Jadikan Santri sebagai Anak Angkat
Suatu hari pada masa kepengasuhan Kiai Mahalli datanglah seorang anak laki-laki ke Sidogiri, Kraton, Pasuruan. Dengan berbekal sekeranjang kitab dan sekeranjang nasi karak ia datang dari Magelang Jawa Tengah bermaksud menimba ilmu di Sidogiri. Setelah diterima sebagai santri baru, ia pun menempati bilik yang ditentukan untuknya bersama teman-teman yang lain. Ia bernama Abu Dzarrin.
Santri yang satu ini semangat belajarnya luar biasa. Ia cerdas dan sering belajar bersama dengan teman-temannya. Tak pelak santri itu menjadi santri yang luas ilmu pengetahuannya. Bukan hanya dari sisi belajarnya yang bersungguh-sungguh, dalam urusan makan pun Abu Dzarrin selalu berhati-hati. Ia makan nasi karak bekal yang dibawanya dari Magelang hanya jika perutnya terasa lapar, selain itu tidak. Tak jarang Abu Dzarrin mengganjal perutnya dengan batu menahan rasa lapar.
Namun, nasib malang menimpanya. Tak selang berapa lama tinggal di pesantren, ia terkena penyakit gatal-gatal yang tak kunjung sembuh. Bau tak sedap tercium pada bagian yang terkena penyakit itu, sehingga ia dijauhi oleh teman-temannya. Mereka merasa jijik melihat keadaan Abu Dzarrin. Sejak saat itu, anak yang cerdas dan rajin itu merasa seperti kehilangan sesuatu yang paling berharga. Sebab tidak dapat lagi bertanya masalah pelajaran dan bermusyawarah (berdiskusi) dengan teman-temannya. Karena itu, akhirnya ia sering menangis di tengah malam.
Suatu malam tangisan Abu Dzarrin itu dengan tanpa sengaja didengar sang kiai, Kiai Mahalli. Beliau kemudian menanyakan perihal yang membuatnya menangis. Ditanya oleh sang kiai, Abu Dzarrin menjelaskan bahwa dirinya kini tidak bisa lagi belajar bersama, bertanya, dan memusyawarahkan kitab pelajarannya, karena teman-temannya merasa jijik dan meninggalkannya. Kiai Mahalli kemudian memberikan kesempatan pada Abu Dzarrin untuk bertanya kepadanya kapan saja, bahkan waktu beliau tidur sekalipun agar dibangunkan jika mau bertanya. Tentu saja Abu Dzarrin merasa sangat gembira dan bersyukur atas perhatian gurunya itu.
Semenjak saat itu, Abu Dzarrin diminta tinggal di dalem Kiai Mahalli dan hendak dijadikan anak angkat, sebab kecerdasan dan kerajinannya melebihi teman-temannya. Awalnya dengan halus Abu Dzarrin menolak, sebab ia merasa dirinya tidak pantas. Namun karena sang kiai memaksa, akhirnya Abu Dzarrin bersedia tinggal di dalem, asal ditempatkan di dapur sebagai khadam, bukan sebagai anak angkat.
Seiring dengan berjalannya waktu, karena rajin belajar dan sering bertanya pada Kiai, Abu Dzarrin kemudian menjadi seorang santri yang sangat alim. Bahkan sering kali Abu Dzarrin mewakili Kiai Mahalli mengisi pengajian kitab untuk santri ketika beliau berhalangan. Kemungkinan besar karena itulah Abu Dzarin–yang disebut Kiai Abu Dzarin–kemudian diyakini pernah menjadi Pengasuh PPS.
Setelah terjadi peristiwa Kiai Abu Dzarrin melihat isi kamar Kiai Mahalli (sebagaimana akan dijelaskan di bab selanjutnya), Kiai Abu Dzarrin oleh gurunya itu ia hendak ditunangkan dengan putrinya, Nyai Hanifah binti Mahalli. Lagi-lagi Kiai Abu Dzarrin menolak halus tawaran sang Kiai. Alasannya, ikrâman wa ta‘zhîman (memuliakan dan menghormati) kepada guru. Dari tawaduknya, ia merasa tidak pantas untuk menjadi menantu gurunya yang sangat dihormatinya itu.
Akhirnya Nyai Hanifah dinikahkan dengan salah satu santri Kiai Mahalli asal Bangkalan Madura, yakni Noerhasan bin Noerkhotim yang masih punya hubungan darah dengan Keluarga Sidogiri. Nasab KH Noerhasan bin Noerkhotim sampai ke Sayid Sulaiman melalui jalur abahnya, Kiai Noerkhotim bin Asror bin Abdullah bin Sulaiman.
Karamah Kiai Mahalli: Kamarnya Tembus Surga
Ada yang mengatakan, Hadratussyekh KH Mahalli yang istikamah dan khumul itu termasuk waliyyun min auliyâ’illah (salah satu wali Allah SWT.). Karena itulah beliau memiliki beberapa karamah atau kekeramatan. Di antara karamahnya, beliau bisa berperang dengan jin dan menaklukkannya. Dan di antara karamahnya lagi, adalah keistimewaan dalam kamar beliau yang hanya tampak pada orang tertentu.
Alkisah, sejak tinggal di dapur dalem Kiai Mahalli, Kiai Abu Dzarrin muda diberi tugas menjaga kamar khusus milik Kiai Mahalli. Tidak seorang pun oleh Kiai Mahalli diperbolehkan masuk ke kamar itu, bahkan juga Nyai Hafshah, istrinya sendiri. Kamar itu selalu beliau kunci sebelum beliau meninggalkan dalem. Dalem Kiai Mahalli saat ini telah tak ada karena ditelan zaman, terletak di lokasi gedung Kopontren Sidogiri Unit I dan Unit II (saat ini). Dalem tersebut sebelumnya ditempati Hadratussyekh KH. Aminullah, mertuanya. Kemudian Kiai Aminullah menyuruh Kiai Mahalli menempati rumah tersebut.
Entah lupa atau bagaimana, suatu hari Kiai Mahalli keluar menghadiri undangan di suatu tempat tanpa mengunci gembok kamar khusus itu. Abu Dzarrin yang mengetahuinya segera menyusul Kiai Mahalli untuk memberi tahu, namun tidak berhasil. Abu Dzarrin kemudian kembali dan bermaksud mengunci pintu kamar tersebut. Sebelum kamar itu dikuncinya, timbul rasa penasaran di hati Abu Dzarrin, karena Nyai Hafshah pun tidak diizinkan masuk ke kamar itu. Ada apa sebenarnya di dalam kamar itu?
Karena penasaran, Abu Dzarrin membuka dan melihat-lihat ke dalam kamar. Tampak beberapa tumpukan kitab. Abu Dzarrin heran. Terlintas di benaknya, sepertinya tidak ada hal yang aneh dengan kamar itu, tapi kenapa selalu dikunci? Setelah Abu Dzarrin menengadahkan kepalanya ke atas, ia sangat kaget! Ia melihat surga di atas kamar Kiai Mahalli. Taman yang sangat indah yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Ia sangat terkejut melihat pemandangan menakjubkan itu, lalu segera keluar dan mengunci kamar kiainya itu dengan berdebar-debar.
Tiba-tiba ada rasa bersalah menyelimuti Abu Dzarrin setelah masuk dan melihat pemandangan yang luar biasa itu. Dari sangat besarnya rasa sesal dan rasa bersalah, ia menangis sampai Kiai datang. Ia ingin segera memohon maaf kepada Kiai Mahalli atas perbuatannya. Bukan dipukul atau dimarahi yang ia takutkan, tapi ia takut tidak dimaafkan oleh Kiai.
Setibanya Kiai Mahalli dari menghadiri undangan, Abu Dzarrin segera memohon maaf dan menceritakan perbuatannya yang mungkin menyakiti hati gurunya itu. Setelah mendengarkan cerita Abu Dzarrin, Kiai Mahalli memaafkan dan meminta padanya agar tidak menceritakan peristiwa itu kepada orang lain. Dan Kiai Mahalli berkeinginan mengambil menantu Abu Dzarrin, untuk dinikahkan dengan putrinya, Nyai Hanifah binti Mahalli. Tetapi karena didorong oleh sifat tawaduknya, Abu Dzarrin menolak tawaran dari gurunya itu dengan halus. Ia merasa tidak pantas menjadi menantu gurunya.
Peristiwa luar biasa saat dibukanya kamar itu mengungkap siapa sebenarnya Kiai Mahalli. Hal itu menggambarkan bahwa Kiai Mahalli memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT. Meski demikian, Kiai Mahalli meminta agar peristiwa itu tidak diceritakan kepada siapapun, termasuk pada Nyai Hafshah, istrinya. Hanya Kiai Abu Dzarrinlah satu-satunya orang yang mengetahui siapa sebenarnya Kiai Mahalli.
Rahasia kamar khusus Kiai Mahalli tersebut terus terpendam, hingga menjelang wafatnya Kiai Abu Dzarrin. Menurut salah satu keturunan Kiai Abu Dzarrin, Kiai Abu Dzarrin baru menceritakan kisahnya di kamar kiainya itu menjelang wafat.
Wafatnya Kiai Mahalli
Diperkirakan Kiai Mahalli berpulang ke Rahmatullah pada usia sepuh pada awal 1800-an Masehi. Tepatnya, sebelum tahun 1831. Sebab Kiai Abu Dzarrin–santri beliau yang menjadi Pengasuh PPS setelah beliau–wafat pada 1831/1832.
Mengenai tempat wafatnya Kiai Mahalli, terdapat banyak versi dan tidak diketahui dengan pasti di mana. Ada yang mengatakan, beliau wafat di Sidogiri di mana beliau tinggal. Ada yang mengatakan, beliau wafat di Gambirkuning, Kraton, Pasuruan. Dan ada juga yang mengatakan beliau wafat di Makkah. Karena ada jin yang tidak mampu ditaklukkan, maka beliau mondok lagi ke Makkah dan wafat di sana. Sehingga pantas kalau kemudian pesarean beliau tidak ditemukan.
Di Mana Pesarean Kiai Mahalli?
Dahulu pemakaman Masyayikh dan Keluarga Sidogiri di belakang Masjid Sidogiri tidak terawat seperti sekarang. Pepohonan dan ilalang tumbuh cepat di tanah yang subur itu, sehingga membuat makam-makam tidak begitu tampak. Suasananya angker dan menyeramkan.
Karena tidak terawat itulah, tidak sedikit makam keluarga yang sempat tak dikenali lagi atau bahkan hilang ditelan masa, termasuk makam Kiai Aminullah. Beberapa makam juga sempat hilang karena terjadinya banjir yang besar atau tertindih makam baru, dalam rentang waktu ratusan tahun. Faktor non alam juga ikut berperan dalam hilangnya beberapa makam Keluarga, seperti pemugaran masjid yang ditangani oleh seorang kontraktor dari etnis Cina. Sebab menara dan bangunan masjid lama dirubuhkan ke arah area pemakaman.
Tentang pesarean (makam) Kiai Mahalli, pesarean kiai khumul dari Bawean itu tak diketahui di mana hingga saat ini. Ada pula yang mengatakan pesarean Kiai Mahalli/Kiai Musliman ada di Gambir kuning. Ada juga yang mengatakan berada di area pemakaman selatan sungai Sidogiri. Keterangan terakhir ini berdasarkan penuturan salah satu sumber yang pernah mendengar dari orang yang ahli tirakat beribadah malam hari. Ahli tirakat itu mengatakan bahwa pada suatu malam ia pernah melihat sinar yang tembus sampai ke angkasa dari area selatan sungai. Diduga di tempat itulah letak pesarean Kiai Mahalli.
Ada pula yang mengatakan, kemungkinan pesarean beliau berada di Mihrab Masjid Sidogiri. Dan ada juga yang mengatakan, kemungkinan di sebelah barat daya pesarean Kiai Aminullah. Dahulu pesarean itu banyak diziarahi karena dianggap keramat. Namun setelah terjadi banjir besar, banyak yang hilang tak dapat dikenali lagi, termasuk pesarean di barat daya pesarean Kiai Aminullah itu.
Dari berbagai pendapat tersebut, yang paling masyhur di kalangan Keluarga Sidogiri adalah pendapat pertama, yakni makam Kiai Mahalli tidak diketahui di mana tempatnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Hadratussyekh KH Abd. Alim Abd. Djalil (wafat 2005) dan Hadratussyekh KH A. Nawawi Abd. Djalil. Keduanya adalah Pengasuh PPS.
Diceritakan bahwa suatu hari Kiai Abd. Alim pernah menyampaikan perihal Kiai Mahalli pada tamu beliau. Yakni, kalau istikamah mengaji al-Qur’an di Masjid Sidogiri, kemudian melihat orang sepuh memakai surban hijau, maka itu adalah Kiai Mahalli yang tidak diketahui di mana makamnya. Kalau bertemu dengan beliau, dianjurkan segera bersalaman dan meminta barakah doa kepada beliau.
Demikianlah Kiai Mahalli, pada masa hidupnya beliau khumûl (tidak suka tampil/terkenal) di antara manusia, dan setelah wafatnya makam beliau juga tak diketahui berada di mana.
Selesai…
Disadur dari buku ‘Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri’