Kiai Kaya Ide yang Tawaduk
Pesantren Sidogiri (PPS) bisa menjadi pesantren besar ternyata karena diasuh oleh Kiai-kiai yang berjiwa besar pula. Mereka saling bahu membahu, tidak suka menonjolkan diri, dan rela mengalah demi kepentingan dan kemaslahatan pesantren salaf ini. Hal ini dapat dirunut dari masa dua menantu KH. Nawawie bin Noerhasan bin Noerkhatim (yakni KH. Abd. Adzim bin Oerip dan KH. Abd. Djalil bin Fadlil), lalu masa Panca Warga (lima putra Kiai Nawawie), hingga kini masa Majelis Keluarga (cucu-cucu Kiai Nawawie). Majelis Keluarga ini terlahir dari gagasan anggota Panca Warga sendiri, yaitu KH. Siradjul Millah-Waddin. Kiai inilah yang akan kita telusuri sejarah kehidupannya.
Dari Kondang, Mondok ke Sidogiri
KH. Siradjul Millah-Waddin lahir di Gondang Winongan Pasuruan sekitar tahun 1346 H atau tahun 1925 M. Kiai yang mempunyai nama unik ini adalah putra pertama KH. Nawawie bin Noerhasan dari istri ketiga yang bernama Nyai Asyfi’ah (Nyai Gondang). Saudara seayah-seibu beliau adalah KA. Sa’doellah dan Kiai Hasani. Beliau juga punya adik perempuan yang wafat sekitar usia 14 tahun. Semasa kecil beliau diasuh oleh bibinya yang bernama Nyai Maryam, kakak dari Ny. Asyfi’ah. Menjelang remaja, tepatnya setelah dikhitan, beliau pindah ke Sidogiri beserta ibu dan saudara-saudaranya, tak ketinggalan juga Nyai Maryam, selaku pengasuhnya.
Di masa kanak-kanak, beliau mempunyai prilaku yang berbeda dengan Panca Warga yang lain. Beliau terkenal dengan anak yang relatif nakal di antara kawan sebayanya. Pernah suatu. ketika beliau mencari jangkrik sampai desa Raci Pasuruan dengan jalan kaki di malam hari, padahal jarak antara Sidogiri dengan Raci kurang lebih 11 km. Kendati tergolong putra Kiai Nawawie yang relatif nakal, sejak usianya yang masih dini, beliau tidak pernah berdusta. Dan pernah suatu ketika beliau berpesan kepada salah seorang santri, KH. Busyiri, Sampang, “Ojo goro, jogo iki, jogo cangkem iki (Jangan bohong, jaga ini, jaga muIut).”
Pada masa remaja, beliau suka menghibur santri dengan kegiatan olahraga, di antaranya adalah olahraga ringen atau adu panco (adu kekuatan) dan Halter. Hal itu dilakukan, untuk menghilangkan kebiasaan suka menggunjing dan membicarakan kejelekan orang lain yang terjadi di kalangan santri. Beliau juga suka main Badminton, sampai-sampai raket yang digunakannya dibuat sendiri. Jika kebetulan beliau membawa sepeda, pada waktu melakukan ringen sepedanya diapit dan diangkat ke atas dengan badannya.
Meskipun beliau putra kandung Kiai Nawawie, pengasuh PPS, beliau masih mondok di PPS sebagaimana Kiai Hasani. Bilik beliau ada di lokasi daerah F sekarang. Dan yang membimbingnya adalah Kiai Nawawie sendiri. Sepeninggal abahya,
Kiai Siradj belajar agama kepada KH. Abd. Djalil bin Fadlil dan tidak pernah mondok ke daerah lain. Sewaktu mengaji kepada Kiai Abd. Djalil, beliau istiqomah duduk di tempat sama, tidak pernah berpindah-pindah.
Apabila Kiai Nawawie bepergian, maka putra-putra beliau yang masih kecil meminta dibawakan oleh-oleh, sebagaimana lazimnya anak-anak seusia mereka. Namun oleh-oleh yang diminta mereka terbilang unik. KH. Cholil meminta oleh-oleh kitab atau buku bacaan, Kiai Siradj minta buku dan pensil, dan Kiai Sa’doellah minta pisau panjang.
Ternyata hal ini adalah cermin kehidupan mereka di masa mendatang. Kiai Cholil menjadi Kiai yang sangat alim dan istikamah mengajar; Kiai Siradj menjadi Kiai yang visioner dan kaya ide; sedang Kiai Sa’doellah menjadi Kiai pejuang kemerdekaan RI yang gigih, bersama dengan Kiai Abd. Djalil, kakak iparnya.
Dapat Jodoh Lewat Adik
Kiai Siradj menikah sekitar tahun 1955-1956 M dengan seorang gadis dari desa Beujeng, Beji Pasuruan. Namanya Nyai seorang gadis dari desa Beujeng, Beji Pasuruan. Namanya Nyai Hj. Futiyah binti Sya’roni bin Abdaru bin Ahmad Sayidina bin Abdullah, yang masih keturunan Sunan Drajat. Nasab Kiai Siradj dan Ny. Futiyah bertemu pada nenek moyangnya yang ada di Batuampar Timur Madura. Saat pernikahan itu, Kiai Siradj berusia sekitar 35 tahun, sedangkan istrinya kira-kira 13 tahun.
Ada kisah menarik sebelum pernikahan ini. Ketika itu, lasykar Hizbullah bermarkas di Beujeng. Kebetulan saat itu putri KH. Sya’roni (calon istri Kiai Siradj) sakit parah. Lalu ada yang memberitahu kepada Kiai Sya’roni, bahwa salah seorang putra KH. Nawawie Sidogiri yang bernama KA. Sa’doellah menjadi pimpinan Hizbullah. Kemudian beliau diberi saran untuk minta berkah kepada putra Kiai Nawawie tersebut. Kiai Sya’roni menyetujui saran itu. Maka dengan izin Allah SWT, putrinya sembuh. Setelah itu Kiai Sa’doellah menyuruh orang untuk menanyakan kepada Kiai Sya’roni, “Apakah putrinya sudah ada yang punya? Kalau belum, maka akan saya jadikan kakak ipar saya.” Setelah dijawab, “Tidak ada yang punya”, maka Kiai Sa’doellah menjodohkannya dengan kakaknya, Kiai Siradj.
Karena perkawinan itu berlangsung pada masa penjajahan, maka setelah menikah dengan putri Kiai Sya’roni Beujeng, Kiai Siradj tidak langsung menetap di sana, tapi masih pulang-pergi Beujeng-Sidogiri. Namun akhirnya beliau menetap di sana. Di Beujeng, beliau adalah seorang kiai yang kehidupannya sangat bersahaja. Pernah beliau menjual baju bekas, berdagang jamu bersama Pak Surin (Beujeng) dan Mas Ad (salah seorang saudara Istrinya) dan minyak wangi untuk kebutuhan kehidupannya (ma’isyah) ketika pertama kali berkeluarga. Rumah asli beliau sangat kecil. Walau demikian beliau sangat sabar dalam menghadapi segala cobaan. Bila sakit, beliau tidak pernah mengeluh, kecuali betul-betul parah.
Putra-putri beliau berjumlah lima orang, yang perempuan tiga dan yang laki-laki dua. Semuanya dilahirkan di Beujeng. Urutannya adalah: (1) Ny. Khoiriyah, (2) Mas Abdullah Syaukat (beristri Ny. Nafisah binti Dahlan), (3) Mas Thonthowi Jauhari, (4) Ny. Maslihah (istri Mas Fuad bin Noerhasan bin Nawawie), dan (5) Ny. Shofiyah Mashfiyah (istri Ust. Saifullah Muhyiddin, Ketua IV PPS). Dan dari lima orang itu meninggal Dunia saat masih kanak-kanak, yaitu Ny. Khoiriyah dan Mas Thonthowi Jauhari.
Putra-putri Kiai Siradj itu sejak kecil dididik sendiri oleh beliau, tidak dimondokkan. Beliau memberi pengetahuan agama setiap hari pada putra-putrinya, dan pengajian al-Qur’an, kitab-kitab Fikih, sampai Kitab-kitab ilmu alat seperti Nahwu, Sharraf, dan I’lal. Namun yang lebih beliau prioritaskan adalah pengajian al-Quran. Alasan beliau tidak memondokkan putra-putrinya ialah karena beliau khawatir putra-putrinya tidak bisa menghormati gurunya. Suatu saat Kiai Sa’doellah akan memondokkan Mas Abdullah Syaukat, karena akan diambil menantu olehnya (?). Namun Kiai Siradj menolak, “Jarno wis tak wuruk dewe, wedi gak iso ngormat nang gurune (Biar sudah saya didik sendiri, takut tidak bisa menghormati gurunya)”.
Memang ada putri Kiai Siradj yang dimondokkan, yakni Ny. Shofiyah, namun itu untuk tabarrukan saja karena akan menikah.
Dalam mengatur kehidupan rumah tangga, beliau sangat memperhatikan putra-putrinya, tidak ada di antara mereka yang merasa tersisihkan. Bahkan mereka semua merasa bahwa dirinyalah yang paling disayang oleh abahnya. Kendati demikian, beliau akan sangat marah bila mengetahui putra-putrinya ada yang belum melaksanakan salat. Beliau tak akan segan-segan memukulnya sesuai dengan tuntunan agama. Beliau juga selalu mengontrol perilaku dan perbuatan putra-putrinya sampai dengan urusan tidur. Bahkan beliau tidak akan tidur jika putranya masih belum tidur.
Tidak hanya itu, sebagai seorang suami beliau sangat berhati-hati dalam menjaga kewajiban seorang suami, dan tidak suka membebani istrinya, sampai-sampai beliau pernah dawuh, “Akade lak qobiltu nikahaha, ojok ngeriwuk wong wedok, kewajibane mek gek gerden. Ojok dikongkon ngeliwet, dikongkon iki…” Maksudnya, karena yang menyatakan Qabiltu nikahaha (kuterima pernikahannya) itu pihak lelaki, maka seyogyanya dia tidak suka membebani istri. Karena dialah yang mau menerima tanggung jawab rumah tangga.
Akrab Dengan Mertua
Hubungan Kiai Siradj dan mertuanya, Kiai Sya’roni di Beujeng sangat harmonis. Dan perhatian kiai Sya’roni pada menantunya yang satu ini begitu istimewa. Semua kemauannya selalu dituruti. Tutur bicaranya pada Kiai Siradj halus, bahkan walaupun sebagai menantu, Kiai Sya’roni tetap memanggilnya “Mas”. Kiai Siradj juga banyak mendapat didikan dari mertuanya. Hal ini tak mengherankan karena meskipun Kiai Siradj sebagai menantu, tapi kasih sayang dan perhatian Kiai Sya’roni melebihi kasih sayangnya terhadap putra-putranya sendiri.
Memang keduanya sangat akrab dan saling mengerti pada apa yang ada pada diri masing-masing. Jika ada seorang yang bertanya tentang hukum dan sesuatu yang ada hubungannya dengan ilmu agama pada Kiai Sya’roni, maka beliau menyuruh agar menanyakan kepada Kiai Siradj dan tidak pernah menjawab sendiri, begitu pula sebaliknya. Kiai Siradj dan mertuanya sama-sama tidak rela jika keduanya dipanggil dengan sebutan Kiai. Jika ada yang memanggil kiai pada Kiai Sya’roni, maka beliau bilang, “Yang kiai itu adalah Kiai Siradj.” Begitu juga sebaliknya.
Dari akrabnya hubungan mertua-menantu ini, ketika mertuanya meninggal Dunia, Kiai Siradj sangat sedih dan berduka. sampai-sampai beliau mengatakan “Aku ditinggal abaku iki podo karo Abu Bakar ditinggal kanjeng Nabi”. Memang, perhatian Kiai Sya’roni kepada beliau sangat istimewa, sampaisampai Kiai Sya’roni tidak rela jika Kiai Siradj rnencari uang sendiri dan memikirkan maisyah keluarganya. Hal itu tidak hanya terjadi pada Kiai Siradj saja, tapi juga pada putranya, Mas Abdullah Syaukat. Kiai Sya’roni selalu menuruti permintaan Mas Abdullah, Iantaran beliau takut kalau nanti Kiai Siradj susah karena tidak bisa memenuhi permintaan putranya.
Sufi yang Pendiam dan Tawaduk
Kiai Siradj adalah sosok yang tenang dan pendiam. Beliau tidak akan berbicara kalau dirasa tidak perlu. Sifat inilah yang membuat beliau disegani melebihi dari KA. Sa’doellah. Benarlah kata sebagian ulama, “Diam adalah kewibawaan tanpa kekuasaan”. Orang yang tidak banyak bicara itu berwibawa, meskipun tidak mempunyai kekuasaan. Jika dia mempunyai kekuasaan, tentu lebih berwibawa lagi, seperti Kiai Siradj ini. Selain pendiam, beliau juga tawaduk. Sebagian bukti dari ketawadukannya, beliau kadang menyuruh Mas Muzammil iring-nya– untuk mengimami salat, sedangkan beliau bermakmum. Kiai Siradj juga selalu mendahului ucapan salam pada Kiai Hasani, baik ketika bertamu maupun ketika menjadi tuan rumah. Tak pelak, kebiasaan Kiai Siradj ini membuat gusar adik kandungnya itu. Suatu saat, Kiai Hasani bertamu pada Kiai Siradj. Dalam hati, beliau bermaksud mengucapkan salam duluan ketika dibuka pintu. Tapi Kiai Siradj dengan cerdik mengintip dulu dari balik gorden, dan kemudian membukakan pintu sambil mengucapkan salam dan bersalaman. Kiai Hasani tidak berhasil mendahuluinya.
Sifat tawaduk ini tidak luntur meski beliau menjadi orang yang mengatur jalannya roda kepengurusan Pondok Pesantren Sidogiri. Beliau tidak pernah menunjukkan kepandaiannya dan menyuruh bawahannya untuk mengikuti apa yang beliau kehendaki. Malah beliau memberikan kebebasan kepada bawahannya untuk melaksanakan program yang ditekuninya dengan pemikiran dan pendapatnya masing-masing. Namun ini tidak berarti Kiai Siradj menjadi pemimpin yang leissez free (acuh tak acuh). Kebebasan bawahannya tak lepas dari pengontrolan beliau, mana yang masih membutuhkan pembenahan dan mana yang harus terus dilaksanakan.
Karena ketawadukan dan kesabarannya, para santri mencintai beliau. Ucapan beliau halus dan tidak pernah kasar. Kalau ada santri yang melakukan kesalahan, maka santri itu dipanggil dan ditegurnya dengan halus. Tak lupa beliau juga memberi solusi terbaik padanya. Beliau tidak menampakkan kemarahan, sekalipun (sebenarnya) marah bila melihat santri yang melakukan pelanggaran. Alasan beliau tidak langsung menindak santri yang melakukan pelanggaran adalah karena dalam pandangannya, santri itu suatu amanah yang diberikan oleh Allah yang harus dijaga.
Di samping tawaduk dan sabar, beliau juga termasuk sosok yang menyenangkan dan tidak pernah menyusahkan orang lain. Artinya, jika ada orang mendapatkan kesusahan, ia akan terhibur dengan ucapan-ucapan Kiai Siradj. Namun sebaliknya, jika ada orang yang terlalu gembira, ia akan diingatkan tentang hari setelah kematian.
Kehidupan sufi yang wara’ juga sangat kental dalam kehidupan sehari-harinya. Karena itu beliau tidak gampang menerima pemberian seseorang, dilihat dulu siapa yang memberi dan apa tujuan dia memberi. Pernah suatu ketika beliau diajak untuk makan bersama dengan santri (maklum, sekalipun beliau seorang penggedhe, tetapi beliau tetap akrab dengan santri). Sesampainya di tengah-tengah santri, kiai tidak langsung makan, tapi bertanya dulu dari mana makanan itu. Lalu ada sebagian santri yang menjawab bahwa hidangan itu dari ini (hanya menggunakan isyarat). Setelah mendengar penuturan para santri, beliau tidak jadi makan bersama mereka. Beliau malah langsung beranjak meninggalkan mereka, karena takut barang yang akan beliau makan adalah perkara yang haram.
Beliau juga pernah mengatakan pada putranya, Mas Abdullah, “Lek duwe kendaraan iku nomere Oeripono, lek gak di Oeripi podo karo ghosab dalan!”.
Sebagai orang yang sangat kental dengan dunia sufi, beliau tidak pernah menonjolkan amaliyah ibadahnya pada orang lain. Nasehat Imam Ibnu Atha’illah, “Idfin wujudaka fi ardlil khumul
(tanamlah dirimu di bumi yang sepi)”. benar-benar tertanam dalam diri Kiai Siradj. Tak urung masyarakat lebih mengenal putranya, Mas Abdullah dari pada Kiai sendiri. Karena jika berjalan bersama putranya, beliau selalu berada di belakangnya, sehingga masyarakat menyangka Mas Abdullah sebagai Kiainya.
Tidak ada yang mencolok dari kehidupan Kiai Siradj, seperti karamah atau khoriqul adah, karena sifat tidak mau menonjolkan diri membuat beliau jarang diketahui oleh orang lain.
Kiai memang tidak suka terhadap atribut-atribut yang membuat orang melihatnya akan berseru “Wah!”. Buktinya, setelah melaksanakan ibadah haji beliau tetap suka pakai kopyah hitam dan berkalung handuk kecil seperti tukang becak. Bukan berkalung surban sebagaimana layaknya ‘Pak Haji’ yang lain. Beliau suka memakai baju takwa, tapi jarang kancingnya dipasang semua. Pernah beliau bersama saudara-saudaranya diundang ke Bangkalan Madura. Tapi dilarang masuk oleh penyambut tamu, karena berpakaian seperti itu. Tuan rumah yang juga seorang Kiai, lama menunggu. “Kok tidak datang-datang ya?” katanya dalam hati. Ternyata setelah dilihat, Kiai Siradj berdiri di pinggir pintu masuk. Pernah juga suatu saat beliau diundang untuk memberikan ceramah agama, tapi beliau menolak dan mengajukan santrinya untuk dijadikan sebagai ganti. Ini salah satu bukti ke-khumul-annya.
Beliau juga sosok Kiai yang ahlu ad-dliyafah (Penghormat tamu). Beliau sangat marah jika sampai ada tamu yang berkunjung ke dalemnya tak disuguhi makan. “Berilah mereka makan, sekalipun hanya dengan kerupuk”. Ucapnya. Bila menerima tamu, beliau lebih banyak mendengarkan. Tidak banyak bertanya. Suatu saat, beliau didatangi tamu pembohong. Setelah tamu itu pulang, beliau berkata, “Saya tahu dia pembohong, tapi saya dengarkan saja. Wong seng seneng goro iku ndak enak le’ ndak goro. Podo karo dulit lombok, erro le’ peddes tapi diterusno ae. (Orang yang suka berbohong itu tidak enak kalau tidak berbohong, sama dengan mencuil sambal, dia tahu kalau sambal itu pedas tapi diteruskan saja)”.
Beliau juga termasuk orang yang kreatif. Kiai Siradj memiliki keahlian sendiri tentang elektronika, sebuah keahlian yang tidak beliau dapatkan melalui sekolah formalitas. Beliau pernah membuat radio sendiri dengan merakit komponen-konponen yang juga dibuatnya sendiri tanpa menggunakan baterai. Dengan peralatan elektronik yang masih belum canggih, beliau dapat menciptakan radio yang dilengkapi dengan mikrofon. Beliau menyebutnya dengan “Radio Hawa”. Potensi itu beliau kembangkan lagi hingga beliau dapat membuat rangkaian tempat komponen radio yang berbentuk bulat/oval, sebuah radio yang masih belum pernah ter-inovasi pada waktu itu.
Kiai Siradj juga dikenal selalu istikamah salat berjamaah. Selain itu beliau juga tidak pernah meninggalkan ibadah sunah yang lain, seperti salat Dhuha dan Tahajjud. Beliau juga fasih dalam membaca al-Quran. Kalau mengimami salat jahr. Bacaannya sangat pelan, seperti sedang mengajar ngaji. Dan pekerjaan yang tidak pernah beliau tinggalkan adalah menjaga waktu salat dengan menggunakan bincret yang dibuatnya bersama mertuanya, Kiai Sya’roni. Karena kesabaran dan keistikamahannya dalam ubudiyah, beliau disebut-sebut sebagai wali yang mastur.
Disadur dari Buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri Jilid 1