Diskursus tentang tasyabbuh (meniru atau menyerupai) adalah sebuah tema yang pembahasannya tidak akan lekang dimakan zaman. Hal ini dipicu oleh adanya dinamika-progresif kehidupan yang selalu mengalami perubahan. Suatu tindakan dan simbol yang dulunya merupakan ciri khas (khushushiyah) yang melekat pada satu komunitas atau bangsa, kini berubah wujud menjadi tradisi masyarakat komunal. Pada gilirannya, perubahan itu merembet terhadap berubahnya D Memahami Tasyabbuh Secara Utuh status hukum dari tindakan tersebut. Hal ini selaras dengan kaidah Ushul Fikih, yaitu “Hukum senantiasa mengalami perputaran sesuai dengan ada dan tidaknya kausa (ilat) dan “Perubahan hukum yang dipicu perubahan kondisi tidak bisa dipungkiri”. Namun demikian, hal-hal yang masuk dalam frame kaidah ini adalah produk hukum ijtihadi yang bersifat zhanni, bukan hukum-hukum yang bersifat absolut atau tsawâbit. Satu contoh, pada masa kolonial dulu, Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari pernah berfatwa ihwal haramnya mengenakan atribut-atribut orang Belanda, seperti jas, dasi, dan celana, karena waktu itu pakaian tersebut memang dikenakan oleh masyakat Negeri Kincir Angin.
Namun, masa sekarang masyarakat umum sudah biasa mengenakannya, bahkan hampir di seluruh negara. Dengan demikian, status hukum haram tersebut tergerus dengan sendirinya dan berubah wujud menjadi “halal”, dan label hukum haram itu bermula dari keharaman tasyabbuh dengan mereka, bukan dari esensi atributnya. Memang, dalam banyak kesempatan Rasulullah r selalu mewanti-wanti kita untuk tidak melakukan praktik tasyabbuh. Beliau tidak suka melihat laki-laki menyerupai wanita, begitu juga sebaliknya. Beliau juga sangat benci melihat umat Islam meniru dan menyerupai non-Muslim. Dalam hadis dijelaskan: Suatu ketika Abdullah bin Amr bin al-Ash pernah melihat Ummu Said binti Abu Jahal menghunus pedang sembari berlagak layaknya seorang pria, lalu Abdullah berkata: “Saya pernah mendengar Rasulullah r bersabda: “Wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita bukan termasuk golongan kita”. (HR. Imam Ahmad dan ath-Thabrani). Dalam hadis lain diterangkan: “Rasulullah saw melaknat kaum adam menyerupai kaum hawa, dan kaum hawa menyerupai kaum adam”. (HR. Imam al-Bukhari).
Namun demikian, ada beberapa catatan yang harus diindahkan dalam memahami konsep tasyabbuh. Tidak semua tingkah-laku kita masuk dalam kategori tasyabbuh, kendati ada kemiripan bahkan kesamaan dengan orang atau komunitas yang kita tiru. Sehubungan dengan ini Ibnu Nujaim al-Hanbali dalam al-Bahru ar-Ra’iq Syarh Kanzud-Daqâ’iq mengatakan, “Ketahuilah, bahwa menyerupai Ahli Kitab (Kristen dan Yahudi) tidak dimakruhkan dalam setiap hal, sebab kita juga makan dan minum seperti halnya mereka lakukan. Tasyabbuh yang haram itu jika berkaitan dengan perbuatan yang tercela dan memang ada niat pelakunya untuk bertasyabbuh kepada mereka”.
Dengan demikian, poin-poin penting yang membuat tindakan yang kita praktikkan masuk dalam koridor tasyabbuh yang mendapat kecaman dari agama adalah: Pertama, ada unsur kesengajaan Rasulullah r memiliki banyak sekali sikap yang selain diperlukan untuk menghadapi masalah dengan mudah, juga membuat akhlak Rasulullah r nampak indah. dari pelakunya untuk ber-tasyabbuh, semisal dalam konteks penyerupaan wanita terhadap laki-laki dan sebaliknya. Karena itu, jika hanya kebetulan ada kemiripan antara wanita dan laki-laki dalam suatu kasus maka hal itu tidak masuk dalam kategori tasyabbuh, sebab dalam banyak hal ada kesamaan tindakan antara lakilaki dan perempuan, seperti dalam penggunaan alat-alat makanan dan sarana transportasi.
Terkait persoalan ini, Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fathul-Jawâd mengomentari Hadis tasyabbuh di atas menyatakan bahwa larangan tasyabbuh tersebut ditujukan kepada pelaku yang sengaja melakukannya, bukan karena dari sono-nya (ashlul-khilqah) atau hanya kebetulan. Namun, pelakunya harus diberi penyuluhan dan dipaksa untuk meninggalkan perbuatannya secara bertahap. Jika tetap bersikeras maka ia masuk dalam bingkai tasyabbuh yang mendapat ancaman dari syariat. Kedua, perbuatan atau objek yang dijadikan bahan penyerupaan (musyabbah bih) merupakan ciri khas (khushushiyah) bagi individu, komunitas, bangsa dan pemeluk agama tertentu. Mafhumnya, jika bahan penyerupaan itu sudah bersifat general sehingga tidak bisa dibedakan antara komunitas, gender, dan pemeluk agama tertentu maka hal itu tidak dikatakan tasyabbuh dan sah-sah saja dilakukan, tapi juga dengan catatan secara esensial bahan penyerupaan tersebut tidak haram (haram aini), seperti halnya sutra yang dikenakan oleh lelaki tanpa ada hajat dan kondisi darurat.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Sayid Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur dalam BughyatulMustarsyidîn-nya dengan mencatut beberapa pendapat ulama yang termaktub dalam Tuhfatul-Muhtâj¸alImdâd, dan an-Nihâyah. Sedangkan standarisasi dalam mengukur sesuatu itu menjadi ciri khas suatu komunitas masyarakat, bangsa, ataupun pemeluk agama, adakalanya muncul dari agama itu sendiri, karakter masing-masing masyarakat, serta budaya dan tradisi. Dari sini bisa dipahami bahwa titik kulminasi tasyabbuh yang ilegal menurut pandangan agama adalah tasyabbuh dalam hal penggunaan atribut dan perbuatan-perbuatan yang tidak bernuansa kebaikan dengan mempertimbangkan catatan-catatan di atas, demikian menurut Syekh Abu Muhammad bin Abi Hamzah. Wallâhu a’lam.
Afifuddin/Sidogiri Media