Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas orang yang mengalami masalah kejiwaan karena terserang virus yang biasa disebut LBGT. Juga tidak dimaksudkan membahas propaganda Barat yang begitu bersemangat menyebarkan virus LGBT itu ke berbagai belahan dunia. Karena pembahasan detail berkaitan dengan semua itu telah disajikan dalam rubrik topik utama pada terbitan sidogiri media kali ini.
Namun tulisan ini hendak meneropong mereka yang ikut-ikutan bersemangat mendukung LGBT, padahal mereka bukan pelaku atau pengidap penyakit LGBT. Kebanyakan mereka juga tidak pernah bersentuhan langsung dengan orang-orang yang mengidap penyakit LGBT. Mereka juga tidak diuntungkan maupun dirugikan oleh LGBT (terkecuali sebagian kecil orang yang mendapatkan kucuran dana). Tapi anehnya, mereka begitu semangat membela LGBT bak seorang pejuang di medan perang. Ketika semua pihak menyadari dan menyepakati bahwa LGBT adalah penyakit kejiwaan yang seharusnya disembuhkan, dari situ kita bisa mengidentifi kasi bahwa orang-orang yang mendukung LGBT sebetulnya mengidap penyakit kejiwaan serupa, yakni mereka sama-sama gilanya. Namun masalahnya ketika kegilaansudah dilakukan secara berjamaah, ia tampak seperti wajar dan biasa-biasa saja, bahkan mengklaim sebagai orang yang waras.
Dalam mendukung LGBT, mereka seringkali bertameng di belakang dalihdalih yang tampak logis, di antaranya adalah bahwa mereka tidak mendukung perilaku LGBT-nya, namun mendukung hak-hak orang yang mengidap penyakit LGBT itu untuk juga ‘dimanusiakan’, dalam arti mendapatkan hak yang sama dengan manusia normal pada umumnya.
Tentu saja ini adalah alasan yang mengada-ada. Karena sejatinya tak ada cara apapun untuk memanusiakan pengidap penyakit LGBT selain dengan menyembuhkannya, terlepas dari keyakinannya. Jika orang yang punya masalah kejiwaan seperti itu didukung dalam arti dibiarkan begitu, tentu itu sama halnya dengan kita mendukung orang gila untuk tetap dalam kegilaannya, tampa berbuat apa-apa dalam rangka membantunya lepas dari penyakit gila tersebut. Adakah tindakan seperti itu adalah manusiawi? Tentusaja tidak.
Di samping itu, ada pula pendukung yang tidak hanya memperjuangkan bagaimana LGBT dilegalkan di Indonesia secara hukum dan agamaatas nama Hak Asasi Manusia, seperti pendukung tipe pertama tadi itu. Pendukung tipe kedua ini selangkah ‘lebih maju’. Mereka juga berusaha untuk masuk ke dalam pedoman baku kedokteran yang mengkategorikan LGBT sebagai perilaku kelainan jiwa atau gangguan kejiwaan. Dalam hal ini, mereka mengkritik bahwa pedoman tersebut tidak benar, tidak sesuai dengan pergaulan modern, diskriminatif dan melanggar Hak Asasi Manusia. Selain menggoblok-goblokkan para ahli kejiwaan, pendukung tipe ini juga meremehkan para ulama ahli tafsir, dengan mengatakan bahwa tafsir tetaplah tafsir dan tak akan pernah menjadi al-Quran. Tafsir hanya cocok untuk zaman di mana ia ditulis dan tidak cocok untuk zaman-zaman setelahnya. Karena itu penafsiran ulang terhadap ayat yang mengecam perilaku homoseksual haruslah dilakukan, agar tafsir yang dihasilkan berkesuaian dengan keadaan dan kebutuhan zaman modern.
Tentu saja kita sangat kasihan melihat keanehan para pendukung LGBT itu. Mereka tampak tidak hanya mengalami gangguan jiwa, namun juga diterpa penyakit jahl murakkab, yakni kebodohan yang bertumpuk-tumpuk. Bagaimana bisa orang yang bukan ahli dan tidak tahu apa-apa tentang masalah kejiwaan sampai menggoblokgoblokkan para ahli kejiwaan? Bagaimana bisa orang yang tidak tahu apa-apa tentang tafsir al-Quran sampai berani mengatakan produk penafsiran para ulama sudah usang dan tidak relevan? Yâ asafâ…
Penulis: Moh. Achyat Ahmad/sidogiri Media