ArtikelKajian Hadis

Adab yang Hilang: Jejak Akhlak Ulama terhadap Guru

قال عليّ بن أبي طالب رضي الله عنه: أنا عبدُ مَنْ علَّمَني حرفًا واحدًا

“Aku adalah hamba bagi siapa pun yang mengajarku satu huruf saja.”

Ungkapan yang dinisbatkan kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ini sering dikutip dalam majelis-majelis ilmu. Ia bukan sekadar kalimat indah, melainkan isyarat mendalam tentang adab dan kerendahan hati seorang murid di hadapan gurunya. Murid sejati, kata Sayyidina ʿAli, bukan hanya menimba ilmu dari guru, tetapi juga menundukkan ego di hadapan sosok yang menjadi perantara cahaya ilmu itu.

Dalam tradisi Islam, hubungan antara murid dan guru tidak sekadar hubungan transfer pengetahuan, melainkan hubungan ruhani yang dibangun di atas penghormatan dan kecintaan. Karena itu, para ulama terdahulu memuliakan guru sebagaimana seorang hamba memuliakan tuannya: berdiri ketika guru datang, mencium tangan guru, bahkan menuruti perintahnya selama tidak bertentangan dengan syariat.

Baca juga: Santri; Tolok Ukur Ideal Pelajar Zaman Ini

Imam al-Nawawi dalam al-Adzkar menegaskan:

وأما إكرام الداخل بالقيام، فالذي نختاره أنه مستحبٌّ لمن كان فيه فضيلةٌ ظاهرةٌ من علمٍ أو صلاحٍ أو شرفٍ أو ولايةٍ مصحوبةٍ بصيانةٍ، أو له ولادةٌ أو رحمٌ مع سِنٍّ ونحو ذلك، ويكون هذا القيامُ للبِرّ والإكرامِ والاحترام، لا للرياءِ والإعظام.

“Memuliakan orang yang hadir dengan berdiri, menurut pendapat yang kami pilih, adalah sunnah bagi mereka yang memiliki keutamaan: baik karena ilmu, kesalehan, kehormatan, kekuasaan, kekerabatan, atau usia lanjut, dengan niat kebajikan, penghormatan, dan pemuliaan, bukan karena riya atau pengagungan yang berlebihan.”

Adab ini bersumber dari teladan Rasulullah ﷺ sendiri. Ketika Saʿad bin Muʿadz datang dalam peristiwa Bani Quraizhah, Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya:

قُوموا إلى سيِّدِكم

“Berdirilah kalian menyambut pemimpin kalian.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Baca juga: Mengumbar Maksiat dalam Sorotan Hadis

Perintah ini bukan bentuk pengagungan pribadi, melainkan pengakuan atas keutamaan dan kehormatan seseorang. Dalam jejak sejarah ulama, adab ini terus hidup. Diriwayatkan bahwa Imam Hammad pernah memerintahkan para santrinya untuk berdiri ketika Imam Yunus datang. Begitu pula Imam Ahmad bin Hanbal yang berdiri menyambut seorang pemuda bernama Abu Muslim. Putranya, Abdullah bin Ahmad, heran dan bertanya, “Ayah, mengapa engkau berdiri untuk pemuda itu?” Sang Imam menjawab, “Wahai anakku, aku berdiri bukan karena dirinya, tetapi karena ia keturunan Abdurrahman bin ʿAuf.” Ternyata nama lengkap pemuda itu ialah Ahmad bin Saʿid bin Ibrahmi bin Saʿad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin ʿAuf.

Bukan hanya berdiri, para ulama juga memandang mulia perbuatan mencium tangan guru. Dalam ar-Rukhsah fī Taqbīl al-Yad, disebutkan bahwa Watsilah bin al-Asqa’ pada peristiwa Hudaibiyah mencium tangan Rasulullah ﷺ sebagai tanda baiat dan penghormatan. Dalam sebuah hadis panjang, seorang badui datang kepada Nabi ﷺ dan meminta dua hal: izin untuk mencium tangan beliau dan izin untuk mencium kaki beliau. Rasulullah mengizinkan yang pertama, namun menolak yang kedua, karena sang badui bermaksud bersujud kepadanya. Rasulullah menegurnya dengan lembut:

لا ينبغي لأحد أن يسجد لأحد، ولو كنت آمراً أحداً أن يسجد لأحد، لأمرتُ المرأة أن تسجد لزوجها.

“Tidak pantas seseorang bersujud kepada orang lain. Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya.”
(HR. Ibn Majah dan Ahmad)

Demikianlah jejak adab para ulama salaf yang diwariskan turun-temurun: berdiri untuk menyambut kedatangan orang berilmu, mencium tangan mereka, memuliakan keturunan orang saleh, serta menjaga rasa hormat kepada ilmu dan pembawanya. Semua itu bukanlah bentuk pemujaan berlebihan, melainkan wujud syukur kepada Allah atas kemuliaan ilmu yang mengalir melalui mereka.

Ungkapan Sayyidina ʿAli di awal tulisan ini pun menemukan maknanya di sini. Ia bukan sekadar kiasan, melainkan fondasi spiritual dari dunia keilmuan Islam: bahwa ilmu tidak akan berbuah tanpa adab, dan adab tidak akan hidup tanpa cinta kepada guru.

Penulis: Imam Rohimi
Editor: A. Kholil

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *