Saat ini, bisa dikatakan bahwa minat tulis-menulis dalam dunia pesantren mengalami penurunan dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Ada sebagian menganggap tidak penting bagi mereka untuk menulis, karena itu bukan bidang mereka, ada pula yang beranggapan belum siap menghadapi tantangan di dunia luar, padahal, banyak sekali kita lihat penulis-penulis luar pesantren yang menulis karya dengan mengatasnamakan agama, sedangkan pengetahuan mereka tentang agama sangatlah minim, sehingga tidak sedikit ditemukan kesalahan-kesalahan pemahaman dalam isi buku hasil karangan mereka. Lebih parahnya lagi bila si penulis merupakan seorang tokoh masyarakat yang banyak penganutnya. Berikut wawancara Alfin Nurdiansyah, dari Maktabati dengan Mashuri M.A (peneliti sastra di Balai Bahasa Jawa Timur) mengenai perihal di atas.
Apakah peran pesantren dalam dunia tulis menulis?
Pada zaman dahulu, pesantren terkenal dengan tulisannya, entah itu dalam penulisan sajak atau pun kitab-kitab. Banyak penulis-penulis andal berlatar belakang pesantren. Diantaranya, KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. As’ad Samsul Arifin, dan beberapa kiai yang pernah menuntut ilmu di Haramain, semuanya adalah penulis andal. Bahkan, banyak dari Masyaikh Sidogiri merupakan penulis andal. Entah seiring berjalanya waktu, minat menulis di kalangan santri itu menurun. Seharusnya ini menjadi instropeksi kita bersama, kenapa di kalangan pesantren minat menulis menurun, padahal banyak di luar sana yang mengharapkan tulisan dari pesantren, untuk melawan pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan syariat. Jika dulu pesantren bisa menyumbang banyak pada dunia, seharusnya sekarang, dengan fasilitas yang terbilang lebih maju harus bisa menyumbang lebih banyak.
Apa tantangan penulis pesantren di dunia luar?
Sebenarnya tantangan bagi penulis bukan hanya di luar atau pun di dalam, tetapi, tantangan terbesar bagi penulis ada pada diri sendiri. Tantangan yang bersumber dari dirinya sendiri seperti malas, itu terjadi bukan hanya pada penulis pemula saja, bahkan penulis mapan pun juga sering mengalaminya. Namun, penulis sekarang lebih dimanja dengan fasilitas yang lebih nyaman, entah itu dalam segi penerbitan maupun media. Dengan akses yang serba mudah ini jarang ada penulis sekarang yang mampu membuat tulisan yang mendalam, berbeda dengan zaman dulu yang serba keterbatasan, tulisanya sangat mendalam dan detail. Istilahnya, jika kita dimanjakan sesuatu kita akan terlena, karena segala sesuatu jadi lebih mudah, hingga akhirnya kita meremehkan. Mungkin ini bisa dijadikan tantangan untuk penulis, mampukah kita mengembangkan tulisan kita dan mampu memanfaatkan fasilitas yang ada. Akhirnya, tantangan itu kembali pada diri sendiri juga. Selain itu, kita juga ditantang untuk membuat pembaruan, bagamana kita belajar dari tulisan yang ada hingga kemudian menciptakan karya baru yang dapat menarik masyarakat.
Bagaimana cara penulis agar bisa menarik minat baca, meninjau menurunnya minat baca orang Indonesia?
Indonesia memang terbilang negara dengan minat baca yang rendah. Namun, jika bicara soal minat baca, sebenarnya itu bukan hanya tugas penulis, tapi itu tugas kita semua, baik itu dari sisi masyarakat dan pemerintah. Kita harus sadar dan dapat instropeksi diri, kenapa kita enggan untuk membaca. Warga Indonesia itu suka yang instan-instan, maunya langsung jadi. Apa lagi pada era digital ini, mereka lebih tertarik mendengar berita atau menonton film daripada membacanya. Jika kita melihat secara umum, mungkin kita bisa menyimpulkan bahwa minat baca menurun, tapi saat kita melihat dunia pesantren, kita bisa melihat bahwa minat baca santri masih tetap tinggi, dengan keterbatasan fasilitas informasi, mau tidak mau, santri harus membaca. Cara yang paling jitu untuk meningkatkan minat baca adalah mengubah kebiasaan dan tradisi, dengan mebiasakan diri membaca setiap hari. Banyak dari masyarakat dalam membaca dan menilai buku itu tidak penting, bahkan ada sebagian masyarakat yang merasa ketakutan melihat buku. Kebiasaan dan anggapan inilah yang harus kita ubah.
Bagaimana cara kita menghadapi penulis liberal sekelas profesor misalnya, yang diikuti oleh para pengikutnya?
Sebenarnya dalam masalah ini, wajar saja jika seseorang mengikuti panutannya. Masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang bisa berfikir kritis dan kreatif. Apalagi jika sekelas profesor dan mahasiswa tidak ada unsur kritisnya itu sangat berbahaya, jangan kita hanya mengandalkan sami’na wa atha’na saja. Meskipun kepada sekelas profesor, kita juga harus kritis. Jadi, kita membaca banyak buku, kemudian berfikir logis, agar kita punya kemampuan menyaring informasi dan dapat memilah mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sesuai dengan kondisi dan mana yang tidak, dan tetap. Kuncinya kembali membaca dan menulis, membaca banyak kemudian menulis.
Riwayat Narasumber.
Nama: Mashuri
Tetala: Lamongan, 27 April 1976
Riwayat pendidikan: Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Karir: berkiprah di Komunitas Teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.
Profesi: Peneliti satra di balai sastra Jawa Timur dan Apresiator cerpen majalah Ijtihad.