Setelah kita perhatikan, akhir-akhir ini semua media dari yang cetak sampai elektronik, mulai dari akun-akun sosial media sampai grup-grup wa, selalu penuh dengan kabar-kabar dan berita yang entah benar entah salahnya, belum jelas terbayang tapi sudah kita konsumsi sampai kenyang. Saking mudahnya menyebarkan berita, terkadang kita sendiri pun tidak tahan untuk segera menyebarkannya kembali (yang terkadang) tanpa mau pikir panjang (juga).
Trend gaya hidup yang terus berkembang pesat, memaksa kita untuk turut ambil bagian di dalamnya. Karena disadari atau tidak kita memang benar-benar akan ketinggalan. Namun seperti pedang, media yang bertebaran dengan seabrek kecanggihannya ini sebenarnya juga perlu dilandasi dengan pengetahuan dan ‘keceradasan’ dalam menggunakannya. Karena jika tidak, kebutuhan hidup dan gaya hidup ini akan dijadikan ladang keuntungan yang tidak sehat bagi sebagian kalangan untuk memanipulasi pikiran kita.
Dalam sejarah modern, Adolf Hitler (1889-1945) seorang pentolan Nazi Jerman pada perang dunia ke-II ini adalah yang pertama menggunakan mind manipulation atau manipulasi pikiran sebagai senjata. Dalam autobiografinya, Hitler menulis bahwa jika kebohongan diulang secara terus menerus, maka pikiran manusia akan mempercayainya. Kebohongan lewat media adalah jurus jitu dan cepat untuk menanamkan kejahatan berkedok kebenaran.
Sekarang mari kita perhatikan, media yang mana yang tidak menampilkan keagungan sang junjungan dan menjelekkan lawan yang lain? Karena memang begitulah caranya, pelan tapi pasti seseorang akan mulai terasuki. Ibarat computer, mind atau pikiran manusia dapat pula dimanipulasi, di hack, bahkan dirasuki virus yang bisa menggerogoti jaringan alaminya. Lalu apakah semua salah? Tidak. Adakalanya sebagian kalangan menyadari itu dan melawannya (juga) dengan kekuatan media.
Tapi parahnya, saat kabar bohong (hoax) itu ketahuan dan diteriaki hoax, malah membalas teriak hoax. Maling teriak maling. Disinilah kecerdasan kita sebagai konsumen diperlukan untuk memilah dan memilih diantara keduanya. Kurang bijak rasanya jika kita langsung terbakar tanpa mencari tahu permasalahan di akar. Pun teramat sangat naïf sepertinya jika kita hanya berlandaskan kemanusiaan langsung jatuh hati dan membela mati-matian.
Kalau menggunakan istilah empat golongan manusia menurut imam al-Ghazali, sebaiknya kita menjadi rajulun yadri annahu laa yadri, yaitu manusia yang tahu diri kalau memang belum meimiliki pengetahuan dalam bidang seperti ini. Yang selanjutnya akan mencari tahu kepada yang lebih mengetahui. Jangan sampai kita menjadi manusia sok tahu yang sejatinya tidak tahu sama sekali, yang malah berakibat akan menyesatkan orang lain.
Intinya, sah-sah saja kita berbeda pendapat dengan orang lain dalam hal apa saja. Toh semunya dilindungi oleh undang-undang sebagai warga negara. Asal kita cerdas merujuk dalam menentukan pijakan. Namun yang jelas, segala perbedaan dan kepentingan yang ada, jangan sampai menjadikan rusaknya sebuah jalinan. Terlebih itu jalinan nasab keilmuan. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah.
Penulis: Zen Mochtar Adnan* (Anggota HMASS Jogja dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Editor: Ali Imron