Sisi Lain Musik
Jan19

Sisi Lain Musik

Berbicara (baca: menulis) tentang santri, berkaitan erat dengan keremajaan. Mengingat, 99% sntri aktif masih berstatus “remaja”. Manusia memiliki beberapa fase. Mulai dari balita, anak-anak, sampai—setelah mengalami masa pubertas—disebut remaja. Fase inilah manusia rentan terprofokasi, lantaran wataknya yang masih labil. Hal ini terbukti dengan munculnya ‘Idztun-Nasyi’in-nya Musthafa al-Ghalayayni, Ayyuhal-Walad-nya Imam Ghazali dan beberapa tumpukan kitab ulama mengenai keremajaan. Tujuan utama dari munculnya kitab tersebut adalah: membetuk karakter pemuda ke jalan yang lurus. Demi mengatasi virus yang tertular dari ke labilan mereka. Ke-plin-planan mereka disebabkan mod pada setiap kesenangan, tanpa menganalisa positif dan negatifnya. Musik termasuk dari kesenangan itu. Meskipun tidak hobi musik, tapi siapa yang berani menyangsikan keasyikan saat bermain musik?! Padahal fakta yang ada, musik dapat menurunkan kerakteritas seorang remaja. Dengan pengaruh musik, mereka lebih “liar” pada yang namanya fun. Keganasan mereka tak mempedulikan siapapun, wa bil-khusus jalan agama. Katerangan ini bukan bermaksud mengharamkan musik. Akan tetapi, memberikan intruksi “bahaya” pada pengguna musik. Lihatlah di Andalusia (baca: Spanyol), sebelum orang kafir ingin menumpahkan balas dendamnya dengan senjata, mereka terlebih dahulu dengan merusak karakter pemuda di sana. Mulai dari mengedarkan rokok dan bir, tersebarnya ulama su’ dan terselenggaranya konser musik di sana-sini. Sehingga serba-serbi Islam sudah hilang dari kepala mereka. Mulai dari dunia keilmuan menurun, kepedulian pada sesama Muslim hilang, para militer muslim sudah lengah, hingga puncaknya mereka diusir dari Andalusia. Dari itulah muncullah perkataan, “Dunia hanya bisa dikuasai dengan ilmu pengetahuan, bukan dengan kekuatan militer dan kelengkapan senjata, sedang perpustakaan gerbang utama menguasai dunia.” Jika kita rentet dari awal, musik dapat mengganggu konsentrasi dan kesemangatan dalam belajar. Sedangkan muthala’ah adalah jalan mendapatkan ilmu pengetahuan. Dengan adanya musik, daya intelektual akan menurun. Puncaknya, kekuasaan tak lagi ada di tangan muslimin. Jika harapan satu-satunya belajar ilmu agama hanyalah santri, maka apa jadinya jika sanri sendiri yang doyan pada musik. Bagaimana nasib negeri kita?! Muhammad ibnu Romli |...

Selengkapnya
Memaknai Liburan
Jan18

Memaknai Liburan

Saat iktikaf, aku dikagetkan seseorang yang langsung menyelinap dipinggirku. Setelah diselidiki raut mukanya, ternyata dia adalah santri yang baruku kenal. Dia bercerita mulai dari “A” sampai “Z” dengan runtut, sebagaimana lazimnya orang baru kenal, tanpa mempedulikan bahwa yang kita duduki adalah: masjid. “Ah, seekor “setan” datang lagi!” Desahku dalam pojok hati yang paling sunyi. Hingga akhirnya dia menanyakan sesuatu yang “aneh”. Ya, “aneh” karena tentang dirinya ditanyakan kepadaku. “Kamu tahu fan kesukaanku?” Demi menghemat waktu, aku hanya menggelengkan kepala. “Ya, tentu riyâdhah (baca: olahraga)” “Kalau aku tidak!” “Lantas, apa fan kesukaanmu?” Setelah 15 detik menghirup oksigen, segera ku sebutkan. “Liburan!” Awalnnya, aku hanya bercanda. Tapi saat ku pikir berkali-kali, perkataan itu ada benarnya. Liburan pesantren berbeda dengan liburan lembaga formal. Dalam lembaga formal, liburan sekadar me-refresh otak. Sebaliknya “pulangan”. Liburan yang satu ini bukan malah membiarkan bersenang-senang, akan tetapi malah menuntut untuk mengaplikasikan semua ilmu yang diperoleh. Untuk itu, aku kategorikan liburan sebagai salah-satu pelajaran di pesantren. Di dalam liburan, banyak point penting yang terlupakan oleh mayoritas santri. Karena itulah kita merasa bebas. Seandainya kita sadar bahwa pulangan adalah ujian, niscaya akan kita persiapkan jauh-jauh hari, layaknya ujian sekolah. Ya, sebelum ujian, kita belajar sekuat tenaga, agar lancar mengisi kertas soalan. Tapi adakah santri sebelum pulang sekuat tenaga mencari guru, pengurus, dan teman untuk meminta maaf? Kurang beberapa bulan menjelang ujian, kita mencoret kalimat yang penting-penting, agar mudah dipelajari. Tapi, apakah kita juga mencatat baik-baik pesan guru yang perlu dikerjakan ketika pulangan? Mungkin tidak. Karena kebanyakan para santri, mengagap liburan sebagai pelepas letih. Sehingga tak ada yang perlu dipersiapkan. Dari itulah muncul perbuatan-perbuatan onar saat pulangan. Untuk itu, marilah kita sadari bersama, bahwa liburan adalah tugas yang penting. Tugas menjaga nama baik pesantren; mengalirkan ilmu kepada masyarakat; mengamalkan ilmu yang telah didapat. Tunjukkan kita kepada masyarakat, bahwa kita yang dulu, bukanlah yang...

Selengkapnya
Manusia Bambu
Jan17

Manusia Bambu

Dulu, semasa saya anak-anak—ya, sekarang pun juga “anak-anak”—pernah bermain tebak-tebakan dengan teman sekolah. Pertanyaannya begini, “Apakah gerangan, sedari kanak-kanak memakai baju, tapi beranjak dewasa, semakin telanjang?” Saya kebingungan menjawabnya, hingga harus mengibarkan bendera putih, alias menyerah. Tapi, alangkah mengejutkan, saat temanku itu memberi jawaban perkarara enteng: bambu. Ya, benda itu sudah bosan saya lihat. Kutubut-turâts pernah “mengatakan”, suatu saat nanti, akan ada fase manusia (perilakunya, red) sama seperti binatang. Fakta membenarkan ramalan itu. Bahkan lebih. Sebab, realita yang kita temukan bukan sekedar berperilaku hewan, akan tetapi malah persis benda mati, alias bambu. Sebagaimana tebak-tebakan di atas, bambu sedari kecil terbungkus rapi. Beranjak dewasa, daun yang menyelimuti bambu itu semakin terbuka, hingga akhirnya telanjang. Begitu pula manusia. Sedari kecil orang tuanya memakaikan baju yang tertutup. Sehingga, mereka terlihat imut. Semakin dewasa malah sedikit demi sedikit pakaian utuh itu mulai “ompong”. Mulai dari membuang kerudung, rok dipotong seukuran lutut, pakaian diperketat sehingga berpakaianpun sama seperti telanjang. Maka jangan heran jika manusia zaman sekarang lebih hafal mengenai—maaf—paha wanita dari pada paha ayam. Bukankah sangat lucu! Lebih herannya lagi, wanita yang setengah telanjang itu malah PD dijadikan tontonan khalayak umum. Bahkan dia senang. Di manakah gerangan rasa malu mereka? Bukankah wanita yang tidak memiliki rasa malu, berarti dia tidak memiliki—maaf—kemaluan?! Ya, sebenarnya kemaluan mereka hilang dibawa “burung”. Ketidaksemangatannya mengamankan tubuhnya cukup dijadikan bukti. Mana mungkin orang yang masih original membiarkan “segel”-nya lepas? Hal ini tidak serta-merta memfonis mereka sebagai pezinah. Akan tetapi, harapan saya, jadikanlah pedoman ini sebagai catatan yang perlu digarisbawahi. Partanyaan terakhir, apakah Anda mau menikahi gadis yang tidak memiliki kemaluan, eh maksudku, rasa malu? Muhammad ibnu Romli |...

Selengkapnya
Semua Keburukan Muncul dari Sini
Jan16

Semua Keburukan Muncul dari Sini

Sering aku katakan—lebih tepatnya, menulis—tentang waktu.  Bahkan, kecerdasan seseorang dapat diukur dengan seberapa lihai dia mengatur waktu. Semakin pintar dia mengatur waktu, kehidupan pun terasa lebih “lezat”. Bahkan di buku Hasyiyah, Catatan Kaki Seorang Santri (1) saya menulis waktu iitu dengan judul yang agak aneh, yaitu Waktu adalah “Kutu”. Satu hal yang melatarbelakangi judul tersebut, yakni beraneka-ragam definisi yang diberikan masyarakat. Dari pada saya memilih salah satu definisi itu—yang akhirnya ada pilih kasih pada salah satu pihak—mending buat sendiri. (Selain itu, banyak alasan lain yang sangat penting, dan bisa kalian baca—yang jelas membeli dulu—di buku itu). Perbedaan dalam memberikan definisi, sudah mewakili dari pentingnya sebuah waktu. Sebab, jika barang remeh, mana mungkin orang memikirkan definisinya? Apalagi sampai silang pendapat. Saya teringat akan sebuah kisah yang dialami saya sendiri. Pada saat itu, lebih tepatnya masa-masa IMDA (Imtihan Dauri) berlangsung. Salain belajar, dari instansi TTQ (Ta’limiyah wa Tahfidzul-Quran), yang menangani khusus program Kaffah (Kaderesasi Fuqaha’) menuntut saya fokus pada BMW (Bahtsul Masail Wustha), yang merupakan musyawarah antar pesantren. Dari instansi Perpustakaan Sidogiri menuntut untuk segera menyelesaikan buku profil perpustakaan, mulai dari sejarah hingga SOP kinerjanya. Tidak hanya itu, dari derah, yang merupakan daerah khusus Tahfidzul-Mutûn memaksa saya menakror ulang dengan tahqîq berikut dengan pemahamannya, untuk diikut sertakan dalam lomba Smart Tahfidz. Belum lagi tuga-tugas saya selaku Sekretaris Redaksi Matabaca, dan Leader dalam Ihya’ Ulumiddin Community. Itu semua masih sebatas kewajiban yang harus saya lakukan. Belum aktifitas sampingan yang merupakan target pribadi. Hanya merenung yang bisa saya lakukan, meratapi semua agenda yang berantakan. Demi meringankan beban, saya mencoba curhat pada teman dekat. Anehnya, di cover nadzam Alfiyyah-nya terdapat tulisan, “Dunia terasa enak, jika dapat mengatur waktu”. Kita takkan terlepas dari kejaran waktu. Meskipun ketika liburan. Hanya saja bagaimana kita dapat memaksimalkannya. Ketika kembalian, hal itu sangat nampak. Sebagian teman saya, ada yang mampu mengarang beberapa buku selama libur panjang Ramadhan. Ada juga—bahkan banyak—teman saya saat pulangan hanya bisa “mengarang” luka pada sekitar tubuhnya, akibat kecelakaan. Karena itu, ingatlah bahwa: waktu takkan melepas kita, meski saat liburan. Jangan sia-saiakan! Karena waktu itu enggan untuk kembali. Sebagaimana dawuh Syaikh Sa’id Ramadan al-Buthi, “Jika hari baru datang padamu, ucapkanlah, “Selamat datang ‘tamu’.” Muliakanlah dengan ibadah dan tobat. Jangan kau kotori dengan dosa. Jika tidak, engkau akan menyesal, karena tamumu tak akan pernah kembali.” Muhammad ibnu Romli |...

Selengkapnya
Mengatur Waktu ala Santri
Jan15

Mengatur Waktu ala Santri

Sering aku katakan—lebih tepatnya, menulis—tentang waktu.  Bahkan, kecerdasan seseorang dapat diukur dengan seberapa lihai dia mengatur waktu. Semakin pintar dia mengatur waktu, kehidupan pun terasa lebih “lezat”. Bahkan di buku Hasyiyah, Catatan Kaki Seorang Santri (1) saya menulis waktu iitu dengan judul yang agak aneh, yaitu Waktu adalah “Kutu”. Satu hal yang melatarbelakangi judul tersebut, yakni beraneka-ragam definisi yang diberikan masyarakat. Dari pada saya memilih salah satu definisi itu—yang akhirnya ada pilih kasih pada salah satu pihak—mending buat sendiri. (Selain itu, banyak alasan lain yang sangat penting, dan bisa kalian baca—yang jelas membeli dulu—di buku itu). Perbedaan dalam memberikan definisi, sudah mewakili dari pentingnya sebuah waktu. Sebab, jika barang remeh, mana mungkin orang memikirkan definisinya? Apalagi sampai silang pendapat. Saya teringat akan sebuah kisah yang dialami saya sendiri. Pada saat itu, lebih tepatnya masa-masa IMDA (Imtihan Dauri) berlangsung. Salain belajar, dari instansi TTQ (Ta’limiyah wa Tahfidzul-Quran), yang menangani khusus program Kaffah (Kaderesasi Fuqaha’) menuntut saya fokus pada BMW (Bahtsul Masail Wustha), yang merupakan musyawarah antar pesantren. Dari instansi Perpustakaan Sidogiri menuntut untuk segera menyelesaikan buku profil perpustakaan, mulai dari sejarah hingga SOP kinerjanya. Tidak hanya itu, dari derah, yang merupakan daerah khusus Tahfidzul-Mutûn memaksa saya menakror ulang dengan tahqîq berikut dengan pemahamannya, untuk diikut sertakan dalam lomba Smart Tahfidz. Belum lagi tuga-tugas saya selaku Sekretaris Redaksi Matabaca, dan Leader dalam Ihya’ Ulumiddin Community. Itu semua masih sebatas kewajiban yang harus saya lakukan. Belum aktifitas sampingan yang merupakan target pribadi. Hanya merenung yang bisa saya lakukan, meratapi semua agenda yang berantakan. Demi meringankan beban, saya mencoba curhat pada teman dekat. Anehnya, di cover nadzam Alfiyyah-nya terdapat tulisan, “Dunia terasa enak, jika dapat mengatur waktu”. Kita takkan terlepas dari kejaran waktu. Meskipun ketika liburan. Hanya saja bagaimana kita dapat memaksimalkannya. Ketika kembalian, hal itu sangat nampak. Sebagian teman saya, ada yang mampu mengarang beberapa buku selama libur panjang Ramadhan. Ada juga—bahkan banyak—teman saya saat pulangan hanya bisa “mengarang” luka pada sekitar tubuhnya, akibat kecelakaan. Karena itu, ingatlah bahwa: waktu takkan melepas kita, meski saat liburan. Jangan sia-saiakan! Karena waktu itu enggan untuk kembali. Sebagaimana dawuh Syaikh Sa’id Ramadan al-Buthi, “Jika hari baru datang padamu, ucapkanlah, “Selamat datang ‘tamu’.” Muliakanlah dengan ibadah dan tobat. Jangan kau kotori dengan dosa. Jika tidak, engkau akan menyesal, karena tamumu tak akan pernah kembali.” Muhammad ibnu Romli |...

Selengkapnya
Kita Tetap Santri
Jan14

Kita Tetap Santri

Pernah suatu ketika teman bilik saya bercerita, “Kalau pulangan, yang seru saat naik bis. Baju putih dilepas, serasa bukan santri!” Dari perkataan itu, saya dapat menebak suatu penyebab perubahan sikap santri saat liburan. Padahal, liburan atau tidak, masyarakat tetap melihat “jidat” kita berlabel santri. Sebab, keasingan kita di kampung halaman menarik “mata” masyarakat. Semua tindak-tanduk kita, akan diawasi dengan ketat. Persis seperti melihat suatu yang mencurigakan. Sehingga dari sanalah kita tertantang untuk membuktikan bahwa “kita tetap santri!” Jaim (baca: jaga image) adalah ritual yang harus kita kerjakan. Minimal dengan mengerjakan semua rutinitas pesantren. Dengan kata laian, tetap mentaati undang-undang yang ada di pesantren. Mulai dari kewajiban hingga larangan. Jamaah dalam shalat, istikamah membaca al-Quran, dan senantiasa muthala’ah, harus tetap kita lakukan di rumah. Tidak hanya menjaga keistikamahan kita, akan tetapi hal itu menjaga keharuman aroma pesantren. Sehingga, masyarakat “luar” tak ada yang beranggapan miring pada pesantren. Jangan kira masyarakat menanggapi kita sebagai sosok “bersih”. Buktinya, celotehan, “jaringan lemot, dampak pulangan pondok!” Atau, “jalan macet, gara-gara ulah santri” dan kicuan-kicauan miring lainnya berserakan disana-sini. Komentar semacam itulah sebenarnya “suara peluit” dimulainya pertandingan. Ya, pertandingan kaum sarungan melawan masyarakat “luar”. Kita tertantang agar melakukan “tendangan” pada ediologi itu. Agar perkataan mereka berubah 180c derajat. Bukan malah melakukan “goal bunuh diri” yang mengakibatkan tercemarnya cita-rasa pesantren. Yang menjadikan minimnya orang belajar Agama. Akhirnya, Agama Islam pergi dari bumi pertiwi. Na’udzubillah! Untuk itu, wajib hukumnya bagi santri, memakai “sarung”-nya ketika pulangan. Hal ini demi tercapainya visi dakwah Islam secara hakiki, yakni, i’lâ’ kalimâtil-Lah, mengagungkan syiar Agama. Allahu-Akbar! Muhammad ibnu Romli |...

Selengkapnya