Masyayikh SidogiriUnggulan

KH. Mahalli, Guru Empat Pengasuh Sidogiri (Bagian I)

jejak langkah masyayi,kh sidogiri
kiai mahalli

Anak Bawean yang Mondok di Sidogiri

Hadratussyekh KH Mahalli tak banyak dikenal dan disebut orang, sebab sifatnya yang khumûl atau low profile. Kendati demikian, beliau memberikan manfaat yang besar pada agama dan umat. Sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Sidogiri Kraton Pasuruan, Kiai Mahalli telah mendidik dan mengkader banyak ulama dan dai di masanya.

Di salah satu pesantren tertua di pulau Jawa itu, beliau meneruskan perjuangan mujahid agung Sayid Sulaiman dan KH Aminullah dalam menyebarkan ilmu-ilmu agama Islam. Dan cucunya, KH Nawawie bin Noerhasan, menjadi salah satu pendiri ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).

Kilas Balik Berdirinya PPS

kiai mahalli
kiai mahalli

Pondok Pesantren Sidogiri (PPS) dibabat dan didirikan oleh seorang sayid berdarah ningrat dari Cirebon Jawa Barat bernama Sayid Sulaiman. Beliau adalah keturunan Rasulullah SAW. dari marga Ba-Syaiban. Ayahnya, Sayid Abdurrahman, adalah seorang perantau dari negeri wali, Tarim Hadramaut Yaman. Sedangkan ibunya, Syarifah Khadijah, adalah putri Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Dengan demikian dari garis ibu, Sayid Sulaiman merupakan cicit Sunan Gunung Jati, salah satu Walisongo yang mendirikan Kesultanan Cirebon.

Perjuangan Sayid Sulaiman membabat tanah Sidogiri adalah atas titah seorang raja-ulama penguasa Kerajaan Giri (Gresik) keturunan Sunan Giri, yakni Pangeran Singanegara. Sayid Sulaiman diberi segumpal tanah dan diperintahkan untuk mencari tanah yang sama dengan segumpal tanah itu. Tugas itu bukanlah tugas yang mudah. Ternyata tanah yang dicari itu ditemukan di sebuah hutan lebat yang banyak ditumbuhi pepohonan besar dan tumbuhan lainnya, dan juga menjadi pusat kerajaan jin yang dihuni bangsa jin sejak jauh sebelumnya. Tanah itu kemudian dinamakan Sidogiri.

Merasa terganggu dengan kehadiran Sayid Sulaiman, jin-jin tersebut kemudian berusaha menghalangi Sayid Sulaiman. Namun demikian, beliau datang tidak hanya berbekal pengetahuan ilmu agama yang siap disebarluaskan, beliau juga berbekal kesaktian yang dimilikinya. Karena itu, beliau bergeming menghadapi jin-jin yang berusaha menggagalkan usahanya.

Sayid Sulaiman membabat dan mendirikan PPS dengan dibantu oleh KH Aminullah. Kiai Aminullah adalah santri sekaligus menantu Sayid Sulaiman yang berasal dari pulau Bawean, Gresik. Pembabatan Sidogiri tersebut dilakukan selama 40 hari 40 malam. Sidogiri dipilih untuk dibabat dan dijadikan pondok pesantren karena diyakini tanahnya baik dan berbarakah.

Mengenai segumpal tanah yang dibawa Sayid Sulaiman, menurut sebuah riwayat berada di depannya (timurnya) Surau H tempo dulu sebelum pelebaran. Bahkan lambang NU pertama yang terbuat dari tanah liat sebagian diambilkan dari tanah itu juga oleh KH Nawawie bin Noerhasan, keturunan Sayid Sulaiman yang menjadi salah satu pendiri NU. Ada yang mengatakan NU bisa besar seperti sekarang juga karena barakah tanah tersebut.

