjelang pernikahannya. Selain Mas Ghoni, Kiai Bahar punya banyak anak dari beberapa istri. Tetapi semuanya wafat pada waktu kecil, kecuali Mas Abd Ghoni.

Lanjut Bagian II: KH. BAHAR BIN NOERHASAN KIAI ALIT BERILMU LADUNNI

Pesan buku

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *