Artikel

Liberalisasi di Tubuh NU, Ust. Idrus Romli: Hasil Bahtsul Masail Pun Jadi Sasaran

Ust Idrrus Romli saat menjelaskan materinya
Ust Idrrus Romli saat menjelaskan materinya

Setelah PBNU mengeluarkan SK No. 206/A.II.03/5/2007 tertanggal 23 Mei 2007 tentang pengangkatan Tim Penyelaras Buku Himpunan Hasil Bahtsul Masail pada Muktamar dan Munas Alim Ulama NU, maka pada 2010 tim penyelaras berhasil menerbitkan buku hasil-hasil bahtsul masail yang lebih lengkap, mencakup Muktamar 1926 hingga Munas 2006, dengan judul ‘Ahkamul Fuqoha: Hasil Keputusan Muktamar dan Permusyawaratan Lainnya’.

Kumpulan ini disertai terjemahan bahasa Indonesia yang telah dilengkapi dengan referensi dengan menambahkan ta’liq (footnote) berupa pengarang, judul kitab, tahun terbit, pengarang, jilid/juz, dan halamannya. Buku ini diterbitkan oleh Lajnah Ta’lif wan Nasyr PBNU. Pada 2011, kumpulan tersebut diterbitkan kembali dengan menyertakan hasil bahtsul masail Muktamar ke-32 di Makassar.

Menurut Ust. Muhammad Idrus Ramli, Dewan Pakar Aswaja NU Center Jawa Timur dan Dewan Pakar Annajah Center Sidogiri (ACS), Liberalisme sudah masuk ke dalam kitab-kitab kuning, salah satunya melalui dirasah (studi dan penelitian).

“Setelah saya melakukan analis dan investigasi terhadap buku himpunan hasil Bahtsul Masail NU, Ahkamul Fuqoha, ternyata buku rujukan solusi problematika umat tersebut dari tahun ke tahun mengalami liberealiasasi yang dimotori oleh oknum-oknum liberal seputar peran wanita,” ujar pria asal Jember ini dalam seminar ilmiah Annajah Center Sidogiri (ACS) dengan tema ‘Liberalisme di tubuh NU, Sejarah, Sepak Terjang dan Infiltarsi Pemikirannya’, Rabu malam (28/11).

Berikut upaya Liberalisasi dalam Lingkungan NU melalui dirasah (studi dan penelitian). Studi Kasus; Keputusan Bahtsul Masail NU dalam buku Ahkamul Fuqoha seputar peran wanita;

  1. Hasil Keputusan Muktamar NU ke-8, 12 Muharram 1352 H/7 Mei 1933 M

Wanita Mendatangi Kegiatan Keagamaan

Pertanyaan:

Bagaimana hukum para wanita keluar dari rumahnya dengan berpakaian rapi dan memakai wangi-wangian mendatangi rapat-rapat keagamaan yang tidak termasuk fardhu ‘ain? Haram, makruh, ataukah sunnat? (Gresik)

Jawaban:

Hukumnya haram apabila berkeyakinan mendapat fitnah walaupun tidak berpakaian rapi dan tidak memakai wangi-wangian atau tidak diizinkan suaminya atau sayidnya dan termasuk doa besar. Apabila tidak yakin, tetapi menyangka adanya fitnah, maka haram tetapi dosa kecil… (Ahkam al-Fuqaha’, hal. 127).

  1. Hasil Keputusan Muktamar NU ke-10, 10 Muharram 1354 H/7 Mei 1935 M.

Munculnya Perempuan Untuk Pidato Keagamaan

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya orang perempuan berdiri di tengah-tengah lelaki lain untuk pidato keagamaan? Boleh ataukah tidak? (Ponorogo)

Jawaban:

Muktamar memutuskan bahwa berdiri orang perempuan di tengah-tengah lelaki lain, itu haram kecuali kalau bisa sunyi dari larangan agama Islam, seperti dapat menutup auratnya dan selamat dari segala fitnah, maka hukumnya boleh (jaiz) karena suara orang perempuan itu bukan termasuk aurat menurut Qaul Ashah. (Ahkam al-Fuqaha’, hal. 154).

  1. Hasil Keputusan Muktamar NU ke-16, 26-29 Maret 1946 M.

Perempuan Berpakaian Seragam Tentara

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya orang perempuan berpakaian uniform seperti TRI (Tentara Republik Indonesia) dan sampai di mana batas-batas perjuangan kaum wanita dalam pertempuran?

Jawaban:

Perjuangan perempuan dalam soal jika perang itu telah menjadi fardhu ‘ain atas mereka (perempuan), maka tidak ada batas, yakni sama dengan laki-laki, begitu juga tentang latihannya. Hanya saja pasti di tempat yang tersendiri dari orang-orang laki-laki, sebagaimana mestinya. Mereka diwaktu latihan atau berjuang, boleh beruniform tentara wanita untuk meringankan gerakannya, asal saja pakaian unifrom itu menutup aurat… (Ahkam al-Fuqaha’, hal. 279).

  1. Hasil Keputusan Rapat Dewan Partai NU, Jumadil Ula 1381 H/25 Oktober 1961 M.

Perempuan Menjadi Kepala Desa

Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya perempuan menjadi kepada desa? Bolehkah atau tidak? (Fraksi NU DPRGR Pusat)

Jawaban:

Sebenarnya mencalonkan orang perempuan untuk pilihan Kepala Desa itu tidak boleh, kecuali dalam keadaan memaksa, sebab disamakan dengan tidak bolehnya orang perempuan menjadi hakim. Demikianlah menurut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali dan yang dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf. Tetapi madzhab Hanafi memperbolehkan dalam urusan harta benda. Sedangkan Imam Ibnu Jarir memperbolehkan dalam segala urusan dari apa saja… (Ahkam al-Fuqaha’, hal. 127).

  1. Keputusan Muktamar ke-30, 21-27 Nopember 1999.

Islam dan Kesetaraan Gender

Terdapat tiga bidang yang menjadi halangan terciptanya “hubungan gender” yang lebih adil, yaitu bidang yang berkaitan dengan teologi (pandangan keagamaan), kebudayaan dan politik.

Di bidang teologi, terdapat penafsiran keagamaan terhadap ayat atau hadits yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan gender, sebaliknya malah bias laki-laki. Dalam penafsiran ini, perempuan didudukkan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Sumber penafsiran ini antara lain adalah kata “qammamun” dalam surat al-Nisa’: 34, serta hadits “lan yufliha qaumun wallau amrahum imroatan”. Kedua ayat dan hadits itu ditasirkan menurut referensi Islam yang menegaskan kedudukan laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan. Dari sudut penafsiran ini pula, terdapat pemahaman mengenai dua wilayah yang terpisah antara laki-laki dan perempuan… (Ahkam al-Fuqaha’, hal. 649).

  1. Menafsirkan ulang beberapa nuktah dalam pemahaman keagamaan. Karena adanya perkembangan dalam masyarakat yang menuntut terciptanya keadilan gender, maka penafsiran kembali paham keagamaan yang bias laki-laki merupakan keharusan yang tak bisa dielakkan. Dalam kaitan ini, beberapa hal harus dilakukan:

a). Menggunakan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis untuk memahami ayat atau hadits yang berkaitan dengan soal gender. Penafsiran-penafsiran dalam khazanah fiqih yang bias laki-laki hendaknya dilihat sebagai cerminan dari kondisi sosial tertentu yang masih mendudukkan laki-laki pada posisi dominan.

b). Sesuai dengan prinsip keadilan gender serta prinsip umum Islam mengenai keadilan, maka diskriminasi atas perempuan dalam posisi publik tidak bisa dibenarkan. Kepemimpinan perempuan merupakan hak yang dimiliki perempuan, serta dengan hak yang sama juga dimiliki laki-laki. Ayat kedudukan sebagai “qawwan” dalam al-Nisa’: 34 hendaknya diletakkan dalam konteks hubungan domestik dalam rumah tangga, sehingga tidak bisa digunakan untuk menghalangi hak perempuan atas posisi-posisi publik.

c). Penafsiran atas ayat dan hadits yang berhubungan dengan gender tidak hanya dianggap sebagai bagian dari “agama” itu sendiri, tetapi memerlukan ijtihad yang kedudukannya adalah relatif, dan tergantung pada perkembangan masyarakat yang terus berubah. (Ahkam al-Fuqaha’ hal. 650-651).

d). Dibutuhkan penafsiran agama yang lebih sesuai dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan gender untuk mengatasi diskriminasi atas perempuan di berbagai sektor kehidupan. (Ahkam al-Fuqaha’ hal. 651)

  1. Merombak praktik-praktik politik yang mendiskriminasikan perempuan. Dalam kaitan ini, hal-hal yang harus dilakukan adalah:

Membangun sistem sosial dan politik yang demokratis dan bebas dari diskriminasi gender, dengan mengedepankan beberapa prinsip berikut: (a) persamaan (musawah atau equality), (b) keadilan (‘adalah atau justice), (c) kebebasan (hurriyyah atau freedom). (Ahkam al-Fuqaha’ hal. 652).

Dari data-fakta hasil keputusan barusan, beliau menambahkan, sudah sangat jelas bahwa semakin tahun hasil bahtsul masail yang dirumuskan Muktamar ataupun Munas NU semakin mengarah kepada pemikiran kaum liberal.

“Awalnya hukumnya sangat ketat, lambat laun hukumnya melembek ke arah pemikiran liberal,” pungkas kiai muda alumnus Pondok Pesantren Sidogiri ini.

===
Penulis : Ilham Akbar
Editor   : Muh. Kurdi Arifin

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *