Kiai Sufi Tanpa Ambisi

Lahirnya sang macan putih
Ketika seorang hamba mencapai derajat tinggi dalam dunia sufisme dan tenggelam dalam air konvergensi, maka langkah dan pandangannya selalu berorientasi pada makna keikhlasan. Ia akan giat berusaha memperoleh dan memelihara keikhlasan, hingga ia menyembunyikan ritual ibadah dan kebajikan dirinya, meski juga tidak meninggalkannya sedikit pun.
KH. Noerhasan Nawawie adalah salah satu Maha Guru (Masyayikh) Pondok Pesantren Sidogiri (PPS), yang kesehariannya selalu mengaplikasikan makna keikhlasan. Dan ia menikmati kesendirian pandangan terhadap Yang Maha Benar dalam segala amal dan ahwalnya. Ia juga figur ulama yang selalu takut dan hati-hati dalam menampakkan status dan kedudukan, yang berpotensi mendatangkan riya’. Tak heran bila banyak orang kurang mengenal sosok putra tertua KH. Nawawie bin Noerhasan Sidogiri ini.
Putra Pertama
Sekitar tahun 1909 M, lahirlah bayi mungil dari sebuah keluarga kecil di Desa Sidogiri. Tangisan menyeruak menggema seakan memberitahukan kehadirannya di dunia. Bayi itu lahir dari pasangan KH. Nawawie bin Noerhasan bin Noerkhatim dan Nyai Ru’yanah binti Abd. Hayyi (Kiai Urip). Kiai Nawawie adalah ulama besar yang juga salah satu pendiri jamiyah NU. Pasangan ini masih bersaudara sepupu. Dan keduanya adalah keturunan Sayid Sulaiman Mojoagung Jombang dan Sunan Gunung Jati.
Kiai Nawawie menyambut kehadiran anak lelaki pertamanya dengan bahagia dan suka-cita. Harapan Pengasuh PPS itu untuk mempunyai anak lelaki tercapai sudah, karena kepadanyalah nanti beliau akan menyerahkan tongkat estafet perjuangan.
Muhammad Noerhasan, begitulah nama bayi mungil tersebut yang disandangkan oleh kedua orang tuanya. Konon, saat Noerhasan masih berada dalam kandungan, Kiai Nawawie mendapat firasat bahwa putranya kelak akan menjadi tokoh yang disegani. Firasat itu timbul dari mimpi beliau, yang menggambarkan bahwa apa yang ada dalam kandungan istrinya adalah macan putih. Hal itu juga diperkuat perkataan seorang Habib yang datang di kala kandungan Nyai Ru’yanah berusia 9 bulan.
Saat itu, Nyai Ru’yanah tidak mau makan sama sekali. Akhirnya datanglah seorang Habib yang mengatakan bahwa yang ada dalam kandungan Nyai Ru’yanah adalah macan putih. Hal ini membuat Nyai Ru’yanah makin sedih, khawatir apa yang dikatakan Habib tersebut benar-benar kenyataan. Ternyata saat lahir, bukan auman macan putih yang terdengar, tapi tangisan bayi mungil yang kelak akan menjadi tokoh panutan umat.
Dekat dengan Sang Ayah
Di kemudian hari, putra-putri Kiai Nawawie berjumlah 9 orang dari tiga istri. Istri pertama adalah sepupunya sendiri, Nyai Ru’yanah binti Kiai Urip (dikenal sebagai Nyai Sidogiri), kedua Nyai Nadzifah (Nyai Tampung), dan ketiga Nyai Asyfi’ah (Nyai Gondang).
Dari istri pertama, Kiai Nawawie mendapat dua putraputri, yakni (1) Nyai Fatimah, istri KH. Abd. Adzim bin Urip, dan (2) KH. Noerhasan. Dari istri kedua, mendapat (3) Nyai Hanifah, istri KH. Abd. Djalil bin Fadlil, (4) KH. Cholil, dan (5) Nyai Aisyah, istri KH. Thoyyib bin Abd. Karim, Kramat. Sedangkan dari istri ketiga, mendapat (6) KH. Siradjul Millah-Waddin, (7) KA Sa’doellah, (8) KH. Hasani, dan (9) seorang putri yang meninggal pada usia 4 tahun.
Sang ayah, Kiai Nawawie, tak ingin menyia-nyiakan karunia titipan Allah SWT., sehingga Noerhasan kecil diasuh dan dididik langsung olehnya. Beliau selalu mengajak Noerhasan kecil ke mana pun pergi. Kasih sayang Kiai Nawawie membuat Noerhasan sulit terpisahkan dari sang ayah. Dan memang di antara putra-putri Kiai Nawawie, hanya Noerhasan yang sempat merasakan hidup bersama abahnya sampai besar. Beliau pula satu-satunya putra Kiai Nawawie yang pernah diajak naik haji bersama ke Mekah, ketika berumur belasan tahun (kira-kira umur 11-12). Noerhasan muda menunaikan ibadah haji bersama ayahnya dengan dituntun saat melakukan tawaf mengelilingi Kakbah.
Namun kebersamaan Noerhasan dengan sang ayah tak berlangsung lama. Karena ketika beliau menginjak usia 13 tahun, Kiai Nawawie meninggalkannya untuk selama-lamanya, pergi menuju alam baka. Noerhasan muda sangat sedih karena ditinggalkan ayah tercinta.
Seiring perjalanan waktu, Noerhasan pun tumbuh menjadi anak yang cerdas. Sebagaimana lazimnya seorang bocah kecil, Muhammad–begitulah ia biasa dipanggil sejak kecil–tidak jauh berbeda dengan teman sebayanya. Ia sering bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Meski demikian, ia tergolong anak pendiam.
Syahdan, Kiai Noerhasan di masa kecil sampai remaja sering bersama, bermain dan bercengkerama dengan teman sebayanya, pendidikannya pun tak jauh berbeda dengan teman yang lain. Tapi saat malam tiba, kira-kira jam 10, beliau masuk ke dalam kamar membawa handuk besar. Lantas mematikan lampu templok dan tidur sampai Subuh. Namun anehnya, setelah menikah ternyata beliau mampu mengajar kitab-kitab besar, padahal mengajinya biasa-biasa saja. “Dapat (ilmu) dari mana Kiai Noerhasan itu, saya heran,”ungkap teman masa kecilnya Kiai ‘Mad Sekargadung, dengan kagum.
Sempat Belajar di Mekah
Jenjang pendidikan agama yang Kiai Noerhasan tempuh dimulai dengan berguru langsung pada ayahnya sendiri. Hal itu berlangsung sampai beliau ditinggal wafat ayahnya. Selain itu, beliau juga pernah berguru pada kedua kakak iparnya, yakni KH. Abd. Adzim bin Urip dan KH. Abd. Djalil bin Fadlil.
Dan sebagaimana lazimnya ulama dahulu yang kurang sreg jika belum mengaji di Mekah—yang merupakan pusat ilmu dan ulama— maka kira-kira berumur 16 tahun, Kiai Noerhasan melanjutkan pendidikannya ke tanah suci Mekah. Namun masa belajar beliau tak berlangsung lama, kira-kira tiga tahunan. Selain itu, beliau jalankan sistem pendidikannya dengan otodidak.
KH. Noerhasan Nawawie sebagai Ayah: Menikah seperti Ali, Penyayang seperti Nabi
KH. Noerhasan Nawawie memulai hidup baru dengan meninggalkan masa lajang saat berumur 25 tahun. Beliau mempersunting Nyai Muqimah putri Kiai Muhsin yang saat itu berusia 18 tahun. Gadis ini menjadi tunangan Kiai Noerhasan sejak berusia 40 hari. Yaitu saat Muqimah kecil berumur 40 hari, ia digendong abahnya menemui Kiai Nawawie bin Noerhasan saat turun dari masjid.
Dengan penuh hormat, Kiai Muhsin menuturkan pada Kiai Nawawie yang tak lain adalah pamannya sendiri, “Anu ‘Man, kulo gadah yugo estri (Paman, saya punya anak perempuan)”. Kiai Nawawie menimpali dengan penuh perhatian, “Endi-endi, delokdelok! O, yo ayu…mbesok olehno Muhammad ae (Mana, mana, aku ingin lihat. Wah, cantik… Kelak dinikahkan dengan Muhammad [Noerhasan] saja!)”. Sejak saat itulah Kiai Noerhasan dengan Nyai Muqimah terikat pertunangan, hingga mereka berdua melangsungkan pernikahan kira-kira tahun 1934.
Sebenarnya Nyai Muqimah masih keponakan Kiai Noerhasan sendiri. Karena Kiai Muhsin adalah sepupu Kiai Noerhasan. Yakni putra dari adik Kiai Nawawie, Nyai Fathonah binti Noerhasan bin Noerkhatim. Pernikahan semacam ini diperkenankan dalam Islam, sebagaimana pernikahan Sayidina Ali dengan Siti Fatimah, yang tak lain adalah putri dari sepupu Sayidina Ali, Nabi Muhammad SAW.
Setelah menikah, Kiai Noerhasan tinggal di dalemnya yang sederhana, di selatan lapangan Desa Sidogiri. Area tempat tinggal beliau selanjutnya dikenal dengan sebutan Daerah I (lanjutan dari pusat kompleks santri di area barat yang disebut Daerah A, B, C, dst).
Pasangan Kiai Noerhasan dan Nyai Muqimah dikaruniai 8 putra-putri. Yakni (1) Ning Nur Azzah, wafat, (2) KH. Ghazi (beristri Nyai Hj Zubaidah), (3) Mas Yahya Nawawi, wafat, dan (4) Ning Nur Azzah, wafat. Kemudian (5) KH. Fuad (beristri Ning Maslihah Siradj), (6) Ning Illiyah (istri Ust H Mahmud Ali Zain), (7) Ning Munjiat (istri Ust Cholil Abd. Ghafur), dan (8) Ning Iradatul Hasanah Luluk Maknunah, juga wafat.
Ayah yang Penyayang
Sebagai seorang ayah sekaligus pemimpin keluarga, sikap Kiai Noerhasan terhadap istri dan putra-putrinya sangat perhatian dan penuh kasih sayang. Kesabaran dan ketelatenan beliau dalam mendidik keluarganya untuk selalu tawakal dan sabar, adalah potret dari keluarga sakinah. Semua itu tercermin dari sikap keseharian beliau yang supel dan penuh perhatian. Bahkan beliau menggendong sendiri putra-putrinya, dan tidak pernah memarahi mereka atau mengikat dengan aturan yang berat. Beliau memberi mereka kebebasan. Asalkan tidak bertentangan dengan Syara’, mereka beliau biarkan.
Rupanya, penekanan yang beliau lakukan dalam hal pendidikan adalah dengan bentuk aplikatif. Terbukti, kewajiban memakai hijab (baca: kerudung) bagi orang perempuan betul-betul diterapkan pada semua anggota keluarganya yang perempuan. Sampai-sampai santri tidak tahu siapa nyai dan ning mereka, karena jarang keluar rumah. Dan untuk mendidik kebiasaan dalam beribadah, beliau sering mengajak putranya pergi melaksanakan salat jamaah. Bahkan ada putra beliau yang sering diajak Jumatan, meski masih belum mukallaf (belum baligh).
Pendidikan seperti inilah yang paling efektif dalam membangun karakter yang penuh dengan kesopanan, sesuai yang digambarkan dalam adagium Arab, “Lisanu al-hal afshahu min lisani al-maqal”. Perbuatan jauh lebih berpengaruh daripada perkataan.
Kiai Noerhasan juga tak pernah bosan menemani putraputrinya untuk sekedar mendongeng tentang para nabi dan para sahabat, disaat mereka menjelang tidur.
Perhatian pada Anak Kecil
Perhatian dan kasih sayang Kiai Noerhasan pada anak kecil sangat nampak, seakan-akan beliau bukanlah seorang kiai besar yang disegani. Tak jarang beliau mengajak mayoran (makan bersama dalam satu wadah ala pesantren) dengan anak-anak kecil yang mengaji pada beliau. Dan ketika tiba musim layangan, yang merupakan kesenangan anak kecil, beliau sering menemani mereka dan memberikan arahan. Dan kesabaran Kiai Noerhasan pada anak kecil tak diragukan lagi. Beliau pernah menyuruh Mas Haudi-keponakan Nyai Muqimah yang tinggal serumah dengannya– untuk membeli rokok eceran, sekaligus disuruh membeli minyak gas oleh Nyai . Di tengah perjalanan pulang, tanpa sengaja rokok titipan Kiai Noerhasan masuk ke dalam botol gas. Perasaan takut dan waswas pun bercampur menjadi satu, sehingga ia tak berani untuk pulang. Sampai-sampai Kiai Noerhasan mencarinya.
Setelah ditemukan, diluar dugaan, sesudah Mas Haudi menceritakan kejadian sebenarnya, Kiai Noerhasan malah mengatakan, “Ndak opo-opo, enak malah tambah barak (Tak apa-apa, malah enak tambah menyala)“. Mendengar tanggapan Kiai Noerhasan seperti itu, legalah hati Mas Haudi. Disitulah letak kehati-hatian Kiai Noerhasan dalam menjaga perasaan orang lain.
Kedekatan beliau dengan anak-anak kecil, juga tampak pada saat-saat di mana biasanya orang hilang kesabaran karena lelah. Selepas Isya kira-kira jam 9 malam, anak-anak kecil yang mengaji dan putra-putri beliau berkumpul di dalemnya, untuk beliau dongengi orang-orang saleh sambil duduk di kursi goyang dan minum kopi. Ceritanya pun dibuat seru bak cerita dalam film. Untuk membuat penasaran mereka, beliau atur ceritanya dengan sistem bersambung tiap malam.
KH. Noerhasan Nawawie dalam Kehidupan Sosial: Pendiam tapi Dekat Semua Kalangan
Kendati dalam kesehariannya Kiai Noerhasan terkesan pendiam, tapi hubungannya dengan keluarga sangat akrab. Beliau sering berkunjung ke rumah adik-adiknya setiap ada kesempatan. Setiap selesai salat Jumat, Kiai Noerhasan tidak langsung pulang ke dalemnya, tetapi masih menyempatkan diri untuk silaturahim ke rumah saudara-saudaranya. Hal itu beliau lakukan setelah pulang dari pesarean (makam leluhur).
Nyai Gondang, ibu KA Sa’doellah Nawawie, adalah orang pertama yang beliau sambangi. Karena beliaulah satu-satunya ibu Kiai Noerhasan yang masih hidup. Setelah itu, Kiai Noerhasan meneruskan ke dalem Nyai Fatimah (kakak perempuannya) di timur dalem Kiai Sa’doellah. Kemudian ke dalem kakak perempuannya dari ayah, Nyai Hanifah (ibu KH. Abd. Alim Abd. Djalil), dan dilanjutkan ke dalem KH. Cholil. Baru setelah itu beliau pulang.
Meski beliau putra tertua dalam keturunan Kiai Nawawie, sikap hormat dan takzim pada semua saudara tetap melekat pada diri beliau. Sehingga semua saudaranya juga sangat takzim dan akrab pada beliau, terutama KH. Hasani Nawawie. Sedangkan KH. Cholil Nawawie, adiknya yang menjadi Pengasuh PPS, sering bermakmum pada Kiai Noerhasan saat salat berjamaah Magrib di surau Daerah I.
Pernah saat Kiai Noerhasan pulang dari berkunjung ke dalem Kiai Cholil setelah Jumatan, di tengah perjalanan beliau berjumpa Kiai Hasani yang baru pulang dari Daerah I. Adiknya itu mengajak beliau berkunjung ke dalem Kiai Cholil, “Ayo nang umahe Kang Cholil, Kang ‘Mad!”. Tanpa merasa keberatan, beliau mengiakan, “Ayo!”. Sesampai di dalem Kiai Cholil, tentu saja Kiai Cholil menegur Kiai Hasani, “Lo ‘Ni, kok dijak rene maneh Kang ‘Mad? Sik tas teko kene! (Lo ‘Ni, Kang ‘Mad kok diajak ke sini lagi? Barusan dia dari sini!)”. “Iyo Kang ‘Mad? (Benar begitu, Kang ‘Mad?),” tanya Kiai Hasani heran. “Ben awakmu onok barenge (Biar kamu ada temannya),” timpal beliau dengan penuh kesabaran.
Disadur dari Buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri jilid 1










