Artikel

Tukar Guling dan Sisa Bongkaran Masjid

Ilustrasi
Ilustrasi

Pada tulisan kali ini kami singgung terkait perenovasian masjid. Dalam kondisi tertentu perobohan atau perenovasian konstruksi masjid memang diperpolehkan, atau bahkan berhukum wajib manakala konstruksi bangunan sudah tua dan rapuh yang dapat membahayakan jamaah. Ketika berhukum boleh, permasalahan berlanjut pada sisa-sisa pembongkaran yang tentunya masih berstatus sebagai wakaf. Inilah yang menjadi topik pada artikel ini.

Namun sebelumnya, melengkapi pembahasan hukum merenovasi masjid ada pembahasan lain yang berhubungan erat, yaitu tukar guling masjid. Tukar guling, berarti mengganti masjid dengan tempat baru.Hal ini, sering terjadi saat, seperti akibat pelebaran jalan raya atau hal lain yang memerlukan terjadinya pemindahan masjid.

Dalam term fikih mazhab Syafi’iyah, wakaf merupakan bentuk pelepasan kepemilikian individu dan hak beralih pada Allah I. Dari itu, para ulama dalam mazhab ini hampir sepakat ketidakbolehan tukar guling benda wakaf, karena wakaf tidak bisa diperjualbelikan (la yubâ). Pendapat yang sama juga terjadi di kalangan Malikiyah, jika itu terjadi pada masjid, tidak pada barang wakaf lainnya. Pendapat berbeda dari kalangan mazhab Hanafi dan Hanbali. Ini bisa dilihat dari pembahasan dalam kitab Raddul-Muhtâr (17:329).

Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa di dalam tukar guling, yang dibahasakan dengan istibdâl, khususnya pada masjid, terdapat tiga kondisi yang memiliki konsekuensi hukum berbeda. Pertama, ada ketetapan syarat dari wakif saat mewakafkan bahwa diri dan orang lain boleh menukar guling tanah tersebut. Dalam kondisi ini, tukar guling diperbolehkan. Kedua, tidak ada sinyal syarat kebolehan dari wakif, bisa jadi ada syarat tidak boleh atau hanya diam. Kondisi ini memantik perbedaan di antara ulama mazhab Hanafi, sedangkan al-Ashah memperbolehkan dengan syarat mendapat izin dari pemerintah dan berdasarkan maslahat.

Ketiga, juga tidak ada sinyal syarat dari wakif, tetapi tukar guling dinilai memiliki sisi manfaat, sedangkan penggantinya lebih baik dari sudut kemanfaatan dan hasil. Kondisi ini, juga boleh menukargulingkan menurut pandangan al-Ashah dalam mazhab Hanafi. Tentunya, tetap mempertimbangkan izin dari pemerintah.

Nah, ketika perenovasian dan penukargulingan terjadi, terdapat turunannya yang penting juga dibahas, yakni sisa pembongkaran masjid. Pada sisa pembongkaran, ada batu bata, pasir, kayu, dan bahkan besi. Mulai dari yang masih bisa digunakan kembali atau sudah tidak layak dijadikan bahan renovasi.

Tentunya, dalam hal ini tetap mempertimbangkan hak dan tujuan wakif, agar pahala terus mengalir. Dari itu, sisa bongkaran yang masih bisa dimanfaatkan harus disimpan untuk dikembalikan pada pembangunan masjid, walaupun untuk waktu yang akan datang.

Jika tidak bisa dimanfaatkan atau dikhawatirkan akan segera rusak sebelum digunakan lagi, secara umum alokasinya diarahkan pada hal yang bersifat maslahat, berupa dialihkan pada masjid lain, atau pada fasilitas umum lainnya, ketika tidak ada masjid yang bisa mempergunakannya.

Jika mengikuti mazhab Syafi’i, memang sepertinya tidak ada kata “penjualan” dalam masalah ini. Akan tetapi, sepertinya standar maslahat tetap menjadi persoalan dalam masalah ini. Sebagaimana yang ditulis oleh Abu al-Fadhal ‘Abd Syakur, ulama Indonesia asal Senori Jawa Tengah, dalam karyanya Mawâhib Dzi al-Fadhl bi Fatwa Bafadhal (1:228), dengan mengutip pendapat Syekh Abu Bakr al-Khathib, seorang mufti di Tarim.

Dalam cerita Ba Fadhl, Syekh Abu Bakr mengulas panjang lebar terkait sisa-sisa bongkaran masjid, seperti kapur, batu bata, dan besi. Dengan jawaban yang panjang, sang mufti memiliki kecenderungan untuk memperbolehkan untuk dijual, jika sisa bongkaran sudah tidak dibutuhkan oleh masjid tersebut meski pada masa yang akan datang, dan khawatir tersia-sia atau dicuri. Jika tidak ada kekhawatiran demikian, maka sisa bongkaran dijaga keutuhannya. Tentunya, jika terjadi penjualan hasil tetap untuk masjid tersebut.

Pada terusan cerita Ba Fadhl tersebut, beliau juga mengutip pendapat al-‘Allâmah ‘Alawi bin ‘Abdillah bin Husain terkait dengan hukum memperbarui dan merenovasi masjid. Pada akhir pengutipan, disebutkan bahwa dalam penjualan sisa-sisa pembongkaran masjid ini terdapat khilaf. Pandangan Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik sama-sama menyatakan tidak boleh menjualnya, baik hasilnya untuk masjid itu sendiri atau masjid lainnya. Bahkan, sisa bongkaran lebih baik dibiarkan begitu saja, jika tidak dikhawatirkan cepat rusak, tidak boleh dijual.

Pendapat berbeda datang dari Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut beliau, boleh menjual sisa pembongkaran dan hasilnya untuk membangun masjid. Pendapat Imam Ahmad ini mengarah pada sisa bongkaran yang memang sudah tidak layak pakai. Jika masih bisa digunakan untuk masjid tersebut, penggunaan ini tentu dinilai lebih maslahat.

Pada intinya, baik dari segi perenovasian, penukargulingan, atau pembongkaran total sama-sama memiliki hukum yang berbeda dari kalangan ulama; antara boleh dengan syarat dan yang tidak boleh sama sekali dengan aturan yang demikian ketat.

Untuk itu, jika renovasi masjid masih memungkinkan dilakukan sedikit saja, seperti hanya memperbaiki kulit tembok bangunan lama, tentu ini lebih dianjurkan untuk dilakukan. Selain karena meminimalisir hilangnya sisa wakaf pada masjid lama yang menjadi hak wakif, juga untuk menghindari khilaf di antara ulama di atas.

Terkecuali memang, masjid sudah tidak layak digunakan karena terkena bencana, misalnya, atau bahkan dapat mengancam keselamatan jamaah dengan kondisi yang sudah rapuh dan tua dan kapan pun bisa roboh. Kondisi ini, tentunya pembongkaran menjadi alternatif yang sulit dihindari, sehingga hukum legal dari ulama bisa diterapkan. Mengenai sisa bongkaran, khilaf ulama di atas dapat dijadikan jalan keluar.

Bisa juga, konstruksi tanah yang tidak kuat dan bisa longsor setiap saat atau tempat yang selalu terkena banjir. Kondisi ini, masih bisa untuk dilakukan tukar guling dengan tanah lain yang lebih baik (khair) dan aman. Tentunya, dengan mengikuti pendapat Imam Hanafi yang memperbolehkan istibdâl. Semoga, pembahasan ini bermanfaat. Amin.

===
Penulis : M. Masyhuri Mukhtar/SidogiriMedia

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *