Masyayikh Sidogiri

KH. Noerhasan Nawawie (Bagian II)

KIAI NOERHASAN BIN KIAI NAWAWI
KIAI NOERHASAN BIN KIAI NAWAWI
KIAI NOERHASAN BIN KIAI NAWAWI
KIAI NOERHASAN BIN KIAI NAWAWI

Bergaul dengan Masyarakat 

Sikap Kiai Noerhasan yang tertutup dan tak banyak bicara itu, tidak menjadikan beliau selalu mengurung diri di rumah. Tetapi beliau juga sering bergaul dengan masyarakat sekitar pesantren. Beliau dekat dengan mereka tanpa memilah-milah antara si kaya dan si miskin. Dan beliau selalu datang bila diundang masyarakat, meskipun dalam satu malam ada tiga undangan sekaligus. Keakraban Kiai Noerhasan dengan masyarakat sekitar sangat kental. Bahkan tak jarang beliau duduk-duduk di warung kopi, untuk sekedar ngopi dan rokokrokokan bersama masyarakat sekitar. Beliau juga sering pergi sendiri ke pasar setiap hari pasaran seperti Kamis dan Ahad, dengan mengajak putranya Mas Fuad. 

Kalau diundang oleh masyarakat Sidogiri, Kiai selalu hadir, bahkan lebih awal dari undangan yang lain. Terlebih kalau yang mengundang adalah orang miskin. Maka beliau pasti akan lebih mengutamakannya. Pernah suatu hari Kiai diundang tetangganya yang bernama Wak Siti, seorang janda tua yang miskin, rumahnya berdinding gedek (terbuat dari anyaman bambu). Pas setelah salat Isya, beliau segera berangkat menuju rumah Wak Siti itu. Setelah sampai, ternyata belum ada orang sama sekali. Beliau pun ikhlas menunggu para undangan yang lain.  

”Sanjungan dan pujian adalah racun yang mematikan”. Sebuah adagium Arab yang menggambarkan bahwa sanjungan tak lain akan membuat mental seseorang sombong. Rupanya hal itu tak diinginkan Kiai Noerhasan, sehingga menjadikan beliau hengkang dari segala macam penghormatan. Terbukti ketika bertemu para santri, beliau selalu menghindar, agar tidak dihormati secara berlebihan. Kiai juga selalu menghindar bila masyarakat mengistimewakannya. Kalau menghadiri undangan kadang duduk menyepi, dengan duduk di tempat terpisah dari keramaian. 

Berbahasa Halus pada Santri  

Pada santri pun, Kiai Noerhasan bersikap santun dan tidak suka main perintah. Sampai-sampai beliau membeli rokok sendiri ke toko. Kalau jeding beliau kebetulan kosong airnya, maka beliau menimba sendiri. Baru kalau ada santri yang meminta izin untuk menimbakan, maka beliau memberi kesempatan. Beliau tidak pernah memarahi mereka. Bahkan saat ada santri bersuara ramai, beliau tidak langsung marah, tapi hanya melihat saja. Selain itu, Kiai Noerhasan selalu memakai bahasa yang halus (Jawa: boso) saat berkomunikasi dengan santri-santrinya. 

Ada tanda menarik untuk santri beliau yang ingin mengaji. Biasanya, jika akan memulai pengajian pagi, beliau membuka jendela rumahnya. Nah, bila melihat jendela telah terbuka, santri yang ingin mengaji pun bersiap-siap. Sebaliknya, kalau jendela masih tertutup, mereka menunggu di Daerah.  

Kiai Noerhasan istikamah mengimami salat berjamaah lima waktu di surau Daerah I, depan rumahnya. Dan peserta jamaahnya bukan hanya dari kalangan santri, anak-anak kampung pun turut salat di belakang Kiai. Ada cerita lucu seputar jamaah itu. Suatu hari, diadakan pertandingan sepakbola di lapangan Desa Sidogiri, yang kebetulan berada tepat di utara Daerah I, di seberang jalan raya.  

Tentu saja peserta jamaah ingin segera menonton pertandingan tersebut, tapi mereka harus salat Asar dulu. Kiai Noerhasan sudah tahu gelagat itu, akhirnya beliau mengakhirkan jamaah Asarnya. Santri-santri dan anak kampung pun mengintip-intip ke lapangan, sambil menunggu Kiai. Noerhasan dengan harap-harap cemas. Namun Kiai tetap menunda-nunda untuk keluar dari dalem. Beliau mengungkapkan hal itu, “Lak sembahyang tah, pentingno! (Mestinya salat yang diutamakan!)”.  

Ketika melihat santrinya beralaskan kelaras (daun pisang yang kering), beliau mengambil sebuah tikar dan memberikannya pada santri tersebut. Dan jika Kiai Noerhasan pulang dari undangan, berkatnya diberikan pada santri beliau.

Hal ini menggambarkan kesabaran beliau dalam mendidik, dan kasih sayang beliau pada semua santrinya.  

Untuk menanamkan sifat tawaduk dan pendalaman spiritual, santri-santri beliau di Daerah I lebih banyak digembleng dengan Riyadlah Bathin (istighasah) setiap malam. Sehingga sifat keseharian santri-santri beliau penuh ketawadukan dan selalu berzikir. Bahkan hal ini menjadi ikon tersendiri bagi santri beliau. Sampai-sampai kalau terlihat seorang santri yang sifatnya tawaduk, hidup dengan kesederhanaan dan kuat berzikir lama, maka dapat diterka bahwa ia adalah santri yang bermukim di Daerah I. 

KH. Noerhasan Nawawie sebagai Seorang Sufi: Kiai Tak Dikenal yang Bangga dengan Kemiskinan 

Dalam dunia Tasawuf, dikenal praktik Zuhud (asketisisme). Orang yang telah tenggelam di dalamnya, hasrat dan keinginannya akan keduniawian menghilang atau berpaling sama sekali. Adapun bentuk dan simbol kefakiran, hanyalah potret faktual kezuhudan semata. Kemudian zuhud dikhususkan untuk mendeskripsikan sosok seorang sufi. 

Rupanya sikap zuhud dan bergelut dalam dunia sufisme adalah jalan hidup yang ditempuh Kiai Noerhasan. Sehingga sikap dan kehidupan sehari-harinya merupakan sebuah gambaran aplikatif ajaran zuhud dan sufisme. Pada istri dan putra-putrinya pun beliau tanamkan betapa indahnya hidup penuh dengan kezuhudan.  

Diceritakan bahwa atap rumah beliau banyak yang bocor, sehingga kala hujan turun membasahi bumi, banyak air yang menetes ke dalem beliau. Istri beliau Nyai Muqimah, menegur dan memintanya memanggil santri, guna memperbaiki genteng bocor tersebut. Namun Kiai Noerhasan menjawab, “Pindah saja ke tempat yang tidak bocor, kan ada!. Rumah yang beliau bangun pun tak ditutupi dengan kaca, seperti lazimnya rumah yang lain. Sampai-sampai salah satu putranya mengatakan dengan menyindir, “Kok bisa ya, kaca rumah ini pecahnya bersamaan?!”. Itulah potret dari fakta kezuhudan beliau. 

Hidup Penuh Kesederhanaan 

Dalam kitab monumental Syekh Ibnu Atha’illah al-Hikam, disebutkan bahwa seorang hamba yang didudukkan Allah  pada makam al-Tajrid atau al-Inqitha’ ‘ani al-Asbab, akan memperoleh hasil tanpa upaya. Dan bila ia masih bersikeras melakukan sebuah usaha, maka usahanya bukan membuahkan hasil, tapi sebuah kemunduran. Bisa jadi Kiai Noerhasan termasuk hamba Allah SWT. yang digambarkan Ibn Atha’illah tersebut. Beliau tidak hubbud dunya (cinta dunia), dan selalu tawakal serta qana’ah (menerima apa adanya). Istilahnya, beliau sudah sampai pada tataran Inqitha’ ‘ani al-asbab. Seseorang yang berada pada tingkatan tersebut sudah tidak lagi menghiraukan dunia. 

Beliau sangat bersahaja, tidak mengharapkan nilai lebih dalam kehidupan sehari-seharinya, sehingga dalam hatinya tak terbesit keinginan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Kesederhanaan ini selalu terpancar dalam semua sisi kehidupan beliau. Apalagi dalam urusan keluarga, beliau sangat sederhana, bahkan terkesan memprihatinkan. Setiap harinya, beliau menghidupi diri dan keluarganya hanya dari hasil sebidang tanah yang dibagi-hasil dengan si penggarap sawah. Saat panen, Kiai Noerhasan hanya mendapat dua sak padi. Dengan hasil seminim itu, beliau harus mencukupi makan keluarganya satu tahun.  

Agar beras yang tersedia dapat mencukupi semua anggota keluarga, beras yang seharusnya ditanak menjadi nasi, oleh beliau malah dijadikan jenang. Dengan hanya menyediakan beras satu cangkir setiap hari dan airnya diperbanyak, secara otomatis beras yang ada mengembang. Dus beras sedikit, dapat mencukupi seluruh anggota keluarga. Jenang inilah yang menjadi makanan pokok keluarga beliau. Kalau kebetulan tak ada makanan sama sekali di rumahnya, beliau berpuasa. Jika hendak belanja ke pasar, Kiai Noerhasan membawa dua atau tiga buah kelapa yang dijual terlebih dahulu. Tapi anehnya, walau begitu peliknya ekonomi beliau, beliau tak pernah mengeluh, bahkan sangat menikmati dan bahagia.  

Malah Kiai Noerhasan terkesan bangga dengan kemiskinannya. Pakaian sehari-seharinya pun sangat sederhana, bahkan bisa dikatakan tak layak dipakai seorang yang bergelar kiai. Sampai-sampai songkok putih yang dipakainya berwarna coklat, dari lamanya tak dicuci. Pernah Nyai meminta beliau mengganti baju yang dikenakan ketika akan menghadiri undangan, dan memberi sepotong baju yang terbilang pantas sebagai gantinya. Namun beliau tidak berkenan, malah melemparkan baju pemberian istrinya tersebut.

Ada cerita menarik tentang baju Kiai Noerhasan. Saat Panca Warga putra Kiai Nawawie bin Noerhasan undangan ke Bondowoso dan menginap di sana, menjelang tengah malam Kiai Sa’doellah melihat baju saudaranya yang paling memprihatinkan adalah milik kakak tertuanya, Kiai Noerhasan. Maka malam itu juga baju itu beliau cuci dan setrika, lalu dikembalikan ke tempat semula.  

Paginya, Kiai Noerhasan kebingungan mencari bajunya. Ternyata pada bajunya sendiri beliau pangling. Beliau tak mau mengambil satu-satunya baju yang tersisa di hanger, yang tak lain adalah miliknya sendiri. Beberapa lama kemudian, Kiai Sa’doellah berkata, Itu baju sampean, Kang ‘Mad!”. Tapi Kiai Noerhasan menyangkal terus, Bukan, bukan ini. Bajuku jelek, ini kan bagus, sudah disetrika lagi!”. Setelah lama berdebat, akhirnya Kiai Sa’doellah mengaku dirinyalah yang mencuci dan menyetrika baju itu.  

Namun Kiai Noerhasan kurang berkenan dengan baju yang terlalu rapi. Alasan beliau sederhana, karena ingin bergerak bebas. “Wah awakmu iki ‘Loh, aku ndak enak gawe klambi strikastrikaan ngene. Lek gawe barang ngono male ndak bebas, kate senden ngene wedhi lungset. Lek gae klambi maeng iku kan bebas, iso senden nang endi-endi (Wah kamu ini ‘Loh, aku merasa tidak nyaman memakai pakaian setrikaan begini. Kalau memakai pakaian setrikaan, malah tidak bebas. Mau bersandar, takut kusut. Kalau baju bukan setrikaan, bebas. Bisa bersandar di mana saja),ungkap beliau. Semua itu cerminan kesederhanaan beliau. 

Ikhlas dan Sabar 

Segala tindak-tanduk Kiai Noerhasan adalah manifestasi dari kesabaran beliau. Pernah suatu ketika beliau membuka peti miliknya, ternyata dalam peti itu ada ular yang langsung menggigit tangan beliau. Berbagai macam obat sudah dicoba, tapi tak juga membuahkan hasil. Namun meski sepertinya sangat menderita, beliau tidak pernah mengeluh. Juga saat putri beliau meninggal, beliau tak meneteskan air mata sedikit pun.  

Khumul (Low Profile)  

Sikap Kiai Noerhasan sehari-hari terkesan menyimpan segala atribut ke-kiai-an dan ketokohan dan penuh nuansa kesufian, istilah pesantrennya khumul (low profile). Beliau bersikap rendah hati dan tidak banyak bicara. Dan kalau berjalan kepalanya menunduk. Dari pandainya menyimpan gelar kiai yang disandang, sampai-sampai orang di Pasar Sidogiri—yang jaraknya ± 100 meter dari dalemnya—banyak yang tidak tahu beliau putra kiai besar Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri (PPS), KH. Nawawie bin Noerhasan. Kalau beliau bercerita pada santri, yang diceritakan adalah abahnya atau Kiai Hamid Pasuruan. Tak pernah menceritakan dirinya sendiri. Bahkan kalau diundang untuk berpidato, beliau tidak mau. Kata beliau, “Kalau mau mengaji, ya beli kitab, ‘ngaji ke rumah!.”

Pernah suatu hari Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih, Pengasuh PP Darul Hadis Malang, memberi ceramah di Masjid Jami’ Sidogiri. Saat itu, keempat saudara lelaki Kiai Noerhasan  sudah hadir di tempat, sedangkan Kiai Noerhasan datang terlambat. Setelah masuk ke masjid, beliau bersalaman dengan Habib Abdullah. Ternyata Habib tersebut tidak tahu bahwa yang bersalaman dengannya adalah Kiai Noerhasan, putra tertua Kiai Nawawie Sidogiri. “Pak haji dari mana?”tanya Habib Abdullah dengan bahasa Jawa halus pada Kiai Noerhasan. Melihat hal itu, Kiai Cholil Nawawie yang ada di sebelahnya menjawab, “Anu ‘Bib, niku kakang kulo! (‘Bib, itu kakak saya!)”. 

Habib Abdullah yang hafal dengan lika-liku Hadis, langsung membacakan sebuah Hadis, “Akhu al-kabir fi manzilati al-walid, lahu al-huquq, ‘alaihi al-huquq” (Kedudukan saudara tertua sama dengan kedudukan orang tua, ia punya hak dan kewajiban yang sama).“Jadi,” lanjut Habib, “kedudukan saudara tertua itu sama dengan orang tua. Kalau sampean punya perlu apa-apa mengenai pondok, sampean beritahu dulu Kiai Noerhasan. Kalau Kiai Noerhasan setuju, laksanakan. Kalau tidak, ya jangan dilaksanakan!”.   

Bahkan pernah ada wali santri yang tidak mengenali Kiai Noerhasan. Ceritanya, suatu hari seorang wali santri bersilaturahim pada Kiai Cholil—salah satu adik Kiai Noerhasan yang menjadi Pengasuh PPS kala itu—dan kebetulan Kiai Noerhasan juga ada di sana, duduk di samping wali santri tersebut. Si wali santri bertanya pada Kiai Noerhasan, “Wak haji saking pundi?”. Mendengar pertanyaan wali santri itu, Kiai Cholil buru-buru menimpali, “Anu, niku kakang kulo!”. Demikianlah kelihaian Kiai Noerhasan dalam menyimpan nama dan kedudukannya, sehingga banyak orang yang tak tahu bahwa ia seorang kiai.

Dalam hal ini, beliau pernah mengungkapkan alasannya bersikap khumul,“Sak jange wong bersih iku, duduk wong sing bersih klambine. Sing gara’no wong bersih, wong suci, iku wong sing bersih lan suci atine (Sebenarnya, orang yang bersih itu bukanlah orang yang bersih pakaiannya. Yang menjadikan orang itu bersih atau suci, adalah bersih dan sucinya hati).  

Keistikamahan & Kesenangan Beliau 

Ungkapan “al-Istikamah ainul karamah (Istikamah adalah esensi dari kekeramatan),adalah sebuah gambaran akan tingginya nilai istikamah dalam segala aktivitas sehari-hari. Keseharian Kiai Noerhasan tak lepas dari aktivitas ibadah, yang beliau jalani dengan istikamah. Di antaranya yang sangat tampak adalah sahirul layali (tidak tidur malam). Setiap malam beliau bersujud dan tafakkur berzikir, menghambakan diri pada Dzat Yang Maha Agung. Salat jamaah pun tak pernah beliau tinggalkan. Bahkan ketika sakit parah, beliau tetap salat berjamah. Setiap salat lima waktu, beliau mengimami di surau Daerah I. Kemudian usai salat Maktubah, beliau istikamah membaca Asmaul Husna, surat al-Fatihah dan dilanjutkan dengan membaca tujuh kali ayat, “Laqad jaa’a kum rasuulun min anfusikum…”dst (dua ayat terakhir surat at-Taubah). Dan diceritakan bahwa bacaan ini juga diistikamahkan oleh keempat saudara lelaki Kiai Noerhasan. Tidak diketahui apakah bacaan tersebut memang di-ijazah-kan khusus oleh Kiai Nawawie bin Noerhasan, abah mereka, atau tidak. Yang jelas, bacaan tersebut seakan menjadi bacaan wajib putra-putra Kiai Nawawie yang tergabung dalam Panca Warga.

Setiap gerak dan diam Kiai Noerhasan seolah-olah selalu berzikir pada Allah SWT. Sampai-sampai suatu ketika, dari mantapnya beliau berzikir, saat turun dari masjid dan disapa KA Sa’doellah Nawawie—adiknya—beliau tidak menoleh. Ketika berangkat untuk salat jamaah, utamanya salat Jumat, tasbih di tangan tak pernah beliau tinggalkan. Berbaju hitam, bersurban merah dipadu dengan songkok biru, plus bakiak yang memang ciri khas sandal pesantren. Dan pada senja hari menjelang Magrib, biasanya beliau sambil memegang tasbih, berdiri di depan pintu dalemnya. Kadang juga sambil berjalan.  

Kegemaran beliau adalah mengumpulkan barang antik seperti batu cincin Merah Delima, tongkat yang bentuknya seperti bambu yang berasal dari Mekah, dll. Hebatnya, beliau juga dikejar oleh barang antik. Pernah beliau mengambil tiga buah mangga di depan rumahnya, dan diberikan pada seseorang dari Nongkojajar Pasuruan. Setelah dikupas, ternyata dalam biji mangga tersebut terdapat Merah Delima. Salah satu benda antik yang dipercaya mengandung nilai mistik dan dapat membuat sang empunya kebal itu lantas dikembalikan pada Kiai Noerhasan, sebagai orang yang lebih berhak atas barang tersebut.  

Sedangkan makanan yang beliau sukai, adalah nasi yang dibuat jenang, nasi liwet dan wijen yang ditumbuk halus. Selain itu, beliau senang sekali mendengarkan radio, apalagi kalau ada qiraat al-Qur’an. Beliau juga istikamah dengan wiridan rutin beliau yang berbunyi, “Wa ashmim wa abkim tsumma a’ma ‘aduwwana…”. Biasanya wiridan ini beliau baca sehabis Magrib dan Subuh. 

Disadur dari Buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri jilid 1

KH. Noerhasan Nawawie Bagian III

Shares:
Show Comments (1)

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *