Masyayikh SidogiriUnggulan

KH. Mahalli, Guru Empat Pengasuh Sidogiri (Bagian II)

Masyayikh Sidogiri
kiai mahalli

Keturunan Kiai Mahalli

Kiai Mahalli membina rumah tangga sakinah dengan Nyai Hafshah di tempat tinggalnya di Sidogiri. Pasangan ini kemudian dikaruniai tiga putra-putri, yakni:

1. Nyai Hanifah

2. KH Urip (Abdul Hayyi)

3. Nyai Sari’ah

Putri pertama beliau, Nyai Hanifah, kemudian dinikahkan dengan santrinya yang terkenal alim dan memiliki tingkat akhlak yang tinggi, KH Noerhasan bin Noerkhotim dari Madura. Sebagaimana Nyai Hanifah, Kiai Noerhasan juga keturunan Sayid Sulaiman pendiri PPS. Nasabnya adalah Kiai Noerhasan bin Noerkhotim bin Asror bin Abdullah bin Sulaiman. Dari pernikahan ini, Kiai Noerhasan dan Nyai Hanifah dikaruniai tiga orang putra dan tiga putri, yaitu:

1. KH Bahar (Kiai Alit), Sidogiri 2. KH Dahlan, Sukunsari Kebonagung Pasuruan 3. KH Nawawie, Sidogiri 4. Nyai Munawwaroh, Serambi Pasuruan 5. Nyai Fathonah, Sidogiri 6. Nyai Anisatun, Sidogiri

Putra kedua Kiai Mahalli yang bernama Kiai Urip (Abdul Hayyi) juga tinggal di Sidogiri. Kiai Urip dikaruniai dua putri dan seorang putra. Mereka adalah:

1. Nyai Ru’yanah, Sidogiri 2. Nyai Amnah 3. KH A. Syafi’i, Sidogiri Sedangkan putri ketiga Kiai Mahalli yang bernama Nyai Sari’ah dikaruniai tiga orang putra, yaitu:

Sedangkan putri ketiga Kiai Mahalli yang bernama Nyai Sari’ah dikaruniai tiga orang putra, yaitu:

1. KH. Abdullah, Dungaron 2. KH. Abdul Ghani, Gondang/Pekoren 3. KH. Barro’, Dungaron.

Kiai Noerhasan bin Noerkhotim—menantu Kiai Mahalli—kemudian juga menjadi Pengasuh PPS. Dan tiga cucu lelaki Kiai Mahalli dari pasangan Kiai Noehasan dan Nyai Hanifah—yakni Kiai Bahar, Kiai Nawawie, dan Kiai Dahlan—merupakan orang-orang yang diberi keistimewaan berbeda oleh Allah SWT.

Kiai Bahar bin Noerhasan yang dijuluki Kiai Alit (kiai kecil, karena menjadi kiai sejak usia 12 tahun) adalah seorang ulama yang memiliki ilmu ladunni (mengetahui berbagai ilmu tanpa proses belajar). Beliau mendapatkannya ketika menuntut ilmu kepada Syaikhona Cholil Bangkalan (1835-1925), seorang wali dan ulama besar sekaligus mursyid tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah.

Telah masyhur bahwa Kiai Bahar tidak lama mondok di Bangkalan, karena beliau diperintahkan untuk pulang ke Sidogiri oleh Syaikhona setelah diperintah menebang pohonpohon bambu dan memakan habis sekian banyak makanan. “Tang elmoh la epatadek bi’ Mas Bahar. Wes lah kakeh mole! (Ilmuku sudah dihabiskan oleh Mas Bahar bin Noerhasan. Sudah, pulanglah kamu [Mas Bahar]!” kata Syaikhona seraya menghapus air matanya.

Kiai Bahar bukanlah satu-satunya Keluarga Sidogiri yang dapat menguasai ilmu tanpa harus belajar, Mas Abdul Ghoni putra beliau juga memiliki keistimewaan yang sama dengan abahnya itu. Namun sayang Mas Abdul Ghoni wafat dalam usia muda, tidak berapa lama menjelang pernikahannya.

