Artikel

Mengapa Islam lahir di Arab?; Arab dan Peradaban Dunia Pra Islam (Bag-01)

Penulis : Badrus Sholeh

Kita semua tahu bahwa agama Islam lahir di semenanjung Arab. Sebuah semenanjung barat daya Asia yang merupakan semenanjung terbesar dalam peta dunia, dengan luas yang mencapai kurang lebih seperempat wilayah Eropa, atau sepertiga wilayah Amerika, yaitu 2.745.900 km. Disamping itu, semenanjung Arab termasuk salah satu wilayah terkering  dan terpanas, karena sebagian besar daratannya terdiri dari gurun pasir dan pegunungan yang tandus.[1]

Yang menjadi pertanyaan banyak orang kemudian adalah, mengapa Allah I memilih semenanjung gersang ini sebagai tempat kelahiran Islam? Mengapa tidak memilih belahan dunia lain? Mengapa Allah I memilih bangsa Arab, yang waktu itu (abad ke-6 M), jauh terbelakang dalam hal peradaban, jika dibandingkan bangsa-bangsa lain di sekitarnya, seperti Romawi dan Persia, sebagai generasi pertama yang menerima risalah Muhammadiyyah? Mengapa tidak memilih bangsa yang berperadaban lebih maju saja?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita terlebih dahulu perlu mengetahui bagaimana kondisi Arab dan peradaban-peradaban lainnya seperti Romawi, Persia, India dan Yunani, yang ada pada masa pra kelahiran Islam. Tulisan bagian pertama ini akan fokus membahas tentang kondisi bangsa-bangsa tersebut diditinjau dari berbagai aspek kehidupan.

Persia

Waktu itu, Persia yang merupakan salah satu negara adikuasa dunia -selain Romawi Timur (Bizantium)-  adalah ladang subur berbagai khurafat keagamaan dan filsafat yang saling bertentangan. Salah satunya adalah Zoroaster yang menjadi keyakinan kaum penguasa. Diantara ajarannya adalah mengutamakan perkawinan dengan ibu kandung, anak perempuan, atau saudara perempuan sendiri. Sebab itu, kemudian Yazdajird II (yang memerintah pada pertengahan abad kelima Masehi) mengawini anak perempuannya sendiri.[2]

Di Persia juga terdapat ajaran Mazdakiah, yang menghalalkan wanita secara bebas, membolehkan pemilikan harta orang lain secara zhalim, dan menjadikan manusia sebagai serikat dalam keduanya sebagaimana perserikatan manusia dalam masalah air, api, dan rumput. Artinya, wanita dan harta adalah miliki bersama yang berhak digunakan dan dinikmati siapa saja. Karena itu, seseorang dianggap sah-sah saja merebut sesuatu milik orang lain. Ajaran ini memperoleh sambutan luas dari kaum pengumbar hawa nafsu.[3]

Romawi Timur (Bizantium)

Bangsa ini tidak kalah rusak dari Persia. Romawi Timur adalah bangsa yang penuh dengan semangat kolonialisme. Pertentangan agama di kalangan mereka (baik antar sesama Kristen atau keyakinan lain) selalu berujung dengan persekusi dan pertumpahan darah. Demi menyebarkan agama Kristen dan mempermainkannya sesuai hawa nafsu, mereka tidak segan-segan mengerahkan kekuatan militer serta ambisi kolonialnya. Di samping itu, penyalah gunaan, kelaliman, dan kemerosotan ekonomi, telah menyebar ke seluruh penjuru negeri Bizantium akibat melimpahnya penghasilan dan menumpuknya pajak.[4]

Yunani

Kondisi Yunani juga tidak lebih baik dari mereka. Negeri ini tenggelam dalam lautan khurafat dan mitologi yang tidak pernah mengantarkan pada kesimpulan yang bermanfaat.[5]

India

Para penulis sejarah India sepakat bahwa, India yang pada zaman dahulu unggul dalam berbagai macam disiplin keilmuan, seperti ilmu pasti, perbintangan, kedokteran, dan filsafat, kemudian mengalami puncak degradasi agama, moral dan sosial, sejak awal abad ke-6 M. Akhirnya, di India tersebar pengumbaran nafsu yang meluas hingga ke dalam tempat-tempat ibadah, sebagai sesuatu yang tak tercela, karena agama telah memolesnya dengan bentuk peribadatan dan kesucian.