Sebelum rampung membabat Sidogiri, Sayid Sulaiman keburu wafat. Maka Kiai Aminullah meneruskan perjuangan guru sekaligus mertuanya itu. Perjuangan Kiai Aminullah meneruskan perjuangan Sayid Sulaiman tidak lepas dari bantuan santri sekaligus menantunya, Kiai Mahalli, hingga akhirnya Sidogiri dapat sempurna ditaklukkan dan dilepaskan dari kekuasan jin yang menghuninya.

Sebagian jin kemudian dibuang atau dipindah dari Sidogiri, dan sebagiannya tetap berada di Sidogiri menjadi santri hingga sekarang. Karena itulah santri di Sidogiri bukan hanya dari bangsa manusia, tapi juga dari bangsa jin. Jin-jin itu juga mengikuti pengajian kitab yang diasuh oleh pengasuh-pengasuh PPS. Tidak sedikit yang kemudian menjadi alim ilmu agama.

Anak Pulau Bawean

Kiai Mahalli diyakini lahir pada tahun 1700-an dari sebuah keluarga di Timur Rujing (atau Rujing Timur), di pulau Bawean, kecamatan Sangkapura, kabupaten Gresik, provinsi Jawa Timur. Desa yang tidak jauh dari dermaga Bawean— yang merupakan pusat pelayaran di pulau itu—memiliki potensi tanah yang subur. Penduduk desa itu mengandalkan hasil tani sebagai sumber kehidupannya, tetapi ada sebagiannya sekarang yang bekerja di luar Bawean. Tanahnya yang subur dimanfaatkan dengan ditanami berbagai macam tanaman setiap musimnya, mulai padi, kacang-kacangan, dan jagung.

Namun, tidak tertutup kemungkinan keluarga Kiai Mahalli berasal dari luar Bawean, sebab banyak ulama dan juru dakwah yang bukan asli penduduk Bawean, yang kemudian diketahui berasal dari Timur Tengah atau Jawa. Dan posisi tanah kelahiran Kiai Mahalli tidaklah terlalu jauh dari dermaga penyeberangan pulau yang sering dikunjungi oleh ulama-ulama dari negeri Arab.

Pulau Bawean banyak dikunjungi ulama karena secara geografis pulaunya berada di daerah Pantura (pantai laut utara) pulau Jawa, sedangkan rute pelayaran dari barat ke timur melewati jalur Pantura. Selain itu, pulau Bawean memang sering dijadikan tempat dakwah Islam oleh banyak penyebar Islam dari Timur Tengah. Salah satunya adalah ulama yang masyhur bernama Maulana Umar Mas’ud, ayah Kiai Aminullah Sidogiri.

Maulana Umar Mas’ud dikenal juga dengan sebutan Pangeran Perigi. Ia merupakan cucu dari Sunan Drajat yang datang ke pulau Bawean pada abad ke-17. Ia menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk pulau Majedi (nama pulau Bawean dahulu) yang saat itu masih menganut paham Hindu dan animisme, paham yang percaya bahwa roh mendiami semua benda. Setelah Maulana Umar Mas’ud mengalahkan Raja Babiliono—raja Bawean kala itu—dalam adu kesaktian, beliau kemudian memerintah di sana. Diperkirakan Maulana Umar Mas’ud memerintah di pulau Bawean antara tahun 1601-1630 M.

Beberapa ulama setelah Maulana Umar Mas’ud, juga banyak yang mengunjungi pulau seluas 199 km tersebut. Mereka datang ke Bawean bukan semata-mata untuk berdagang, tetapi juga menyebarkan ajaran Islam. Selain itu, umumnya ulama Timur Tengah yang hendak berdakwah di Indonesia mengunjungi Bawean terlebih dahulu, untuk sowan minta restu atau tabarrukan dulu pada yang lebih sepuh–yakni Maulana Umar Mas’ud–sebelum berdakwah.

Memperdalam Agama di Sidogiri

Kebiasaan orang-orang zaman dahulu yang akan memperdalam agama (baca: mondok) di tempat lain adalah sudah memiliki bekal pengetahuan ilmu agama. Bahkan tak jarang ditemukan mereka yang sudah hafal kitab Sharaf dan Jurmiyyah sebagai bekal belajarnya. Tradisi ini mendukung mereka untuk lebih mudah mendapatkan ilmu. Karena mereka sudah menguasai dasar-dasar untuk mendalami ilmu agama dengan sempurna daripada orang yang tidak memiliki bekal pengetahuan sama sekali.

Sebelum mondok ke Sidogiri, Kiai Mahalli belajar agama (nyantri) di pesantren di Bawean. Setelah mendapatkan ilmuilmu dasar agama, beliau kemudian memilih memperdalam ilmu agama ke tempat lain selain Bawean. Pilihannya jatuh pada Pondok Pesantren Sidogiri yang baru dibabat oleh Sayid Sulaiman, keturunan Sunan Gunung Jati Cirebon. Pesantren salaf yang masih sederhana itu memang menjadi salah satu tujuan belajar orang-orang Bawean, termasuk Kiai Aminullah– Pengasuh PPS yang asalnya santri dari Bawean–yang ikut menaklukkan jin penghuni hutan Sidogiri bersama Sayid Sulaiman. Dari dahulu sampai sekarang memang banyak santri dari Bawean yang memperdalam ilmu agama di PPS. Dahulu santri dari Bawean terkenal taat-taat, termasuk Kiai Aminullah dan Kiai Mahalli.

Di Sidogiri, Kiai Mahalli belajar kepada Kiai Aminullah, menantu Sayid Sulaiman. Ada yang memperkirakan bahwa Kiai Mahalli masih mengikuti masanya Sayid Sulaiman dan mengaji langsung kepadanya, dan ada yang mengatakan Kiai Mahalli hanya mengaji kepada Kiai Aminullah. Tampaknya, pendapat yang mengatakan Kiai Mahalli hanya mengaji kepada Kiai Aminullah lebih mendekati kebenaran, karena Kiai Mahalli kemudian diambil menantu oleh Kiai Aminullah, dinikahkan dengan Nyai Hafshah binti Aminullah.

Selain mengaji, Kiai Mahalli juga seperti Kiai Aminullah, tidak tinggal diam melihat gurunya berjuang sendirian melawan jin-jin penghuni Sidogiri. Kiai Mahalli membantu gurunya menaklukkan makhluk halus yang sering mengganggu proses pembangunan dan pengembangan pesantren itu. Perjuangan Kiai Aminullah dengan dibantu Kiai Mahalli itu mengingatkan pada masa sebelumnya, di mana Sayid Sulaiman dengan dibantu Kiai Aminullah berjuang menaklukkan jin-jin penghuni Sidogiri saat membabat dan mendirikan PPS.

Selama mondok di Sidogiri, Kiai Mahalli belajar dengan tekun, sehingga menjadi alim mengungguli santri-santri yang lain. Selain itu, beliau juga terkenal memiliki sifat khumûl (low profile) dan akhlakul karimah kepada guru dan teman-temannya. Beliau juga dikenal sakti, sebagaimana lazimnya ulama dan santri di masa itu.

Pernikahan Kiai Mahalli: Menikah dengan Putri Kiai

Setelah mondok sekian lama, akhirnya KH Mahalli diambil menantu oleh KH Aminullah, kiainya. Beliau dinikahkan dengan Nyai Hafshah binti Aminullah, yang tak lain adalah cucu Sayid Sulaiman.

Kiai Mahalli atau Kiai Musliman?

Menurut sebagian riwayat, pada awalnya Nyai Hafshah ditunangkan dengan KH Abu Dzarrin–juga santri Kiai Aminullah–yang diyakini masih keturunan Sayid Sulaiman. Kiai Abu Dzarrin santri Sidogiri yang ahli ilmu Sharaf dan Nahwu pada zamannya. Namun pertunangan itu tidak sampai pada jenjang pernikahan, karena Kiai Abu Dzarrin merasa tidak pantas (Madura: cangkolang) untuk bersanding dengan putri sang guru. Ia merasa akan lebih menghormati Kiai Aminullah jika tidak menikah dengan putri gurunya itu. Akhirnya, Nyai Hafshah dinikahkan dengan Kiai Mahalli.

Namun menurut riwayat lain, tidak demikian. Menurut keterangan dari beberapa narasumber dan keturunan Kiai Abu Dzarrin, pertunangan Nyai Hafshah dengan Kiai Abu Dzarrin tidaklah benar. Karena Kiai Abu Dzarrin hanya menututi masa kepengasuhan Kiai Mahalli, bukan Kiai Aminullah. Kiai Abu Dzarin hendak ditunangkan dengan Nyai Hanifah binti Mahalli, bukan dengan Nyai Hafshah binti Aminullah.

Mondoknya Kiai Abu Dzarrin di Sidogiri diperkirakan seperiode dengan Kiai Noerhasan, bukan dengan Kiai Mahalli. Karena menurut riwayat, Syaikhona Cholil Bangkalan hendak berguru mengaji Nahwu dan Sharraf kepada Kiai Abu Dzarrin, namun Kiai Abu Dzarrin sudah wafat. Lalu Syaikhona Cholil mengaji ke Sidogiri, ketika itu yang menjadi Pengasuh adalah KH Noerhasan bin Noerkhotim.

Keterangan yang lain dalam catatan nasab Keluarga Sidogiri menyebutkan, bahwa Nyai Hafshah dinikahkan dengan Kiai Musliman, bukan Kiai Mahalli, lalu memiliki putri bernama Nyai Hanifah. Nyai Hanifah ini kemudian dinikahkan dengan Kiai Noerhasan bin Noerkhotim dari Madura. Menilik catatan tersebut, timbul pertanyaan, apakah Kiai Musliman itu adalah Kiai Mahalli ataukah orang lain?

Hal ini menimbulkan dua kemungkinan. Pertama, Nyai Hafshah menikah dengan dua orang yang berbeda, Kiai Mahalli dan Kiai Musliman. Pernikahan Nyai Hafshah dengan Kiai Mahalli tidak dikaruniai keturunan, berdasarkan pendapat yang mengatakan Kiai Mahalli tidak mempunyai keturunan. Setelah itu, Nyai Hafshah menikah lagi dengan Kiai Musliman dan dikaruniai putra-putri, salah satunya bernama Nyai Hanifah. Atau sebaliknya, Nyai Hafshah menikah dengan Kiai Musliman terlebih dahulu, kemudian menikah dengan Kiai Mahalli.

Kedua, Nyai Hafshah menikah dengan satu orang yang memiliki dua nama, yaitu Kiai Mahalli alias Kiai Musliman. Kemungkinan Mahalli adalah nama yang mulai dipakai setelah melakukan ibadah haji ke Tanah Haram, sedangkan Musliman adalah nama sejak masih kanak-kanak. Atau barangkali karena hal lain beliau mempunyai lebih dari satu nama, sebagaimana lazimnya ulama di zaman dahulu.

Tampaknya pendapat yang mengatakan bahwa Kiai Mahalli itu adalah Kiai Musliman lebih kuat. Sebab Hadratussyekh KH Abd. Alim Abd. Djalil mengatakan bahwa Kiai Mahalli dan Kiai Musliman adalah satu orang. Dan inilah pendapat yang masyhur.

Bersambung…

Lanjut Ke Bagian II: KH. Mahalli, Guru Empat Pengasuh Sidogiri (Bagian II)

Disadur dari buku ‘Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri’

Pesan buku

Shares:
Show Comments (1)

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *