Artikel

Benarkah, Rebo Wekasan Hari Sial?

Bulan Shafar identik dengan segala tradisi yang berbau ‘mitos’. Di antaranya adalah tradisi minum air rajah, sedekah bubur Shafar, dan Rebo Wekasan. Kali ini kita fokuskan pembahasan tentang Rebo Wekasan dan segala hal yang berkaitan di dalamnya.Bulan Shafar identik dengan segala tradisi yang berbau ‘mitos’.

Di antaranya adalah tradisi minum air rajah, sedekah bubur Shafar, dan Rebo Wekasan. Kali ini kita fokuskan pembahasan tentang Rebo Wekasan dan segala hal yang berkaitan di dalamnya. Rebo Wekasan atau yang juga dikenal dengan Rabu Pungkasan adalah sebuah tradisi di hari Rabu terakhir bulan Shafar.

Tradisi ini telah mengakar kuat di kalangan akar rumput dan diwariskan secara turun-temurun. Istilah Rebo Wekasan diyakini menjadi ‘hari sial’ dikarenakan turunnya bala’ pada hari tersebut. Benarkah keyakinan ini atau hanya sekadar kabar burung belaka? Syekh Ahmad bin Umar ad-Dairabi dalam kitabnya al-Mujarrabat ad-Dairabi al-Kabir menjelaskan, bahwa seorang waliyullah mendapatkan ilham, bahwasanya 320.000 musibah turun pada hari tersebut. Hal ini selaras dengan pendapat dalam kitab Jawahir al-Qamsi, bahwa 320.000 bala’ turun di setiap tahunnya dan semuanya turun pada hari Rabu terakhir bulan Shafar.

Menyikapi penjelasan tersebut, muncullah beragam amaliah untuk menolak marabahaya tersebut. Para tokoh masyarakat ‘menakut-nakuti’ umat untuk melakukan shalat berjamaah, istighasah bersama, tahlil, dan semacamnya pada hari tersebut. Namun, hal ini justru menimbulkan perspektif miring di kalangan awam. Mereka beranggapan amaliah tersebut dilakukan murni didasari faktor ‘hari sial’, sehingga bila tidak dilakukan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Menganggap ‘sial’ hari Rabu bulan Shafar tersebut tergolong thiyarah (Su’udzon kepada Allah) yang sangat dilarang oleh Syara’, seperti statement Ahli Nujum (peramal) yang meyakini hari Rabu adalah hari yang berbintang merkuri. Sedangkan bintang merkuri adalah lambang kesialan. Hal ini sudah jelas keluar dari konteks syariat. Adapun dilakukannya amaliah di atas bertendensi pada hadis yang berbunyi, “Dari ‘Aisyah, Istri Rasulullah, berkata: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah tertawa terbahak-bahak hingga terlihat anak lidahnya”, Beliau hanya tersenyum.  ‘Aisyah berkata: “Apabila Beliau melihat awan atau angin, maka hal itu dapat diketahui pada wajahnya.” Dia berkata: “Wahai Rasulullah! Apabila orang-orang melihat awan mereka sangat bahagia berharap supaya turun hujan. Sedangkan saya melihat engkau setiap kali melihatnya tampak kekhawatiran di wajahmu.” Beliau bersabda: “Wahai ‘Aisyah! Saya tidak merasa aman, jangan-jangan isinya mendatangkan siksaan.

Telah diazab suatu kaum dengan angin dan suatu kaum lagi melihat azab, namun dia malah mengatakan, “Ini adalah awan yang mengandung hujan, yang akan menghujani kami” padahal, justru awan itu akan mendatangkan siksa.” (HR.Bukhari)Alhasil, terdapat benang merah antara amaliah Rebo Wekasan dan sikap Nabi dari hadis di atas. Amaliah tersebut bukan murni menolak kesialan, namun sebagai bentuk ibadah dan ikhtiar kita kepada Allah untuk memohon perlindungan. Semuanya harus diyakini dengan keyakinan yang benar. Tidak ada campur tangan ‘hari sial’ dalam takdir Allah. Turunnya bala’ dan nikmat murni kehendak Allah Azza wa Jalla. 

Rizqi Mubaroq/Madinah

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *