Artikel

#NgajiMaring KH. Fuad Noerhasan

Santri dulu itu sebetulnya dalam mencari ilmu sangat sederhana. Hanya cukup ngaji langgaran (surau, red). Tidak seperti sekarang yang ada sekolah, jam belajar, musyawarah, gerak batin. Dulu itu, ya, ngaji di surau. Cuma, santri dulu itu kemauan mendapat barakah sangat besar.

Saya masih nututi ketika Kiai Cholil mengimami di masjid. Ketika beliau mau masuk ke masjid, santri itu rebutan untuk membalik sandal Kiai Cholil. Kalau sekarang malah sebaliknya. Banyak sandal guru yang hilang, digasab. Kalau dulu, terhadap guru itu sangat takzim. Sampai-sampai dalam masalah nyapu, santri dulu itu selalu berebutan. Kalau sekarang, masih dijadwal, itu pun masih banyak yang tidak nyapu.

Kalau dulu rebutan dalam menyapu, bahkan ada yang sampai menyembunyikan sapunya. Takut ada yang mendahului memakai sapu tersebut. Jadi menyapu halaman, itu dimaksudkan untuk mendapat barakah pondok. Kalau sekarang, sepertinya tidak terlalu mau pada barakah. Dulu tidak ada jadwal nyapu. Kalau sekarang, malah rebutan untuk tidak menyapu walau sudah dijadwal.

Bahkan, ketika dulu mengambil air di sumur untuk mengisi bak jeding, mereka harus rela rebutan. Akhirnya mereka gantian menimba, agar sama-sama bisa mengisi air jeding. Sepuluh timba, sepuluh timba. Jadi walau pun sederhana, ngaji langgaran, tapi ketika pulang ke rumahnya bisa menjadi kiai besar.

Yang banyak itu rebutan dapat barakahnya kiai. Kalau sekarang sepertinya tidak ada yang demikian. Seandainya santri sekarang seperti santri dulu, ditambah ada gerak batin dan sekolah, maka akan lebih hebat dari santri dulu. Kalahnya santri sekarang itu kurang tirakat, tidak terlalu merasakan barakah. Bahkan, santri dulu, kalau menanak nasi—dulu pancinya gantian—sisa nasi yang ada di panci itu dibersihkan sebersih-bersihnya. Jangan sampai ada sisa nasi teman termakan. “Jadi tidak hanya halal saja, tetapi halalan thayyiban…”

Kalau dulu, syubhat saja tidak mau. Apalagi haram. Kalau sekarang, jangankan syubhat, haram saja dimakan. Jadi kalau dilihat dari itu, santri sekarang agaknya jauh untuk mendapat barakah. Kalau dulu masyaAllah. Walaupun ngajinya hanya Sullam Safinah di pondok, tapi ketika pulang bisa ngajar Fathul Wahhab, walau ketika di pondok tidak mengaji Fathul Wahhab. Ya, itulah namanya ilmu barakah. Bisa bertambah sendiri. Walau tidak pernah mengaji, tetapi bisa.

‘Allamallahu ‘ilma ma lam ya’lam (Allah mengajarkan ilmu yang tidak diketahui). Itu kalau ilmu barakah. Yang penting itu, ilmunya barakah. Ngaji sedikit, yang penting barakah. Ya, caranya dengan mengangungkan ilmu. Santri dulu itu sangat mengangungkan pada ilmu. Kalau muthalaah itu harus wudlu dulu, walau pun hanya megang kitab. Tapi santri dulu tidak  mau kalau ngaji tanpa punya wudlu Jadi barakah.

Dulu, Ketika Sidogiri mau membuka madrasah, itu masih terjadi perdebatan. Kiai Abdul Adhim sangat tidak setuju dengan adanya madrasah. Apa yang ditakutkan oleh Kiai Abdul Adhim? Yang ditakuti kiai itu kalau ada madrasah, nanti kalau menulis lafad basmalah di papan tulis, lalu dihapus. Bagaimana sisa-sisa rontokan kapur tulis yang berjatuhan itu? Takut kena injak, padahal rontokasn kapur tulisan itu bekas menulis lafad basmalah. Setelah dihapus, kena injak. Itulah yang jadi kepikiran, saking takdimnya ke ilmu, jadi ilmu itu barakah.

Memang tak ada lafad basmalahnya, karena itu hanya sisa kapur tulis, tetapi  itu bekas dibuat nulis basmalah. Itulah yang jadi kepikiran Kiai Abdul Adhim. Jadi ilmunya itu barakah.

Kiai itu dulu, bahkan sampai keliling ke depan madrasah, sambil membawa kardus. Kalau ada kertas bertulis Arab, dipunguti, ditaruh ke kotak lalu kalau sudah banyak dibakar. Sekarang kan banyak kertas yang bertulis Allah, malah itu tidak diindahkan. Diinjak-injak. Makanya dulu Kiai Abdul Adhim itu sangat berat membuka madrasah.

Coba niru santri dulu kalau ingin dapat ilmu barakah. Santri sekarang ini kurang takzim ke ilmu. Termasuk, tidak berani memegang kitab kalau tidak punya wudhu’. Sekali pun bukan Alquran. Tidak berani. Itu yang membuat ilmu barakah.

Kalau menaruh kitab itu yang tinggi, itu termasuk mengangungkan ilmu.  Jangan sampai menaruh kitab sejajar dengan kaki. Kira-kira kalau membawa kitab itu harus berada di atas pusar. Kalau sekarang, kadang di atas kitab ditaruhi songkok. Jadi bagaimana mau mendapat ilmu barakah. Jadi harus sesuai dengan susunannya. Alquran, di bawahnya hadis lalu fikih dan kitab-kitab yang lain. Santri dulu tidak berani menaruh sesuatu di atas kitab. Kurang takzim pada kitab, ilmu, guru, itu yang menyebabkan ilmu tidak barakah.

Bagaiman cerita Syaikhona Kholil Bangkalan ketika mengaji ke Sidogiri. Beliau tidak berani diam di Sidogiri takut langka (Madura, red) pada guru. Ngajinya ke Sidogiri, tapi diam di Winongan. Padahal dari sini ke Winongan itu sekitar 17 kilo. Itu ditempuh dengan berjalan kaki. Berangkat baca Yasin, sampai di Sidogiri dapat 41 kali baca Yasin. Pulangnya demikian juga. Bagaimana tidak mendapat ilmu kalau demikain?

Kalau sekarang, muthla’ (belajar) kadang kitabnya kena iler, dibuat bantal., kalau santri dulu tidak ada. Sangat takzim pada kitab. Tidak berani duduk di atas bangku. Karena menjadi tempat kitab, walau pun tidak ada kitabnya. Tapi kalau waktu sekolah kan jadi tempat kitab. Itu termasuk takzim ke ilmu.

Kalau takzim ke ilmu, insyaallah ilmunya barakah. Bagaimana caranya agar santri sekarang itu takzim pada ilmu? (salah satunya) termasuk kalau mau pegang kitab harus punya wudu’.

*Tulisan ini pernah dimuat di koran Kabar Ikhtibar

Shares:
Show Comments (1)

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *