Hanya satu kata untuk kaum pengkritik ulama: ngelama’. Tapi tidak dengan Fuad Mubarok. Dengan antologi cerpennya Jangan Panggil Aku Gus, ia berhasil menyampaikan kejanggalan yang selama ini menjadi rutinitas sebagian “kaum atasan pesantren”, tanpa harus menyakiti hati. Sebab, sembilan belas cerpen yang berisi masukan, bisa mengalir tanpa ada ranting yang menggores tepi sungai.
Diawali sebuah “cermin” sosok gus yang baik. Cerita ini di bawah judul cerpen yang menjadi judul cover buku ini: Jangan Panggil Aku Gus. Cerpen tersebut mengajari para anakanda kiai untuk tidak gila penghormatan, dengan menceritakan sosok gus yang merasa risih dengan penghormatan orang sekitar.
Ternyata, Penulis yang pernah menjadi reporter di koran Kabar Ikhtibar (bertepatan dengan milad PPS 289-280) ini tidak hanya menyadari kesalahan yang dialami kaum gawâgis. Bahkan dengan berani menyalahkan sikap kiai. Tentunya, dengan penyampaian yang tidak menggurui.
Kudeta Singgasana Kiai salah satunya. Cerpen itu menceritakan pertengkaran seorang kiai yang merasa pesantrennya tersaingi oleh kiai lain. Begitu pula dengan cerpen Sengketa Podium berisi kritikan kepada penceramah yang menghalalkan berbagai cara untuk tampil di panggung, serta—yang terpenting—mengeruk harta dari tuan rumah.
Di halaman 81, saya dikagetkan dengan cerpen Jangan Istimewakan Aku. Bukan judulnya, tapi tulisan dibawahnya: Jangan Panggil Aku Gus #2. Ternyata, Fuad Mubaok belum puas mengkritik kaum lora. Dia menambah satu cerpen, sebuah kisah yang pantas dibuat uswah oleh putera mahkota kiai. Isinya sama: merasa tidak nyaman saat diistimewakan. Bukan sebaliknya!
Selain mengkritik “keluarga ningrat pesantren”, Fuad Mubarok—tentunya dalam buku ini—tidak lupa menyertakan cerpen mengenai kehidupan pesantren, baik banin ataupun banat.
Jadi, sangat rugi jika santri tidak membaca buku ini, tentunya dengan membeli terlebih dahulu.
=====
Penulis: Fuad Mubarok
Halaman: 172
Penerbit: Sidogiri Penerbit
Peresensi: Muhammad ibnu Romli