Feature

Ust Abd Hafidz: Istikamah dan Amanah Adalah Pemicunya

Kediaman: Ust Abd Hafidz pemimpin salawat di Masjid Jamik Sidogiri serta staf pengajar MMU Tsanawiyah bersama dengan Mas Hasani di kediaman beliau.

Ketika horizon tersenyum di atas nirwana menandakan semua makhluk terpanggil untuk mengadu-tunduk di depan Tuhannya. Tanpa terkecuali. Begitu juga Ust Abd Hafidz, sang guru karismatik, membawa semangat dalam derak terompahnya. Masjid Jami’ Sidogiri menjadi pelabuhannya untuk menebar salawat bersama kawan santri. Mari kita ikuti kisahnya.

Cara berjalannya penuh dengan ketawaduan, sederhana dan berwibawa. Paduan jas putih dan sarung ditambah sejadah yang diselempangkan di pundak plus bakiak adalah cara beliau berbusana. Pria dengan lima buah hati ini sudah  sudah puluhan tahun menemani santri membaca selawat ba’da maghrib di Masjid Jami’ Sidogiri. Ya, sosok itu adalah Ust Hafidz. Staf pengajar MMU Tsanawiyah itu tetap dalam keistikamahannya mengemban amanah yang dipercayakan oleh masyayikh Sidogiri.

Ketika salat berjamaah maghrib selesai, santri dari tingkat Tsanawiyah berhamburan keluar. Mereka menuju ruang masing-masing untuk melaksanakan pengajian al-Quran. Untuk murid kelas 6 ibtidaiyah dan kelas 3 Tsanawiyah yang tetap berada di masjid untuk membaca salawat. Seperti biasa Ust. Hafidz memulai pembacaan salawat dengan mengirim surat al-Fatihah sebagai tawassulan kepada beginda Nabi dan para masyayikh. Selanjutnya pembacaan dimulai dengan pembacaan istighfar sebanyak 70 kali dan salawat 313 kali. Begitulah seterusnya beliau mendekatkan diri kepada-Nya.

Tentang pembacaan selawat di Sidogiri ini sudah dilakukan dari masa ke masa. Hal itu dimulai sejak kepengasuhan KH. Noerhasan bin Noerkhotim. Sejak itulah pembacaan selawat dibaca secara istikamah. Menurut penuturan Ust. Hafidz sejak tahun 1978 sampai 1995 pemimpin pembacaan selawat sudah berganti sebanyak empat kali mulai dari KH. Muzakki, KH. Abu Siri, Ust. Hasan dan Ust. Hamid Bangkalan.

Menurut beliau dalam pembacaan selawat ini ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi santri. Peraturan secara tak tertulis ini antara lain; dilarang membaca selawat secara cepat. “Jangan cepat-cepat, biasa saja,” dawuh KH. Abd Alim dalam suatu kesempatan. Selanjutnya dalam hitungan pembacaannya tidak boleh lebih ataupun kurang. Pada suatu kesempatan Ust. Hafidz ditegur oleh KH. Hasani Nawawie karena pembacaan selawatnya lebih. Larangan selanjutnya adalah dilarang bergurau, tidur, berbicara, serta membaca wirid lain.

Begitulah Ust. Abd. Haifidz mengawal pembacaaan selawat di PPS dengan kesungguhan dan semangat mengemban amanah dari guru memberinya stimulus tambahan untuk merealisasikan amanah tersebut. “Jangan berhenti, karena itu dari Kiyai Hasani,” dawuh KH Abd Alim kepada Ust Abd Hafidz. Kata magis itulah yang melecut semangat Ust. Abd Hafidz untuk terus menjaga keistikamahan membaca salawat.

Kita, santri, dan semuanya hanya perlu menaati apa-apa yang didawuhakan oleh beliau-beliau. Karena sejatinya hidup tak lepas dari ’peraturan-peraturan’ yang mau tidak mau harus kita taati. Begitu juga dengan pembacaan salawat. Mediator kita dengan baginda Nabi ini harus ‘disikapi’ dengan ‘khusus’ kalau kita ingin menjadi orang-orang yang ‘khusus’. Apalagi di bulan maulid ini kesempatan untuk berselawat terbuka lebar. Maka akan dikemanakan kesempatan itu. Selamat bersalawat dan selamat berlibur.

=======

Reporter: Isomuddin Rusydi
Editor: Abdur Rahman Wahid

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *