Banyak orang menyangka bahwa ringkasan (atau bahasa akrabnya rangkuman) perlu dibasmi. Bahkan pembuatnya pun—termasuk aku—dikritik habis-habisan. Katanya, ringkasan itu pembodohan. Apakah hal demikian benar?
Jika kita melihat sejarah, pada masa salaf, ringkasan sudah tersebar luas dari tangan-tangan ulama. Lebih tepatnya disebut mukhtashar. Dan, yang lebih penting lagi, tak satu pun ulama yang berani menyatakan bahwa hal demikian itu pembodohan.
Tersebutlah sebagai rekor perangkum yang produktif: Syaikh Zakariya al-Anshari, mujaddid abad ke-10. Ribuan kitab berat, telah berhasil beliau ringkas se-simple mungkin. Bahkan—saking simple-nya—jarang sekali orang bisa paham 100%. Hingga, jalan pintasnya (agar tidak terjadi gagal paham), beliau mensyarahi sendiri.
Tujuannya pun sama dengan riangkasan sekarang. Yakni, menyulap kitab besar menjadi kecil. Hal itu terkadang berbentuk mukhtashar (ringkasan lengkap), ada pula yang berbentuk muqtashar (ringkasan sepintas, kalau sekarang berbentuk soalan, skema dan kertas pembantu ingatan).
Visi sebenarnya—dari adanya ringkasan—sekedar untuk memudahkan pelajaran. Hanya orang bodoh—setengah gila—yang mengira bahwa rangkuman itu menyulitkan. Bahkan, orang yang melarang adanya ringkasan itulah yang sebenarnya menyulitkan pelajaran.
Otak manusia berbeda-beda. Hal itu sudah maklum. Sehingga tidak etis jika kemampuan yang berotak rendah, diukur dengan orang yang bisa membaca kitab “gundul” layaknya membaca novel. Bukan berarti orang yang belajar “putihan” dia malas mutahlaah kitabnya langsung. Terkadang, dia hanya kesulitan mencerna lafal “gundul” yang ada di kitab “kuning”, sehingga terpaksa memakai yang “putih”.
Jika setelah membaca tulisan singkat ini kamu masih anti-rangkuman, maka—kalau berani—datanglah ke perpustakaan, dan bakarlah 146 kitab mukhtashar adikarya ulama salaf. Mungkin saja—jika mau tebak-tebakan—kamu pulang menjadi katak.
Muhammad ibnu Romli/sidogiri.net