ADA pepatah menarik yang kira-kira bunyinya begini: kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran. Ungkapan ini berasal dari sebuah kisah. Konon, suatu hari salah seorang raja pernah berkeliling menyidak kampung. Orang-orang berbondong-bondong menyaksikan. Dalam salah satu adegan kisah, salah seorang berteriak lantang, “Lihat, raja telanjang!”
Mendengar teriakan tersebut, sang raja sebenarnya kaget dan merasa bahwa tubuhnya benar-benar telanjang. Namun, agar terkesan tidak telanjang, maka sang raja berjalan seperti tidak pernah terjadi sesuatu apapun. Ia meyakinkan diri bahwa tubuhnya yang telanjang itu masih terbalut kain penutup. Dan berjalanlah sang raja dengan keadaan telanjang, sementara orang-orang meyakinkan diri bahwa rajanya tidak telanjang.
Beberapa waktu kemudian, sang raja melakukan sidak lagi dan sengaja bertelanjang. Kontan saja, seseorang kembali berteriak, “Lihat, raja telanjang!” Tetapi sang raja kini berjalan santai saja. Wajahnya tetap berseri-seri. Seakan dirinya benar-benar tidak telanjang.
Kontan saja, kerumunan massa itu melihat aneh seorang yang berteriak. Bagaimana mungkin dia berani lancang, padahal sang raja ‘tidak telanjang’. Kalau telanjang, pastinya sang raja telah terbirit-birit kabur, atau paling tidak menutup auratnya. Dalam pikiran orang-orang, sang raja tentu memiliki derajat tinggi sehingga tubuhnya bisa ditonton dengan mata telanjang, meskipun ia berpakaian.
Waktu-waktu selanjutnya, sang raja biasa mengunjungi rakyatnya dalam keadaan telanjang dan orang-orang merasa sang junjungan sedang berpakaian. Bahkan seseorang yang biasa berteriak ‘Lihat, raja telanjang!’ kini ikut bungkam dan lebih sering dinyinyiri sebagai kedangkalan berlogika dan berkesenian.
Orang akan dengan mudah menilai junjungan mereka benar, sekalipun dalam keadaan salah, apalagi kesalahAN sang junjungan dilakukan berkali-kali dengan cara meyakinkan. Lihat bagaimana orang tidak menerima suara kebenaran yang disuarakan oleh satu orang, dan memilih meyakini sang junjungan hanya dengan melihat gayanya saja.
Bagi saya, hal-hal yang dulu dianggap aneh, akan ada masanya dianggap lazim. Maka bagi saya, KEANEHAN ADALAH KELAZIMAN YANG TERTUNDA. Hanya menunggu pembiasaan saja, maka segala hal yang kita anggap aneh saat ini, akan lazim di masa mendatang. Jika dulu orang berciuman di pinggir jalan adalah keanehan, maka hari ini hal itu adalah kelaziman yang disepakati. Ini sekadar contoh kasus, untuk selebihnya bisa dipikir dan direnungkan sendiri.
Keanehan ini, tentu saja ada hubungannya dengan pembiasaan. Seperti halnya pepatah yang saya sebut di muka, bahwa kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran. Keanehan yang diulang-ulang dan dibiasakan maka akan menjadi kelaziman. Kita tinggal menunggu waktu saja. Tak heran jika kaum Yahudi, Liberalis, Kristen dkk begitu sabar menanamkan kebobokrokan akhlak dan perilaku pada generasi kita. Tentu saja semuanya dimulai dengan pengulangan—baik melalui TV, koran dll—dan dilanjutkan dengan pembiasaan dan pembenaran. Mereka sadar betul, bahwa pengulangaN kebobrokan tersebut akan segera dipetik buahnya, hanya perihal waktu saja.
Jangan heran jika hari ini, masyarakat mulai biasa mencaci dan membenci ulama dan keturunan Nabi. Jangan heran jika hari ini muda-mudi biasa berciuman, hamil sebelum nikah, asyik berpacaran. Dan jangan heran pula jika hari ini kebohongan, manipulasi, korupsi dan seabrek hal-hal yang kita anggap aneh, kini jadi begitu lazim. Semua tentu merupakan efek pengulangan dan pembiasaan yang dengan sabar ditanam di bawah otak sadar. Camkan!
=====
Penulis: N. Shalihin Damiri
Editor: Isomuddin Rusydi