Artikel

Keteguhan

Ilustrasi

Santri, berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah orang yang berpegang teguh pada Al-Quran dan mengikuti sunnah Rasul SAW. dan teguh pendirian

Potongan teks yang digurat oleh Hadratussyeikh Hasani Nawawie ini sudah seperti darah bagi santri Sidogiri. Walau sebagian besar kita belum bisa mengaktualkannya secara utuh, paling tidak kita mampu menghafalnya di luar kepala. Siapa tahu, suatu saat teks sakti ini yang menjadi pengingat bagi kesadaran kita dalam keteguhan memegang prinsip.

Keteguhan, kira-kira seperti kisah sahabat Bilal ketika ia masih berstatus budak. Alkisah, tubuh Bilal yang hitam legam dijemur di tanah lapang oleh tuannya. Alasannya sederhana saja; untuk merontokkan iman Bilal.

Tapi, siapa nyana, ternyata Bilal teguh pada pendiriannya. Ia tak terpengaruh sama sekali. Hati tuannya terbakar, kehormatannya seperti diinjak-injak. Maka ditaruhlah sebongkah batu besar di atas dada bidang Bilal. Sambil tersenyum penuh kemenangan, sang tuan mengulangi lagi pertanyaannya yang menjadi sebab-musabab marahnya tersulut. “sekarang, siapa tuhanmu, keparat?!”

“AHAD!” Jawaban yang singkat, tegas, padat dan tentu saja menusuk hati penanyanya.

Ada pesan moral dari kisah ini yang harus kita tangkap sebagai sebuah niscaya. Bahwa keteguhan memegang prinsip, cita-cita, sikap, apalagi iman, harus selalu hidup. Ia tak boleh mati, sampai kapan pun! Sebab jaman sering menuntut yang bukan-bukan untuk dilayani. Maka lihatlah, betapa banyak iman yang gugur demi sesuap nasi, jati diri hilang demi sebuah legalitas pergaulan -kita sering merasa bangga dicap berandal- dan cinta yang terkomersil di etalase-etalase rumah pelacuran.

Kisah orang-orang teguh selalu mengundang decak kagum. Kehadiranya bukan sekedar kisah omong kosong yang tak bernilai. Ia selalu menggugah inti kesadaran setiap orang yang rindu akan perubahan menuju kebaikan. Orang-orang teguh adalah inspirator terbesar yang menyulut jiwa kita untuk turut meneladani sekaligus mengagumi, meski sebenarnya mereka tak mengharap hal itu. Mereka memang tak sedang ingin menjual muka sebagaimana artis murahan –yang kita kagumi?- mendapat sambutan riuh tepuk tangan ketika mengulurkan bantuan.

Maka, dari keteguhan itu, lahirlah Nabi Muhammad SAW, Bilal bin Rabah, Imam Ahmad bin Hambal, dan Masyayikh-masyayikh pesantren kita. Kisah-kisah heroik mereka yang bernilai tinggi dan penuh pengorbanan yang mengharu-biru tak pernah selesai diungkapkan oleh sejarah. Setiap waktu. Lagi dan lagi.

Kita? Sebenarnya kita juga bisa memiliki keteguhan seperti mereka. Sebab keteguhan bukan monopoli perseorangan. Ia milik siapa saja asal masih bernama manusia. Masalahnya, kita kadang tak siap dan masih ragu-ragu menjadi orang teguh. Kita terlalu suka bersikap seperti bunglon yang tak pernah ada di dalam kurikulum Madrasah kita; ikut-ikutan keadaan.

Dan Saya tak dapat membayangkan, bagaimana jadinya jika para penerus perjuangan Mbah Sayid Sulaiman adalah orang-orang yang tak memiliki keteguhan iman, sikap, cita-cita dan pendirian? Mungkin hari ini tak akan ada orang yang mau berkata Sidogiri Pesantren Salaf. Dan yang pasti, akan ada gedung-gedung perguruan tinggi yang berdampingan dengan gedung MMU. Lalu lahirlah mahasantri yang kurang ajar, merobek agama dan jati dirinya sendiri. Beruntung kenyataannya tidak demikian. Di sekitar kita masih banyak stok orang-orang teguh yang bisa kita jadikan teladan.

Dan semoga saja kita mau mengarifi lagi prasasti yang digurat oleh K. H. Hasani Nawawi. Agar tak ada praduga dari orang luar; jangan-jangan itu hanya pajangan yang kemudian dilupakan oleh sejarah dan orang-orangnya. Sebab, mana ada santri yang tak teguh pada Al-Quran dan sunnah Baginda Rasul?

====

Penulis: N. Shalihin Damiri
Editor: Mustagfiri Soffan

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *