Ahlan para penikmat #NgajiHikam, semoga selalu dilimpahkan sehat wal-afiat oleh Allah. Kali ini adalah edisi ke-199. Bismillah.
Membaca narasi QS al-Kahfi [16]: 110, QS al-Bayyinah [98]: 05, dan QS az-Zumar [39]: 02; Anda pasti paham bahwa Allah hanya menerima ibadah hamba yang tulus kepada-Nya. Dalam artian, hamba itu tidak syirik. Hal ini bila amal hamba tidak mencitrakan 3 karakteristik sifat tercela.
Pertama, tidak riya’ (pamer), ketaatannya demi dihormat orang. Kedua, tidak dibuat² (tashannu’): beramal taat agar dapat simpati orang. Ketiga, tidak angkuh (‘ujub): over pada amalan taat yang dilakukan. Ketiganya memiliki karakteristik sama: syirik amal. Tidak murni demi Allah!
Hamba yang hatinya mendua (syirik), sulit merasakan nikmat munajat bersama Allah. Hati yang tersibukkan oleh objek selain Allah (aghyar), sulit menemukan ‘kasih sayang’ Allah dalam takdir. Virus syirik bisa merusak, bila cinta hamba pada aghyar mengalahkan cintanya kepada Allah.
Cinta duniawi—istri, anak, profesi & kekayaan—memang tidak berdosa; namun sudah semestinya Anda posisikan cinta kepada Allah & Rasulullah diatas segalanya. Seperti disinggung QS al-Baqarah [02]: 165.
Yang aneh dari karakteristik manusia, biasanya ia lebih condong pada objek yang bisa dirasa. Di kehidupan nyata, kadang Anda lebih cinta keluarga sendiri ketimbang mencintai Rasulullah; Anda lebih senang ngobrol semalam suntuk ketimbang bermunajat malam bersama Allah.
Yang nyata (aghyar) kadang lebih menarik ketimbang yang tidak nyata (Allah & Rasulullah). Padahal Allah Maha Sempurna dari seisi dunia ini; padahal Rasulullah manusia paling sempurna hingga kiamat kelak; padahal mencintai keduanya merupakan anjuran agama bahkan berpahala.
Dapatkah manusia mencintai Allah & Rasulullah (yang abstrak) dalam kapasitasnya sebagai manusia? Tentu saja iya, namun tetap dalam lingkup hubungan antara hamba (makhluq) dengan tuhannya (khaliq). Bentuk ‘cinta’ kepada Allah & Rasulullah, tentu tidak sama dengan ‘cinta asmara’.
Logika mudahnya, saat ada tokoh sukses, jujur, adil & dihormati, maka pasti Anda juga mencintai tokoh tersebut, meski belum pernah ketemu langsung. Demikian pula tokoh dengan track record buruk di mata masyarakat, pasti Anda juga membencinya, meski tidak pernah jumpa langsung.
Kenapa Anda benci orang buruk, padahal tidak tahu masa lalu hidupnya? Mengapa Anda cinta orang baik, padahal tidak tahu latarbelakang hidupnya? Aneh, kan! Bagaimana jika sosok itu ternyata Rasulullah, yang kehidupan hebatnya di tulis dalam triliunan manuskrip oleh ulama² besar?
Adapun manivestasi cinta Allah hanya diberikan pada hamba² pilihan-Nya. Kata ‘cinta’ ini perlu ditakwil, sebab bisa ambigu. Bahwa cinta Allah bukan sekedar nikmat duniawi, sebab orang kafir pun berlimpahan harta. Cinta Allah ialah yang menjadikannya ‘hamba termulia’: yakni iman.
إن الله يعطي الدنيا من يحب ومن لايحب, ولا يعطي الإيمان إلا من يحب
“Allah selalu limpahkan nikmat duniawi pada hamba yang Dia cintai & hamba yang tidak Dia cintai (tidak pandang bulu); tapi Allah hanya anugerahkan ‘nikmat iman’ pada hamba tercinta-Nya saja.” (HR Imam Hakim)
Nikmat iman yang dirasakan oleh Sayidina Abu Bakar sehingga memotivasinya membela Rasulullah mati²an, belum menggambarkan anugerah ‘cinta Allah’ yang sesungguhnya. Cinta Allah lebih sempurna dari itu; ia lebih istimewa dari nikmat apapun; ia bahkan mustahil dinalar akal sehat.
Mudah sekali bagi Allah menumbuhkan cinta dari hati-hati seluruh manusia. Sebagaimana QS al-Maidah [05]: 54.
Tinggal bagaimana Anda menyambut ‘Cinta Allah’ itu dengan hati yang bening dari dosa kehidupan, hati yang bersih dari kotoran maksiat.
PR(pekerjaan rumah) terbesar hidup Anda ialah: siapkah Anda menjadi karakter pribadi saleh, yang Qana’ah (mantap) pada setiap takdir Allah? Jawabannya, tentu harus ada planning hidup mulai dari sekarang.
Masadepan Anda–selain juga merupakan takdir–berada di genggaman tangan Anda! Faktanya, pengalaman hidup hanya memotivasi 10% otak Anda, 90% selebihnya adalah bagaimana merancang nasib Anda kedepan sebaik mungkin.
Sampai disini dulu serial #NgajiHikam edisi 199 kali ini. Semoga dapat memotivasi, meski hanya sekelumit. Semoga tetap ditakdir istikamah dapat bersua kembali di edisi berikutnya. Wassalamualaikum.