Indonesia: Titik Mula Teori Domino
Teori domino adalah teori yang berspekulasi bahwa apabila sebuah negara di suatu kawasan terkena pengaruh komunisme, negara-negara sekitarnya juga akan ikut dipengaruhi komunisme lewat efek domino. Teori yang sering didengungkan pada tahun 1950-an sampai 1980-an ini digunakan oleh beberapa presiden Amerika Serikat semasa Perang Dingin sebagai alasan intervensi A.S. di seluruh dunia.(Wikipedia)
Sejarah membuktikan, bukan saja pada zaman pra-kemerdekaan tetapi pasca-kemerdekaan pun Indonesia selalu menjadi ajang rebutan pengaruh kekuatan-kekuatan utama dunia seperti Amerika Serikat, China dan Rusia. Seakan-akan ‘Teori Domino’ akan terjadi lagi, sasarannya kini adalah Asia Tenggara. Walaupun cobaan itu pernah gagal pada tahun 1970-an ketika muncul gelombang rezim komunis atau Marxis–Leninis global di Benin, Ethiopia, Guinea-Bissau, Madagaskar, Tanjung Verde, Mozambik, Angola, Afghanistan, Grenada, dan Nikaragua. Teori Domino itu kini terjadi di Asia Tengah yang bermula dengan kehancuran Iraq, Afghanistan, Mesir, Tunisia dan Syria.
Namun, Indonesia akan menjadi sasaran utama kuasa-kuasa besar dalam beberapa tahun ke depan. Hasil buminya baik yang di laut atau di daratan yang diprediksi akan bertahan dalam 50 tahun akan datang menjadi target kuasa besar. Alfred Russell Wallace dan Paine pernah menggambarkan tentang kekayaan alam kerajaan Ternate, Tidore, Sriwijaya dan Majapahit. Begitu juga seperti yang dilukiskan oleh Marco Polo,”Jumlah harta karun di Pulau Jawa jauh melebihi akal sehat. Dari pulau para pedagang Zaiton(Quanzhou) dan Manzi(Tiongkok Selatan) menjadi kaya dan semakin kaya karena pulau inilah(Pulau Jawa) sumber dari sebagian besar rempah-rempah yang diperdagangkan di pasar dunia”.
Negeri sebesar dan sekaya Indonesia, ironisnya lebih banyak menjalani peran sebagai objek atau pemain figuran. Dengan berbagai keunggulan komparatifnya, Indonesia terkesan tidak lebih bagai putri cantik yang selalu menjadi rebutan para pangeran. Sedangkan Sang Putri seharusnya mempunyai sosok yang kuat, dominan dan dihormati seperti analogi catur. Sebaliknya, kini Indonesia terkejar-kejar mencari partner untuk mem-back-up ekonomi yang merundum. China menjadi pilihan melalui konteks sinergi Poros Maritim Dunia – Jalur Sutra Maritim Abad ke-21.
Jika dilihat dari perspektif nasional Indonesia, perkara ini menjadi perhatian utama. Bagai dua sisi mata koin, China adalah ancaman sekaligus peluang. Melihat perilakunya yang agresif di Laut China Selatan adalah ancaman. Tapi bila dilihat dari potensi ekonominya, China menjadi peluang.
Menurut Michael Leifter berpendapat bahwa perubahan kebijakan luar negeri Indonesia yang lebih membuka diri untuk kerja sama dengan China belum dapat menghilangkan luka sejarah atas perilaku ekspansionis China di masa silam dan keterlibatan China dalam komunisme di era Orde Lama. Indonesia seolah-olah membunuh diri. Kerja sama dengan China selalu bersifat tidak jelas, sebagai wujud adanya ketakutan nasional. Pihak militer Indonesia masih terus menganggap China sebagai ancaman keamanan utama bagi kedaulatan Indonesia. China di anggap sebagai negara revisionis atas wilayah teritorial yang tidak dapat dipercaya dan suatu saat akan memanfaatkan kekuatan militernya dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Bisa dilihat selama Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 berjalan, militer China semakin kuat dan mantap.
Ditambah lagi dengan krisis dalaman pemerintahan yang tidak pernah selesai, hutang bertumpuk yang menyebabkan beberapa bank dan syarikat telekomunikasi jatuh ke negara lain dan banyak hal lagi. Kini, kita tinggal menuggu detik-detik hitam dan nostalgia perang ratusan tahun dulu. Pastinya perang besar yang akan mengundang ‘pemain bintang’ seperti Rusia dan Amerika Serikat, ‘pemain tambahan’ seperti negara ASEAN terutamanya Australia, Vietnam, Filipina dan Myanmar. Teori Domino Asia Tenggara mungkin bermula dari Indonesia.
====
Oleh: Saiful bin Ripit
Editor: Shalihin Damiri