Adapun Kiai Dahlan bin Noerhasan, beliau juga santri Syaikhona Cholil Bangkalan. Kiai Dahlan adalah sosok ulama perantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Dan setelah menikah, beliau pindah dari Sidogiri ke Sukunsari Kebonagung Pasuruan dan mendirikan Pondok Pesantren Sukunsari. Di antara santri Kiai Dahlan adalah Kiai Pondok Pesantren Genggong, Pajarakan Probolinggo, yang pindah ke pesantren Kiai Dahlan setelah mondok di Syaikhona Cholil.

Kalau Kiai Bahar bisa menguasai ilmu tanpa belajar, Kiai Nawawie bin Noerhasan adalah contoh orang yang menuntut ilmu dengan usaha yang keras. Perjalanannya menuntut ilmu dimulainya dari Pulau Garam Madura. Beliau mengaji kepada Syaikhona Cholil juga. Setelah selesai, Kiai Bahar memondokkannya ke Tanah Haram Mekah.

Dari kesungguhannya belajar inilah Kiai Nawawie akhirnya menjadi seorang figur ulama yang alim ‘allamah dan keramat. Kiai Nawawie bin Noerhasan–cucu Kiai Mahalli itu- -adalah salah satu ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi ulama-ulama Alusunah wal Jamaah di Indonesia, pada tahun 1926. Beliau juga ikut andil dalam pembuatan lambang NU, yakni dengan menambahkan tali yang melingkari gambar bumi. Dan beliau menjadi Mustasyar PBNU sampai akhir hayatnya.

Putra-putra Kiai Nawawie bin Noerhasan kemudian menjadi ulama-ulama yang sangat disegani di Pasuruan, yakni KH Noerhasan Nawawie, KH Cholil Nawawie, KH SiradjulMillah Waddin Nawawie, KA Sadoellah Nawawie, dan KH Hasani Nawawie.

Ahli Falak dan Sakti

KH Mahalli adalah salah satu santri KH Aminullah yang menonjol kealimannya dan memiliki akhlak yang terpuji. Di samping itu Kiai Mahalli tidak pernah bangga akan pujian teman-temannya. Namun sifatnya yang khumûl (low profile) itu tidak menghalangi beliau membantu Kiai Aminullah melawan dan menaklukkan jin yang suka mengganggu. Sejak masih menjadi santri, Kiai Mahalli memang dikenal jaduk (sakti).

Di samping itu, Kiai Mahalli juga dikenal sebagai seorang yang ahli ilmu Falak. Selain beliau, Keluarga Sidogiri yang dikenal ahli Falak adalah KH Abd Dajlil bin Fadlil, KH Abd. Shomad Dahri, KH Kholili Hasbulloh, dan KH Abd. Alim Abd. Djalil. Dalam bidang ini, karya Kiai Mahalli berupa jadwal salat pernah digantung di dinding Masjid Sidogiri, sebelum masjid tersebut direnovasi tahun 2001. Jadwal salat tersebut ada di dalam pigura, terlihat telah kusam dan lapuk termakan usia, dan tertulis di bagian bawahnya “bikhaththi Muhammad Mahalli al-Bâweani” (tulisan Muhammad Mahalli al-Baweani). Kini peninggalan bersejarah itu tidak diketahui keberadaannya.

Dan sebagaimana Masyayikh Sidogiri lainnya, Kiai Mahalli adalah sosok yang istikamah. Beliau juga banyak muthâla‘ah (mempelajari) kitab, terbukti di kamar khusus beliau terdapat banyak tumpukan kitab. Kiai Mahalli juga penuh perhatian kepada santri, sehingga ketika ada di antara mereka yang menangis, beliau menanyakannya, bahkan hendak mengangkatnya sebagai anak angkat. Kelebihan-kelebihan dalam diri Kiai Mahalli itu membuatnya tampak menonjol di antara teman-temannya sewaktu menjadi santri, sehingga Kiai Aminullah menikahkannya dengan putri semata wayangnya, Nyai Hafshah. Dan akhirnya, Kiai Mahalli menjadi Pengasuh PPS yang disegani.

Menjadi Pengasuh di Sidogiri

Setelah wafatnya Kiai Aminullah, santri sekaligus menantu beliau–yakni Kiai Mahalli–menggantikan beliau sebagai Pengasuh PPS. Kiai Mahalli adalah Pengasuh ketiga dengan urutan: (1) Sayid Sulaiman, (2) KH Aminullah, dan (3) KH Mahalli. Namun menurut versi lain Kiai Mahalli adalah Pengasuh keempat, dengan urutan: (1) Sayid Sulaiman, (2) KH Aminullah, (3) KH Abu Dzarrin, dan (4) KH Mahalli.

Urutan Kiai Mahalli setelah Kiai Abu Dzarrin ini disangsikan oleh beberapa narasumber. Karena Kiai Abu Dzarrin adalah santri Kiai Mahalli. Hal ini berdasarkan fakta bahwa Kiai Abu Dzarrin pernah akan diambil menantu kiai Sidogiri, namun gagal dan ganti Kiai Noerhasan bin Noerkhotim yang diambil mantu. Sedangkan yang mengambil menantu Kiai Noerhasan adalah Kiai Mahalli. Berarti Kiai Abu Dzarrin dan Kiai Noerhasan adalah sama-sama santri dari Kiai Mahalli dan seperiode.

Maka dari penjelasan di atas, urutan Pengasuh Sidogiri adalah sebagai berikut: (1) Sayid Sulaiman, (2) KH Aminullah, (3) KH Mahalli, (4), KH Abu Dzarrin, dan seterusnya. Yakni kepengasuhan Kiai Mahalli sebelum Kiai Abu Dzarrin.

Muridnya Menjadi Pengasuh PPS

Sebagai Pengasuh PPS, Kiai Mahalli mengajar dan mendidik santri-santrinya dengan istikamah dan penuh perhatian. Beliau mengkader ulama-ulama dan dai masa depan dengan baik. Di antara muridnya adalah seorang ulama terkemuka di Pasuruan bernama KH Abu Dzarrin yang dikenal sebagai Mbah Tugu, Tugu Winongan Pasuruan. Dari alimnya, Kiai Abu Dzarrin sampai menulis kitab Sharaf yang diberi nama “Sorrof Sono”. Kitab itu tidak mencantumkan mashdar mîm.

Selain Kiai Abu Dzarrin, di antara murid Kiai Mahalli adalah KH Utsman, KH Husain, dan KH Noerhasan bin Noerkhotim dari Madura. Selain mereka, masih banyak santri Kiai Mahalli lainnya. Murid-murid Kiai Mahalli banyak menjadi orang alim dan disegani. Bahkan Kiai Abu Dzarrin, Kiai Utsman, Kiai Husain, dan Kiai Noerhasan bin Noerkhotim kemudian juga menjadi Pengasuh PPS, menurut riwayat dari KH Abd. Alim Abd. Djalil yang menyebutkan bahwa beliau semua termasuk Pengasuh PPS.

Urutannya adalah (1) Sayid Sulaiman, (2) KH Aminullah, (3) KH Mahalli, (4) KH Abu Dzarrin, (5) KH Utsman, (6) KH Husain, dan (7) KH Noerhasan bin Noerkhotim. Dengan demikian, Kiai Mahalli bukan hanya sebagai Pengasuh PPS, tapi juga guru dari empat Pengasuh PPS.

Seorang ulama terkemuka yang disebut Syaikhul-Masyâyikh al-Indunîsi (Guru para ulama Indonesia), Syaikhona Cholil Bangkalan, adalah murid dari Kiai Abu Dzarrin (dengan tirakat di makamnya), dan murid secara langsung dari Kiai Husain dan Kiai Noerhasan. Sudah masyhur bahwa Syaikhona Cholil berguru kepada Kiai Abu Dzarrin dan Kiai Noerhasan, tetapi yang belum banyak diketahui orang adalah Syaikhona Cholil juga berguru kepada Kiai Husain. Ini berdasarkan keterangan dari salah satu kiai Bangkalan keturunan Syaikhona Cholil, bahwa di Sidogiri Syaikhona Cholil bukan hanya mengaji kepada Kiai Noerhasan, tapi juga kepada Kiai Husain.

Dari sini tak dapat dipungkiri bahwa Kiai Mahalli memberikan manfaat yang besar pada agama dan masyarakat. Beliau sebagai Pengasuh PPS mendidik dan mengkader banyak ulama dan dai. Kemudian empat muridnya menjadi Pengasuh PPS dan tiga muridnya menjadi guru dari Syaikhona Cholil Bangkalan. Subhânallâh.

Bersambung…

Lanjut Ke Bagian III: KH. Mahalli Guru Empat Pengasuh Sidogiri (Bagian III/Selesai)

Disadur dari buku ‘Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri’

Pesan buku

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *