Bismillâhirrahmânirrahîm.
Kebanyakan jalan suluk yang membimbing hamba menjadi ‘ibâdillâhish-shâlihîn’ adalah dua motivasi utama ini: faktor “nalar akal” yang dianalogikan sebagai pengetahuan yang terus berkembang, dan faktor “emosional diri” yang mudah berubah drastis bahkan tanpa terduga sebelumnya.
Tentunya faktor yang kedua lebih dominan pengaruhnya, ketimbang yang pertama yang bisa saja fantasi. Nalar akal biasanya hanya menyentuh ranah yang ‘diketahui’, seperti memilah kebenaran dari kebatilan; hal positif dari yang negatif. Sekedar pengetahuan dunia fisika saja.
Adapun emosional diri (sumbernya hati) adalah yang menentukan gerak, atau juga mengekang perasaan manusiawi. Tidak jarang pengalaman emosional tersebut dapat merubah sikap: dari yang asalnya jahat lalu berubah baik; atau dari awal mulanya baik kemudian berubah bejat.
Karakter emosional manusia bahkan bisa berubah sesuai kondisi yang dialami. Ada fase saat hati dipenuhi rasa cinta membara; kadang muncul perasaan takut yang menyeruak; kadang ada fase ia begitu percaya diri. Perasaan² manusiawi semacam ini yang sering mengalahkan akal sehat.
Maka disinilah tugas institusi pendidikan berperan penting: menyelaraskan antara visi akal sehat dengan misi hati nurani. Islam sebagai ajaran ilahi, memiliki konsep matang terkait hal ini. Islam mendidik generasi yang berkualitas; Islam menciptakan karakter hamba shaleh.
Pertanyaannya, ketika ternyata ‘hati’ telah terjangkiti penyakit kronis bernama nafsu, masih bisakah disembuhkan? Ketika kemauan hati telah dikendalikan nafsu, bagaimanakah cara sembuh? Ketika akal sehat telah tercemari pengaruh nafsu, apakah yang harus segera dilakukan?
Solusinya, ketahui & kenali (‘ilm), lalu praktik & terapkan (tathbîq). Opsi pertama, ketahui bahwa Allah menciptakan dua organ vital (otak & hati), agar hamba mampu menalar satu entitas, lalu mengenali esensinya. Sebab pengetahuan lahiriah tidak mewakili pengetahuan hakikat.
Sedangkan hati sebagai pengawal yang menyertai fungsi akal. Hati akan menyukai segala hal yang disenangi akal; begitupun ia akan membenci hal² yang dibenci akal. Akal sehat & hati nurani sama² berperan penting. Jika salah satunya tak berfungsi, rusaklah tatanan hidup ini. Seperti yang diperingatkan Allah dalam QS al-Mukminun [23]: 71.
Allah selalu menganjurkan hamba-Nya agar memakai akal sehat & hati nuraninya secara benar. Allah tidak rela hamba-Nya terjerat, apalagi jadi budak nafsu. Maka, gunakan akal sehat & hati nurani Anda secara sadar, bahwa betapa Allah sangat menyayangi hidup Anda detik ini juga. Sudah semestinya Anda paham narasi QS al-Maidah [05]: 54. Perhatikan pula QS al-Hujurat [49]:07. Renungilah juga QS at-Taubah [09]:24.
Opsi kedua, praktik & terapkan. Maksudnya, bila Anda sadar akan keagungan cinta Allah pada hamba-Nya termasuk Anda juga, maka hadirkan & praktikkan cinta agung itu dalam kehidupan Anda. Renungi limpahan nikmat hidup Anda saat ini sebagai hadiah cinta terindah dari Allah.
Terapkan rasa syukur dalam tiap hembus nafas Anda; syukur dalam tiap tegukan minum Anda; syukur dalam tiap kunyahan makan Anda; syukur dalam segala lini nikmat. Terapkan sikap positif thinking yang demikian dalam kehidupan, niscaya cinta Allah bersemai di hati Anda. Memang secara kodrat lahiriah, setiap hamba pasti senang keindahan duniawi. Sebagaimana Allah jelaskan dalam QS Ali Imran [03]:14.
Namun kecintaan duniawinya jangan sampai mengalahkan kecintaan ilahinya. Jika memang harus mencintai entitas selain Allah (makhlûq), mestinya ia sinkronkan perasaan cintanya tersebut hanya karena Allah (khâliq). Atau dalam bahasa karib, biasa disebut “al-hubbu fillâh”. Begitulah karakter cinta Allah sejati, yang tidak didasari nafsu birahi. Lihat QS al-Baqarah [02]:165.
Kata al-Buthi: “Saya memiliki harapan besar tiap Muslim meyakini ajaran damai ini: Islam yang didasari akal sehat & hati nurani jernih. Saya ingin mereka meletakkan dasar² konsep ini dalam pemikiran² & tulisan² mereka. Sebab Islam bukan sekedar teori, tapi juga praktik hidup.”
Al-Buthi sebenarnya agak prihatin, para pemikir Islam saat ini lebih banyak mencitrakan Islam sebagai agama pemikiran & nalar filsafat; bukan sebagai agama cinta & kasih sayang. Seakan dalam Islam tidak ada konsep penghambaan vertikal, antara kesalehan hamba dengan Tuhannya.
Mereka mengasumsikan Islam sebagai organisasi pergerakan, atau sekedar bangunan yang memuat seperangkat norma. Mereka tidak kenalkan Islam sebagai ajaran dakwah, ibadah & mujahadah. Bahkan menjustifikasi “Kesadaran Shalat Berjamaah”, sebagai aktivitas orang nggak punya kerjaan.
Na’ûdzubillâh; yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan. Semoga pribadi & anak keturunan kita semua terselamatkan dari musibah kemanusiaan yang demikian. Sekian #NgajiHikam bab-197, semoga bermanfaat buat bekal ilmu. See you next edition. Wassalamu’alaikum.