Boleh jadi, ini adalah waktu yang paling mendesak bagi madrasah diniyah untuk melakukan revolusi dalam dirinya sendiri. Terkecuali, di pesantren-pesantren ternama, madrasah diniyah bisa disebut sedang mati suri.
Ada banyak sekali faktor yang mungkin mempengaruhi, tapi yang paling menonjol adalah minat masyarakat dan regulasi pemerintah di dunia pendidikan. Dua faktor ini saling berkaitan satu sama lain. Meluasnya opini “minimnya peluang kerja bagi yang tak memiliki ijazah formal” merupakan racun yang sangat mematikan bagi perkembangan madrasah diniyah, karena pada saat bersamaan pemerintah terkesan “sangat malas” untuk mengakomodir madrasah diniyah dalam sistem pendidikan nasional.
Sikap pemerintah ini cukup bisa dimaklumi, mengingat sejak semula pesantren dan madrasah diniyah memang sengaja memposisikan, bahkan mendeklarasikan diri sebagai pendidikan kultural yang berada di luar sistem. Mereka memakai kurikulum dan sistem yang mandiri, tidak berkenan diintervensi sedikitpun oleh pemerintah. Maka, merupakan salah satu bentuk sikap ksatria, jika saat ini madrasah diniyah tetap memilih merdeka dengan senantiasa melihat ke dalam dirinya sendiri, tidak mencari kambing hitam dan tidak serba terusik dengan hak dari “sistem” yang lain.
Kebiasaan mencari kambing hitam hanya akan membuat madrasah diniyah semakin runtuh, karena dia hanya akan sibuk mencari-cari kesalahan “sistem” lain sampai lupa berkonsentrasi untuk mengembangkan dirinya sendiri.
Ada beberapa perkembangan penting yang perlu diperhatikan agar madrasah diniyah tetap bisa berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Pertama, madrasah diniyah sebenarnya memiliki adik kandung baru, yaitu TPQ atau TPA yang saat ini sedang marak di mana-mana. Saat madrasah diniyah sedang lesu, justru TPQ dan TPA sedang bergairah. Eksisnya TPQ dan TPA ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya: (a) dalam pemahaman masyarakat Muslim secara umum, kemampuan membaca al-Qur’an merupakan ukuran standar yang hampir niscaya. Orangtua merasa malu jika anaknya tidak bisa membaca al-Qur’an, meskipun mereka tidak malu jika anaknya tidak bisa salat. (b) TPQ dan TPA memiliki jaminan kompetensi yang jelas, terukur, mudah dipahami dan disosialisasikan kepada wali murid. (c) TPQ dan TPA biasanya memiliki induk organisasi, sehingga mereka bisa memakai kurikulum dan sistem yang sama, membuat even bersama semacam festival dan wisuda.
Faktor (a) sulit dimiliki oleh madrasah diniyah. Sedangkan faktor (b) dan (c) bisa ditiru dan diusahakan, apabila masing-masing madrasah diniyah mau berbesar hati untuk duduk bersama dan membuat sebuah jaringan. Ada beberapa pilihan yang bisa diambil agar jaringan tersebut bisa terbentuk. Di antaranya, hubungan emosional dengan pesantren tertentu, seperti yang dipelopori oleh Pondok Pesantren Sidogiri dalam membentuk Madrasah Miftahul Ulum (MMU) Ranting. Sudah ada ratusan madrasah yang menjadi ranting Sidogiri, dengan memakai kurikulum yang sama, soal ujian yang sama, seragam sekolah yang sama, serta pengadaan even bersama. Festival madrasah ranting yang diadakan Sidogiri, khususnya di kabupaten Pasuruan, membuat denyut nadi madrasah diniyah di Pasuruan berdetak keras di desa-desa.
Dalam kasus MMU Ranting, Sidogiri tidak pernah mendirikan madrasah ranting di desa-desa. Mula-mula Sidogiri hanya mengetuk hubungan emosional alumninya dengan Pesantren, sehingga mereka tertarik untuk bergabung.
Pilihan lain untuk membentuk jaringan madrasah diniyah bisa menggunakan pola yang dikembangkan oleh Maarif NU Jember. Mula-mula Maarif NU Jember membuat metode pembelajaran al-Qur’an “Dirasati”. Metode ini berkembang luas, sehingga saat ini, Maarif NU Jember bisa menyelenggarakan even wisuda TPQ secara rutin, dengan jumlah wisudawan yang mencapai ribuan orang. Sekali lagi, ini momen yang membuat para wali murid sangat tertarik, bahkan berani mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk prosesi wisuda putra-putri mereka. Bagi mereka, ini merupakan salah satu momen yang paling ditunggu-tunggu.
Setelah sukses di jenjang TPQ, Maarif NU Jember mulai menggagas pendidikan pasca TPQ atau yang lebih akrab dengan sebutan madrasah diniyah. Anak yang sudah terbiasa belajar di TPQ pada sore hari, diusahakan untuk tidak berhenti belajar setelah mereka selesai diwisuda. Namun, mereka diusahakan untuk tetap belajar di waktu tersebut dengan melanjutkan ke jenjang pengenalan kitab kuning, dan pelajaran-pelajaran diniyah yang lain. Meski masih belum semeriah di tingkat TPQ, namun benih untuk berkembang sudah ada, sebab hanya tinggal melanjutkan hubungan yang sudah terbina dengan baik di antara lembaga-lembaga TPQ di Jember.
Kedua, ada beberapa lembaga pendidikan formal yang menggunakan pola penyisipan madrasah diniyah. Ada satu sampai dua jam pelajaran dari sekolah tersebut yang digunakan untuk TPQ-Diniyah dan harus diikuti oleh seluruh murid. Murid yang belum memenuhi kualifikasi kemampuan standar al-Qur’an, maka harus mengikuti TPQ. Sedangkan murid yang sudah memenuhi kualifikasi, harus mengikuti Diniyah.
Meskipun terhitung jarang, sudah ada beberapa lembaga pendidikan formal yang mengembangkan pola ini. Sehingga, murid yang bersekolah di lembaga tersebut, secara otomatis dia juga mengikuti madrasah diniyah. Ini bisa dibilang sebagai strategi yang cerdas, sebagai langkah taktis untuk menyiasati kegandrungan masyarakat terhadap pendidikan formal dan minimnya minat mereka terhadap madrasah diniyah.
Sebagian sekolah yang menggunakan pola tersebut meletakkan kegiatan TPQ-Diniyah pada jam pertama, misalnya jam 7:00 s.d. 8:00. Sebagian lain, meletakkannya di akhir, misalnya jam 13:00 s.d 14:00. Jam pertama lebih efektif, karena jam tersebut merupakan jam-jam “segar”, sehingga lebih mudah bagi murid untuk menerima pelajaran diniyah.
*****
Semua itu adalah upaya yang telah dilakukan oleh teman-teman pencinta madrasah diniyah. Setidaknya, hal tersebut bisa menjadi pengalaman yang menginspirasi para pengelola madrasah diniyah yang lain. Dan, tentu saja, kita bisa mencoba terobosan-terobosan baru yang mungkin lebih efektif dan lebih sesuai dengan kondisi nyata di lingkungan kita. Yang terpenting, madrasah diniyah tidak boleh sering-sering mengeluhkan keadaan, karena hal itu hanya memperbesar rasa pesimis dan rasa malas untuk bergerak. “Law ra’aitu fil-jaz’i madrakan ma ikhtartu alaih, Andai mengeluh bisa menyelesaikan persoalan, aku tidak akan memilih jalan lain,” pesan seorang tokoh sufi perempuan.
Penulis: Ahmad Dairobi