Banyak usaha yang dilakukan oleh kalangan liberal untuk menundukkan al-Quran agar responsif terhadap perkembangan zaman, tentunya menurut rasio terbatas mereka. Salah satunya menggunakan pendekatan tafsir “jalanlain” yang sama sekali tidak dikenal dalam khazanah Islam mulai dari periode shahabat sampai sekarang. Ketika berdialektika dengan al-Quran, mereka memposisikannya sebagai produk budaya. Ia tidak lagi dipahami secara utuh, tapi ditafsirkan secara temporal, lokal, dan kondisional. Sakralitasnya pun mulai diragukan, bahkan faktualitas sejarah di dalamnya yang umumnya diceritakan secara singkat dianggap dongeng pengantar tidur. Alih-alih menyesuaikan dengan kondisi zaman, tapi nyatanya mereka menjadikan al-Quran sebagai justifikasi terhadap paham-paham impor dari Barat yang sudah menodai tatanan hidup beragama dan bermasyarakat, seperti Feminisme, Sekuralisme, Relativisme, dan Pluralisme. Hasilnya, penafsiran mereka menjadi abal-abal atau tafsir bir-ra’yi al-madzmûm.
Di dalam setiap bidang ilmu pengetahuan, hampir selalu didapati para penyusup, di mana mereka bukan bagian dari ahli, atau bahkan sama sekali tidak tahu apa-apa, namun sok ahli dan sok tahu dengan ikut nimbrung dan berkecimpung dalam setiap pembicaraan ilmiah. Mereka adalah ‘faqîh’ gadungan, ‘muhaddits’ prematur, ‘mufassir’ abal-abal, atau label apapun yang menggambarkan ia adalah seorang penipu yang menyelinap. Mereka selalu mencari cara bagaimana agar bisa ikut masuk ke medan ilmiah sekalipun mereka tidak mengantongi ilmunya, tak punya keahlian apa-apa dan tidak ada seorangpun yang memperhitungkannya.
Tentu saja maksud dari cuapcuap mereka itu tak lain agar mereka bisa terlibat dalam aktifi tas penafsiran al-Quran, lalu hasil penafsirannya mendapat pengakuan, meski sesungguhnya mereka hanya bermodal dengkul belaka. Ini sama saja dengan orang yang rajin berkoarkoar “pintu ijtihad tidak ditutup”, yang dimaksudkan agar ia bisa seenaknya
memproduksi hukum layaknya ahli fikih, meski sebetulnya ia tak tahu apaapa soal fikih. Memangnya siapa yang telah menutup peluang untuk menafsirkan al-Quran, sehingga penafsir abal-abal itu merasa perlu berteriak “al-Quran bukan korpus tertutup?” Memangnya siapa pula yang telah menutup pintu ijtihad, sehingga mujtahid gadungan itu merasa perlu berteriak bahwa “pintu ijtihad tak pernah tertutup”? Tak ada seorangpun yang melarang menafsirkan al-Quran maupun berijtihad, karena larangan itu bertentangan dengan maksud kehadiran al-Quran dan Hadis sebagai dua pusaka yang memberikan petunjuk kepada umat hingga hari kiamat. Wahyu berhenti turun sejak wafatnya Baginda Nabi , sedangkan persoalanpersoalan baru selalu bermunculan seiring perjalanan waktu, yang jelas membutuhkan petunjuk dari al-Quran dan Hadis, melalui aktifi tas ijtihad dan penafsiran.
Nah, jika tak ada laranganmenafsirkan al-Quran sebagaimana tidak ada penutupan pintu ijtihad, lalu di mana masalahnya? Letak persoalannya berada pada sejumlah orang yang sok tahu, sok ahli, lalu ikut ngerecoki urusan menafsiri al-Quran tanpa ilmu. Padahal, maksud dari penafsiran terhadap al-Quran itu selalu terbuka sepanjang zaman adalah, bahwa siapapun boleh menafsirkan al-Quran jika memang ia mengantongi ilmu dan persyaratannya dengan lengkap.
Begitupun urusan berijtihad; siapapun boleh berijtihad asalkan ia mengantongi ilmunya dan persyaratannya dengan lengkap. Karena kajian terhada al-Quran, sebagaimana terhadap Hadis, fikih, bahasa, gramatika, dan lain sebagainya, merupakan aktifi tas ilmiah yang hanya bisa dijangkau oleh orang yang mengkonsentrasikan diri secara total, sehingga bidang itu menjadi keahlian tersendiri baginya, dan keahliannya itu diakui oleh para ahli di bidang itu. Sungguh, spesifi kasi “keahlian” seperti ini tidak hanya monopoli ilmuilmu keislaman, tapi memang menjadi watak bagi keilmuan apapun. Keahlian di bidang kedokteran, misalnya. Meskipun siapa saja tidak dilarang untuk mempelajari ilmu kedokteran, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, besar maupun kecil, namun tetap saja mengobati pasien di rumah sakit adalah profesi khusus yang tak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Ia haruslah orang yang sudah lulus dari fakultas kedokteran, diakui oleh dokter-dokter ahli, mendapatkan lisensi khusus, dan seterusnya. Jadi tidak adanya larangan bagi siapa saja untuk mempelajari al-Quran, bahkan siapapun dianjurkan untuk mempelajari al-Quran, tak berarti mereka sekaligus boleh menafsirkan al-Quran. Sama halnya dengan anjuran bagi siapapun untuk mempelajari ilmu fi kih, tidak berarti siapapun diperkenankan untuk berijtihad lalu berfatwa. Menafsirkan al-Quran maupun berfatwa adalah profesi tertentu yang hanya bisa dilakukan oleh ahlinya. Jika tidak begitu, maka akan terjadi kerusakan yang berbahaya, seperti halnya orang yang awam yang membaca buku pengobatan
lalu sekonyong-konyong ditugaskan mengobati pasien di rumah sakit. Itulah sebabnya kenapa di dalam setiap kitab ‘Ulûmul-Qur’ân, seperti al-Itqân karya as-Suyuthi dan al-Burhân karya az-Zarkasyi, pasti diuraikah segala hal yang berhubungan dengan al-Quran yang harus diketahui secara rinci, terutama oleh orang yang hendak menafsirkan al-Quran, seperti nâsikhmansûkh, asbâbun-nuzul, muthlaqmuqayyad, ‘âm-khash, menguasai tata bahasa Arab, ilmu ma’ani, bayan, badi’, dan lain sebagainya.
Selain itu, sebagaimana ditegaskan oleh Imam ath-Thabari, siapapun yang hendak menafsirkan al-Quran juga harus memiliki akidah yang benar (tidak sesat), selamat pemahaman agamanya, konsisten terhadap ajaran al-Quran dan Hadis. Selain itu, calon mufasir juga harus merujuk pada pendapat para Shahabat, dan bisa memposisikan ikhtilaf yang terjadi di antara mereka. Artinya, seorang mufasir tidak boleh hanya bermodal pikiran pribadinya dan mengacuhkan rujukan-rujukan yang otoritatif di bidangnya.
Moh. Achyat Ahmad/sidogiri Media