Kekuatan sastra—dibanding jenis tulisan lainnya—adalah jalur pemahaman dari “bawah tanah”. Kecepatan pencernaan, memang bisa dianggap kalah. Tapi, dari situlah keunggulan sebenarnya.
Jurnalis, dari saking lugasnya, ancap kali dicampakkan, serta dilarang untuk menyuarakan kebenaran. Sehingga, hak-hak seringkali terkurung. Dari sanalah, jika jalur atas ditutup, maka—sebagaimana taktik militer—gunakanlah jalur bawah tanah.
Dari halusnya penyampaian, dari sana pula pena sastrawan berjalan lancar. Entah itu penyair, cerpenis, esais, novelis atau sastrawan genre lainnya.
Itulah juga, penyebab lahirnya Sanggar Iqra’, dari naungan Ihya’ Ulumiddin Community (IC). Sebab—sebagaimana judul di atas—ketika jurnalis bungkam, sastrawan enggan diam. Atau lebih jelasnya, ketika Buletin Bangkit (buletinnya IC) dikekang, maka Garis Kata (majalahnya Sanggar Iqra’) tak akan pernah diam.
Sampai kapan pun, kebenaran haruslah diserukan. Dan, dari itu pula, kebenaran membutuhkan kita untuk tetap siaga membela perkara hak, dan membongkar perkara batil. Tak ada jurnalis, sastrawan pun jadi.
Dengan begitu, jika seandainya media-media mulai mempersempit kemerdekaan pribadi (‘Idzatun-Nasyi’în juga menyebut kebebasan wacana), maka, kitalah sebagai sastrawan yang berhak maju, untuk menjadi pembeda antara yang hak dan yang batil. Yang pastinya, maju melalui jalur bawah tanah. Sekian!
Muhammad ibnu Romli/sidogiri.net