ArtikelSejarah

Haul Solo: Tradisi yang Menjadi Simbol Cinta Umat kepada Ulama

Setiap tanggal 20 Rabiuts Tsani, suasana Kota Solo berubah menjadi lautan manusia. Ribuan jamaah dari berbagai daerah memadati kawasan Masjid Riyadh dan sekitarnya, bahkan hingga radius dua kilometer. Mereka datang bukan untuk menghadiri festival atau konser akbar, melainkan demi sebuah momen spiritual yang telah mengakar kuat di hati masyarakat: Haul Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Haul Solo.

Menariknya, sosok yang dihormati dalam haul ini, Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, adalah seorang ulama besar asal Seiwun, Hadramaut, Yaman, yang semasa hidupnya belum pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Lantas, bagaimana peringatan haul beliau bisa menjadi tradisi besar di tanah air?

Awal Mula Tradisi Haul Solo

Dalam salah satu video kanal Nabawi TV, dijelaskan bahwa Habib Ali memiliki banyak murid yang menyebarkan ajarannya ke berbagai penjuru Nusantara. Di antaranya adalah Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi di Surabaya, serta Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf di Gresik.

Ketika putra beliau, Habib Alwi bin Ali al-Habsyi, datang ke Indonesia, para murid dan pencinta Habib Ali memohon agar haul sang guru juga diadakan di Indonesia. Permintaan itu disambut positif oleh Habib Alwi.

Haul pertama diselenggarakan secara sederhana di kediaman Habib Alwi, yang bersebelahan dengan Masjid Riyadh. Awalnya, hanya dihadiri oleh murid-murid dan para pencinta Habib Ali. Namun seiring waktu, jumlah jamaah terus bertambah hingga kediaman dan area masjid tak mampu lagi menampung hadirin. Mereka pun mulai duduk hingga ke jalan-jalan sekitar.

Salah satu faktor utama pesatnya penyebaran haul ini adalah tersebarnya kitab maulid karangan Habib Ali, yakni “Simthud Duror”, yang dibaca di berbagai majelis-majelis maulid di Indonesia.

Kontribusi Ulama Nusantara dalam Menyemarakkan Haul Solo

Perkembangan Haul Solo tidak dapat dipisahkan dari peran aktif para ulama Nusantara yang mengajak umat untuk hadir dan memuliakan acara ini. Salah satu tokoh penting dalam hal ini adalah K.H. Abdul Hamid Pasuruan, seorang ulama kharismatik sekaligus murid dari Habib Ja’far bin Syaikhon as-Segaf, salah satu murid dari Habib Ali.

Kiai Hamid memiliki andil besar dalam mengenalkan Haul Solo kepada masyarakat Pasuruan. Berkat ajakan dan keteladanan beliau, banyak jamaah dari Pasuruan yang hadir dalam haul tersebut. Bahkan, dalam catatan sejarah disebutkan bahwa ceramah haul pernah disampaikan dalam Bahasa Madura, sebagai bentuk penghormatan terhadap latar belakang etnis mayoritas jamaah dari Pasuruan.

Tak hanya itu, para masyayikh dari Pondok Pesantren Sidogiri juga turut aktif menyemarakkan Haul Solo. Salah satunya adalah kakanda Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, K.H. A. Fuad Noerhasan, yakni K.H. Ghozi Noerhasan, yang dikenal hampir selalu hadir dalam rangkaian acara haul. Hal ini merupakan cerminan dari kecintaan beliau yang mendalam terhadap para ulama, majelis dzikir, dan shalawat.

Baca juga: Bansus 1455 Kerahkan 500 Personel di Haul Solo
Baca juga: Mengumbar Maksiat dalam Sorotan Hadis

Asal Usul Nama “Haul Solo”

Nama “Haul Solo” sendiri tidak muncul sejak awal. Dalam salah satu ceramah, Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi menceritakan bahwa pada mulanya haul ini belum memiliki nama khusus. Karena diselenggarakan di Kota Solo, para jamaah dari luar daerah mulai menyebutnya dengan “Haul Solo” agar lebih mudah dikenali dan diingat.

Pemerintah Kota Solo merespons positif penyebutan ini. Bahkan, Haul Solo kini telah menjadi agenda tahunan resmi dalam kalender Pemkot Solo, dan didukung penuh pelaksanaannya.

Tradisi yang Terus Hidup dan Menginspirasi

Kini, Haul Solo bukan hanya menjadi ajang tahunan untuk mengenang sosok Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, tetapi juga menjadi simbol cinta umat kepada ulama dan warisan spiritualnya. Ribuan jamaah dari seluruh penjuru Nusantara, bahkan dari luar negeri, datang setiap tahun demi merasakan aura keberkahan dan spiritualitas yang terpancar dari majelis ini.

Perjalanan panjang Haul Solo membuktikan bahwa ikatan ruhani tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Meski Habib Ali tak pernah datang ke Indonesia, cintanya telah menembus batas-batas geografis melalui murid-muridnya, kitab-kitab karangannya, dan semangat para pencintanya.

Penulis: Moh. Syauqillah
Editor: A. Kholil

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *