Menjadi sebuah pertanyaan ditengah-tengah masyarakat bahkan dikalangan santri yang belum tahu, tentang masalah, mengapa untuk mengenang Nabi Muhammad SAW, kita rayakan hari kelahirannya bukan hari wafatnya seperti halnya yang terjadi dalam kalangan pesantren, dimana kiyai atau keluarga kiyai biasanya untuk mengenang beliau dengan diadakan haul atau hari wafatnya.
Baca juga: Merayakan Maulid Nabi dengan Rebana
Bahkan mungkin di benak seseorang akan terlintas pikiran mengapa hanya merayakan maulidnya saja, kenapa tidak sekalian dengan haulnya. Nah, untuk pertanyaan-pertanyaan semacam ini cukuplah jawaban dari Syekh Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi sebagai pelega dahaga tersebut. Pakar Tafsir dan nyaris dinobatkan sebagai Mujtahid ini menjawab pertanyaan di atas dalam kitab beliau al-Hawi lil-Fatawa, seperti berikut ini:
Baca juga: Hukum Bersalawat Diiringi Rebana
إِنَّ وِلَادَتَهُ صلى الله عليه وسلّم أَعْظَمُ النِّعَمِ عَلَيْنَا , وَوَفَاتَهُ أَعْظَمُ الْمَصَائِبِ لَنَا ، وَالشَّرِيْعَةُ حَثَّتْ عَلَى إِظْهَارِ شُكْرِ النِّعَمِ وَالصَّبِرِ وَالسُّكُوْنِ وَالْكَتْمِ عِنْدَ المَصَائِبِ ، وَقَدْ أَمَرَ الشَّرْعُ بِالعَقِيْقَةِ عِنْدَ الوِلَادَةِ وَهِيَ إِظْهَارُ شُكْرٍ وَفَرَحٍ بِالمَوْلُوْدِ وَلَمْ يَأْمُرْ عِنْدَ المَوْتِ بِذَبْحٍ وَلَا بِغَيْرِهِ بَلْ نَهِى عَنِ النِّيَاحَةِ وَإِظْهَارِ الجَزَعِ ، فَدَلَّتْ قَوَاعِدُ الشَّرِيْعَةِ عَلَى أَنَّهُ يَحْسُنُ فِي هَذَا الشَّهْرِ إِظْهَارُ الفَرَحِ بِوِلَادَتِهِ صلى الله عليه وسلّم دُوْنَ إِظْهَارِ الحُزْنِ فِيْهِ بِوَفَاتِهِ ، وَقَدْ قَالَ ابْنُ رَجَبٍ فِي كِتَابِ الَّلطَائِفِ فِي ذَمِّ الرَّافِضَةِ حَيْثُ اتَّخَذُوا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ مَأْتَمًا لِأَجْلِ قَتْلِ الْحُسَيْنِ لَمْ يَأْمُرِ اللهُ وَلَا رَسُولُهُ بِاتِّخَاذِ أَيَّامِ مَصَائِبِ الأَنْبِيَاءِ وَمَوْتِهِمْ مَأْتَمًا فَكَيْفَ مِمَنْ هُوَ دُوْنَهُمْ ؟
Baca juga: Memahami Hukum dan Sejarah Maulid Nabi
Kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah kenikmatan terbesar untuk kita, sementara wafatnya beliau adalah musibah terbesar terhadap kita. Dan syariat memerintahkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat dan bersabar serta diam dan merahasiakan atas cobaan yang menimpa. Terbukti agama memerintahkan untuk menyembelih kambing sebagai aqiqah pada saat kelahiran anak, sementara hal itu termasuk bagian dari menampakkan rasa syukur dan kebahagiaan atas kelahiran. Dan syariat tidak memerintahkan menyembelih hewan disaat ada kematian, bahkan melarang adanya ratapan dan menampakkan kesedihan. Jadi, kaidah syariat menunjukkan bahwasannya yang baik dalam bulan maulid adalah menampakkan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, bukan menampakkan kesusahan atas musibah wafatnya beliau di bulan tersebut. Dan sungguh Imam Ibnu Rajab dalam kitabnya, al-Latho’if, bab tentang “Pencelaan terhadap kaum Syiah Rafidhah”, dimana mereka telah menjadikan Asyuro sebagai hari perayaan terbunuhnya Sayyidina al-Husain, beliau berkata: Allah dan Rasul-Nya tidak memerintahkan agar menjadikan hari tertimpanya musibah dan wafatnya para nabi sebagai hari peratapan. Lalu bagaimana dengan orang yang derajatnya di bawah mereka?.
Baca Juga: Renungan Bagi Pembenci Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
Musafal H/Sidogiri.net
Lihat juga artikel lain tentang maulid di sini!
Oh, ya, jangan lupa disebar link-nya, ya!