Assalamualaikum. Jumpa lagi bareng serial #NgajiHikam. Kali ini adalah edisi ke-198. Bismillâhirrahmânirrahîm.
Ibnu Athaillah selalu memperhatikan kesiapan hamba menuju jalan ilahi; bahwa dalam aspek sifat bawaan manusia, nafsu maupun syahwat tidak pernah melepaskan hati. Apalagi hanya dimotivasi oleh pengalaman akal, naluri, atau pengetahuan. Nafsu manusiawi tidak mudah ditaklukkan.
Secara alami, nalar positif akan menangkal nalar negatif; dan pengetahuan (‘ilm) yang telah mapan akan membantah pengetahuan palsu. Karena nalar & ‘ilm muncul dari sumber yang sama, yakni ‘kesadaran hati’. Hamba yang memiliki kesadaran iman kuat, tidak mudah terprovokasi nafsu.
Kenyataannya, efek negatif nafsu memang tidak muncul dari hasil pemikiran, tapi oleh pergulatan emosional hati. Sebab, hanya perasaan hatilah yang bisa memproduksi nafsu. Berarti, sangat mustahil mencerabut nafsu dari akarnya, jika hanya modal teori atau bukti ilmiah belaka.
Apakah Anda pernah dengar, seorang bisa lepas dari nafsunya berkat sebuah teori? Tentu saja tidak! Banyak buku Tasawuf menjelaskan esensi nafsu & dampak negatifnya; pun bukti konkrit umat² terdahulu yang diazab Allah karena nafsu liar mereka. Toh tidak pernah membuat Anda insyaf!
Imam asy-Syathibi dalam al-Muwâfaqât, menyinggung bukti sejarah ‘nafsu’ panjang-lebar. Bahwa ada perbedaan jauh terkait keimanan kalangan awam masa² awal Islam; antara yang mereka memeluk Islam karena sekedar ‘keinginan’, dibanding mereka yang menyambut Islam karena ‘kesadaran’.
Muslim awam yang sadar diri, hatinya selalu diliputi Khauf, Rajâ’ & Mahabbah, sebagai pelecut semangat. Khawatir (Khauf) ibadahnya tidak bisa sempurna; berharap (Raja’) kelam masa lalu tidak menjerumuskannya kembali; hatinya dikuasai kecintaan (Mahabbah) yang mendalam pada Islam.
Jika mata hati benar² jadi penentu kebaikan, apakah sebenarnya esensi dari ‘kebaikan’ itu sendiri? Sebab kata ‘baik’ bisa saja ambigu makna. ‘Kebaikan’ (ukhrawi) dalam persepsi ulama, tentu saja berbeda dengan ‘kebaikan’ (duniawi) dalam persepsi awam. Ini harus di perjelas.
Lalu, bagaimana cara hati menentukan sumber ‘kebaikan’? Ialah dengan mengenali kehendak² positif Allah dari narasi al-Quran. Apa yang dipersepsikan positif oleh al-Quran, berarti juga positif menurut Allah & umat manusia. Kenali diri secara baik dengan mengenal Allah lebih dekat.
Memang fitrah manusia pasti senang kebaikan, namun hal itu bukanlah acuan. Harusnya ada Allah dalam setiap rencana. Makin sering hadirkan Allah dalam hidup, makin mantap hati Anda menyongsong masa depan. ‘Hati tulus’ berjajar dengan ‘nalar positif’, akan menciptakan ‘jiwa hebat’.
Terkait tema ini, al-Buthi menyinggung satu bukti konkrit. Anggap saja kasus ketergantungan syahwat seorang hamba mirip dengan kasus kecanduan minuman keras. Minuman keras dikenalkan di Amerika Serikat (AS) tahun 1930-an; dimana bangsa Arab telah mengenalnya sejak 14 Abad silam.
Dalam sejarahnya, sejak kali pertama dipasok, pemerintah AS membuat aturan larangan mengkonsumsi minuman keras berlebih, plus warning dampak negatifnya bagi kesehatan. Tapi larangan tersebut tak berjalan lama, karena persepsi parlemen AS terhadap minuman keras berubah positif.
Berbeda dengan di Madinah al-Munawarah di masa Rasulullah, yang kebergantungan penduduknya pada khamr telah mendarah daging; minum khamr sudah seperti minum air. Namun ketika ayat larangan khamr turun (QS al-Maidah [05]:90-91), seketika khamr lenyap dari peredaran. Tanpa bekas!
Perhatikan rangkaian redaksi QS al-Maidah [05]:90-92 yang jadi bangunan iman para Shahabat Rasulullah.
Letak perbedaan rakyat Amerika Serikat (AS) dengan para Shahabat Rasulullah ialah ‘keyakinan hati’! Keberhasilan Madinah bebas dari khamr, tak lepas dari kemantapan hati penduduknya pada firman Allah. Kisah sukses ini bisa jadi motivasi, agar lepas dari ‘ketergantungan’ apapun.
Ketergantungan pada obat² terlarang, ketergantungan pada nafsu, ketergantungan pada harta, ketergantungan pada lawan jenis, atau ketergantungan² lainnya, solusinya satu: hadapi dengan hati kokoh. Hati adalah penggerak jiwa, maka jaga baik² agar kelak menuntun Anda ke surga.
Sampai disini dulu kultwit #NgajiHikam kali ini. Meski hanya sedikit tapi semoga tetap bisa memotivasi. Amin…
Sampai jumpa pada edisi berikutnya, selamat menjalankan ibadah puasa, bagi yang melaksanakan. Wassalamu’alaikum.