Jika melihat kata pesantren, pasti yang Anda bayangkan adalah sebuah asrama santri untuk belajar mengaji. Hal itu benar. Akan tetapi hanya sebatas definisi ruang saja. Mengingat, mendefinisikan pesantren, samahalnya mendefinisikan masjid. Ya, beragam, tergantung point of view kita.
Akan tetapi, yang lebih penting lagi, bukan definisinya. Akan tetapi asal-usul kata “pesantren” itu sendiri. Untuk mengetahui hal semacam itu, seyogyanya kita tashrîf kata tersebut. Seperti kata “masjid” adalah isim makân dari kata verba “sujûd”. Lalu, kita bisa tahu, bahwa masjid adalah tempat sujud alias salat.
Sebenarnya sama, “pesantren” adalah isim makân dari kata verba “santri”. Jika kita buka lembaran sejarah, santri adalah plesetan kata—yang dicetuskan oleh Sunan Ampel—dari kata “sastri”. “Sastri” adalah kata subyek (baca: isim fâ’il) dari bentuk kata nomina “sastra”, yang berarti keindahan.
Konon, para pelajar dijuluki dengan sebutan sastri, alias pencari keindahan. Untuk membedakan para pelajar Islam dengan formal, Sunan Ampel mengganti huruf “S” dengan “N” di tengah kata “sastri”, menjadi “santri”.
Walhasil, sebenarnya, sastra dengan pesantren adalah satu-kesatuan yang mustahil terpisah. Tapi sungguh miris jika penghuninya (baca: santri) “alergi” pada statusnya sendiri.
Muhammad ibnu Romli/sidogiri.net