Perempuan India tidak lagi memiliki harga dan tanpa perlindungan.  Kaum laki-laki menjadikan istrinya sebagai pertaruhan. Jika ditinggal mati suaminya, maka seorang perempuan seperti dikubur hidup-hidup, ia tidak boleh menikah dan tidak lagi dihargai. Disamping itu, tersebar tradisi, khususnya di kalangan masyarakat kelas atas dan bangsawan, seorang janda membakar dirinya atas kematian suaminya sebagai bentuk penebusan hutang dan melarikan diri dari kesengsaraan.[6]

Arab

Sementara itu bangsa Arab sendiri terkenal senang mabuk-mabukan dan bermain judi. Watak keras dan kegagahberanian mereka yang menipu membuat mereka tanpa segan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Mereka sering menyerang dan membegal kafilah. Selain itu, di Arab harga diri perempuan benar-benar jatuh. Mereka mewariskan perempuan sabagaimana benda atau hewan. Ada makanan-makanan khusus yang hanya boleh dimakan laki-laki dan terlarang bagi perempuan. Seorang laki-laki bebas menikah dengan banyak perempuan tanpa ada batasan. Kemudian, sebagian mereka ada yang membunuh anaknya karena takut tidak bisa memberi nafkah atau takut jatuh dalam kemiskinan. Mereka juga larut dalam fanatisme golongan yang berlebihan dan senang berperang.[7]

Kesimpulan

Semua peneliti sejarah sepakat bahwa pada abad ke-6 dan ke-7 M, yang merupakan masa kelahiran dan pertumbuhan Islam,  dunia benar-benar berada dalam “era kegelapan”. Pada waktu itu manusia hidup dalam kebudayaan, adat istiadat, serta keyakinan-keyakinan yang rusak. Mereka lupa pada Sang Pencipta, mereka tidak lagi pandai membedakan kebaikan dan keburukan, kebatilan dan kebenaran. [8]

Namun demikian, menurut penelitian Dr. Said Ramadan al-Buthi, dibandingkan bangsa lainnya ketika itu, bangsa Arab bisa dikatakan lebih baik. Arab tidak memiliki kemewahan dan peradaban Persia, yang memungkinkan mereka pandai menciptakan kemerosotan kemerosotan, filsafat serba boleh, dan kebejatan moral yang dikemas dalam bentuk agama. Arab tidak memiliki kekuatan militer Romawi, yang mendorong mereka untuk melakukan ekspansi ke negara-negara tetangga. Arab juga tidak menguasai kekayaan filsafat Yunani yang menjerat mereka dalam mitos dan khurafat.

Waktu itu, bangsa Arab lebih seperti bahan baku yang masih murni dan belum tercampur dengan bahan lain. Mereka masih kental dengan fitrah suci manusia dan kecenderungan-kecenderungan terpuji seperti sifat penolong, tepat janji, dermawan, dan menjauhi hal tercela. Hanya saja, kemiskinan akan pengetahuan sering menyebabkan mereka tidak bisa menyatakan sifat-sifat terpuji tersebut dengan semestinya.

Dengan maksud menjaga kemuliaan dan menjauhkan diri dari kehinaan, mereka membunuh anak perempuan. Dengan maksud menjaga kedermawanan, mereka merusak kebutuhan-kebutuhan pokok. Dengan maksud menolong, mereka mengobarkan peperangan. [9]

Jadi, dari sini bisa disimpulkan bahwa, berbagai macam kebejatan yang dilakukan bangsa Arab tak lebih dikarenakan mereka adalah masyarakat nomaden yang jauh dari peradaban. Menurut al-Buthi saat itu bangsa Arab tenggelam dalam kegelapan kebodohan yang alami dan primitive, atau dalam istilah Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi al-Jahlu al-Basith. Sedangkan bangsa-bangsa lain melakukan kebejatan-kebejatan dalam kondisi telah berperadaban. Sehingga an-Nadwi menggolongkan bangsa-bangsa tersebut ke dalam kategori al-Jahlu al-Murakkab.[10]

Catatan: 

[1] History of The Arabs, karya Philips K. Hitti, hal.03,16, 20. PT. Serambi Ilmu Semesta

[2] Fiqhus-Sirah, karya Said Ramadlan al-Buthi, hal.30,

[3] Al-Milal wan-nihal, karya asy-Syahrastani, juz 02, hal.86-87

[4] Fiqhus-Sirah, karya Said Ramadlan al-Buthi, hal.30

[5] Ibid hal.31

[6] as-Sirah an-nabawiyyah, karya Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, hal.36-37

[7] ibid, hal.39

[8] Madza Khashrul Alam binkhithathil-Muslimin, karya Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, hal.29

[9] Fiqhus-Sirah, karya Said Ramadlan al-Buthi, hal.31

[10] as-Sirah an-nabawiyyah, karya Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, hal.43

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *