Supel dalam Bergaul
Ramah tamah pada semua orang, hubungannya luas dan siapa saja bisa menghubunginya. Itulah kepribadian KA. Sa’doellah Nawawie, yang tidak mau menonjolkan kekiaiannya dalam bergaul. Sikapnya dalam bergaul sangat supel. Kalau dilihat sepintas, dari akrabnya beliau pada teman, orang takkan menyangka bahwa beliau orang besar.
Beliau sering mengajak boncengan orang kampung yang ditemuinya di jalan, misalnya dari Warungdowo ke Sidogiri. Suatu ketika saat beliau akan pulang dari Pasuruan naik sepeda motor, ada seorang wanita yang menjadi karyawan Pemerintah Daerah, ingin berboncengan dengan beliau. Wanita itu beranggapan Kiai Sa’doellah pasti mau memboncengnya, mengingat betapa supelnya beliau dalam bergaul. Namun beliau memberi alasan mau membeli sesuatu dan langsung pulang lewat Besuk.
Sebagai Penanggung Jawab dan Ketua Umum PPS, beliau sangat mengayomi dan akrab sekali dengan Pengurus pondok selaku bawahannya. Beliau sering mengajak mereka mayoran (tanak bersama) dengan lauk ikan, yang biasanya hasil menjala di sungai selatan pondok. Kadang-kadang beliau menyembelih merpati atau memesan kerak nasi (kerrek, Madura) pada santri.
Saat bercengkerama dengan Pengurus Pondok, beliau suka bercerita diselingi dengan gurauan. Sehingga dalam rapat pun kalau melihat anggota sudah lesu dan ngantuk, maka beliau memberikan joke-joke segar, sehingga mereka bersemangat kembali. Sikap humor beliau semisal ada seorang santri yang akan berangkat tugas ke Malang. Dengan bahasa Madura, beliau berpesan sambil bergurau, ”Ingat, masyarakat Malang jangan dimahabbah semua, nanti anak orang dibuat tertarik semua. Jangan-jangan nanti semua perempuannya tertarik pada kamu!”.
Mendirikan RMI
Untuk menyatukan visi dan misi seluruh pondok pesantren dalam mempertahankan Ahlussunnah Waljamah, utamanya pesantren salaf, Kiai Sa’doellah bersama KH. Achmad Jufri Besuk serta KH. Achmad Shiddiq Jember, menginginkan agar semua pondok pesantren berafiliasi dalam satu wadah organisasi. Sering mereka bertiga berembuk mematangkan ide, baik di Sidogiri atau di Besuk, sehingga pada akhirnya diputuskanlah organisasi itu bernama IMI (Ittihad Ma’had Islami).
Untuk mendapat pengesahan dari PBNU, mereka sepakat untuk mengajukannya pada KH. Abd. Wahab Hasbullah yang ketika itu menjabat Rais Aam PBNU. Rupanya Kiai Wahab merespon dengan baik, sehingga organisasi itu menjadi salah satu organisasi dibawah naungan NU.
Pada akhirnya, pada tahun 50-an, dilaksanakanlah konferensi, yang bertempat di rumah KH. Achmad Siddiq Jember. Konferensi ini dihadiri oleh KH. Abd. Wahab Hasbullah. Setelah melalui perdebatan seru tentang nama organisasi persatuan antar pondok pesantren itu, akhirnya atas usulan Kiai Wahab diputuskan organisasi itu bernama Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) dengan mengacu pada ayat,”Ya ayyuha alladzîna âmanû ishbirû wa shâbirû warâbithû wattaqullâha, la’allakum tuflihûn”(QS. Ali Imron:200). Sampai sekarang RMI menjadi salah satu organisasi otonom NU.
Qanaah dan Khumul, Menolak Jadi Menteri Agama
Kalau melihat penampilannya sehari-hari, pasti orang yang melihatnya akan mengira Kiai Sa’doellah bukan tokoh masyarakat yang berpredikat kiai dan disegani. Kalau akan bepergian, pakaiannya necis: pakai celana dan tidak pakai songkok. Kesenangannya pakai baju tentara atau polisi dan mengendarai sepeda motor. Sedangkan ketika bersantai, beliau senang pakai kaos oblong dan sarung. Suatu penampilan di luar kebiasaan kaum kiai.
Namun ternyata dibalik semua itu, karena didorong oleh sifat khumul (low profile) dan tidak mau menonjolkan diri, beliau suka menutupi kebaikan yang ada pada dirinya. Sesuai dengan ajaran sufi, Idfin Nafsaka Fî Ardli al-Khumûl (Pendamlah dirimu dalam bumi ketidakterkenalan). Suatu bukti, setiap keluar rumah dan pakai celana, beliau tidak lupa membawa tasbih yang ditaruh dalam saku celananya. Dilihat dari itu, pasti beliau tidak pernah lupa berzikir pada Allah SWT.
Menurut penuturan KH. Hasani Nawawie, adiknya—yang sekamar dengan Kiai Sa’doellah, dan hanya dipisah dengan dinding bambu (gedhek, Jawa)—suatu malam Kiai Hasani mendengar isak tangis Kiai Sa’doellah. Pada awalnya Kiai Hasani menduga, mungkin kakaknya itu punya problem dengan istrinya. Namun kejadian itu berlangsung setiap malam.
Akhirnya Kiai Hasani mengintip lewat celah-celah dinding bambu. Beliau pun terpana, ternyata Kiai Sa’doellah sedang terpekur menghadap ke barat memakai jubah dan surban sambil membaca salawat (Kesenangannya memang membaca salawat). Setiap sampai pada lafal Muhammad, beliau langsung menangis tersedu-sedu. ”Takjub aku pada Sa’doellah. Kalau anu (siang?) sepertinya banyak tertawa, tapi kalau malam menangis. Sering aku mengintipnya”. Pernah kejadian itu beliau ceritakan pada Kiai Cholil, kakaknya yang lain. “Aku tak bisa seperti itu,” tambahnya. Kiai Cholil yang termasyhur sebagai wali itu menjawab, ”Meskipun aku, tidak bisa ‘Ni”.
Secara dzahir, sepertinya Kiai Sa’doellah menutupi kewalian dan keilmuannya. Sikap beliau seakan tidak menggambarkan sosok yang Alim. Saat berpidato saja beliau tidak menggunakan ayat atau Hadis, melainkan terjemahannya saja. Segala dawuh-nya cocok dengan al-Qur’an dan Hadis, sampai-sampai Kiai Cholil berkomentar, “Coba Sa’doellah begitu, rajin mengaji, kalah semua saudaranya!”.
Kehidupan Kiai Sa’doellah qanaah (ngalap cukup), sederhana tidak bermewah-mewahan, dan tidak menonjolkan kekiaiannya. Kalau ada tamu, beliau menyuguhinya dengan apa adanya. Beliau juga dikenal dermawan. Orang yang tidak mampu bersekolah, beliau biayai. Beliau tidak mau menumpuk harta. Sekalipun beliau mantan pejuang dan pernah menjadi Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, beliau tidak mau menerima gaji dari pemerintah, walaupun sebenarnya saat itu bisa saja beliau mengumpulkan harta sebanyak mungkin.
Kiai Sa’doellah merasa khawatir perjuangannya untuk membela tanah air dan menjadi wakil rakyat tidak ikhlas, tidak murni berjuang fi sabilillah. Beliau khawatir perjuangannya dikarenakan uang gaji dsb. Di hati beliau tidak terlintas untuk mencintai dunia, suatu cerminan kesufian beliau untuk menjaga hati dari ketergantungan pada dunia.
Sikap khumul dan tidak mau menonjolkan diri rupanya sudah menancap kuat dalam jiwa Kiai Sa’doellah, sehingga beliau tidak terjangkit Hubbu al-Ri’asah (senang jadi pemimpin).
Kenyataannya beliau tidak mau masuk TNI, meski berkesempatan menjadi jenderal seperti teman-temannya sesama pejuang kemerdekaan. Beliau juga pernah ditawari menjadi Bupati Pasuruan. Bahkan Presiden Soekarno, lewat seorang Kolonel utusannya, menawari Kiai Sa’doellah untuk menjadi Menteri Agama RI. Namun berkenaan dengan semua itu— meskipun merupakan kesempatan yang baik— beliau malah berkata, ”Saya menghindar dari Hubbur ri’asah, tidak senang merebut kedudukan semacam itu”.
Penghubung Ulama dan Umara
Sebagai figur pemimpin sejati, beliau sangat mahir tentang kenegaraan dalam pembukuan dan administrasi, sekaligus ahli nasehat. Dan kedisiplinan beliau sangat tinggi. Tak heran beliau sangat disegani semua bawahannya. Pandangan masyarakat pada kepemimpinannya, sangat mendambakan dan mencintainya. Kalau beliau berpidato, diperhatikan penuh. Dan beliau sangat mengayomi pada bawahan, telaten memberi pendidikan.
Yang nampak dalam diri beliau adalah jiwa kepemimpinan Rasul, sehingga tidak mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Sampai ada orang yang menggambarkan kepemimpinan Kiai Sa’doellah dengan ucapan, ”Seandainya ada empat orang saja di Negara Indonesia ini semacam Kiai Sa’doellah, maka akan segera tercapai negara yang adil dan makmur yang diridlai”.
Dari keluwesan beliau memimpin bawahannya, beliau sampai menjadi rujukan dan tempat permusyawaratan pemimpin lain. Kiai Sa’doellah pernah didatangi Gubernur DKI Jakarta, yang akrab dipanggil Pak Nur. Dan kira-kira antara tahun 1968-1969 KH. Idham Cholid, Perdana Menteri II RI, pernah datang ke PPS menemui Kiai Sa’doellah. Dan sekalipun beliau telah berhenti dari korps ketentaraan, sering tentara mendatanginya untuk mencari petunjuk mengenai keamanan di Pasuruan, sehingga mobil panser sering ada di muka dalem beliau.
Dari itu Kiai Sa’doellah bisa dikatakan ‘Sekringnya Sidogiri’. Maksudnya, antara ulama dan umara sama dengan kabel min dan plus. Keduanya dapat menghidupkan lampu, namun tidak bisa bersentuhan langsung, karena akan menimbulkan kebakaran. Makanya, untuk menghindari hal itu dibutuhkan sekring. Dan Kiai Sa’doellah bisa dikatakan sekring KH. Cholil Nawawie, kakaknya yang menjadi Pengasuh PPS, dengan umara.
Hal itu tak lain karena umara dan ulama harus saling membutuhkan dalam membangun keamanan Negara. Dan lagi kalau ulama terlalu mendekati umara, bisa dikatakan maling. Sedangkan umara untuk bisa adil membutuhkan ilmunya ulama. Bagaimana sekiranya ilmu ulama bisa sampai pada umara? Maka membutuhkan sekring. Oleh karenanya, Kiai Sa’doellah bisa dikatakan sekring yang bisa menyampaikan ilmunya Kiai Cholil pada umara. Sehingga pada masa itu umara bisa masuk ke Sidogiri.
KA Sa’doellah Nawawie sebagai Politikus: Terjun ke Dunia Politik Demi Agama dan Rakyat
Sebagai tokoh masyarakat yang disegani, peran dan otoritas Kiai Sa’doellah bukan hanya menjangkau wilayah keagamaan.
Sebab, dalam perjuangannya membela rakyat kecil, beliau terjun langsung ke dalam ranah sosial dan politik. Pada Pemilu tahun 1955 beliau sangat gigih membela Partai Nahdlatul Ulama (NU) hingga rela menjadi Jurkam untuk memperjuangkan kemenangannya.
Prinsip beliau dalam memperjuangkan NU tak lain karena NU adalah partai para ulama, sedangkan dalam al-Qur’an disebutkan bahwa yang takut pada Allah SWT. hanyalah para ulama. Selain itu, karena NU masih memperjuangkan misi sebagaimana awal berdirinya untuk mempertahankan prinsip Ahlussunnah waljama’ah dan sesuai dengan restu KH. Nawawie bin Noerhasan, ayahnya, yang mensyaratkan tidak mengurusi uang. Maka sangat pantas kalau beliau sangat mendukung untuk kebesaran NU.
Rupanya, ikutnya NU sebagai kontestan dalam Pemilu 1955, sangat mengejutkan publik. Partai NU pada waktu itu menduduki posisi ketiga dengan meraup 18,4% suara, setelah PNI dengan 22,3% suara dan Masyumi 20,9% suara, sehingga mengantarkan Kiai Sa’doellah ke kursi anggota sekaligus Ketua DPRD Gotong Royong Pasuruan. Padahal NU termasuk partai baru, sebelumnya pada tahun 1952 NU memutuskan berafiliasi dengan Partai Masyumi. Semua itu tak lepas dari peran ulama, termasuk Kiai Sa’doellah.
Di kursi Ketua DPRD, beliau menunjukkan sikap politikus yang handal, sehingga pendapatnya di DPRD selalu dihargai. Sebagai wakil rakyat, dengan otoritas keilmuan dan ketegasannya, beliau sampaikan aspirasi rakyat dengan keberanian yang tinggi, sehingga beliau sangat disegani oleh anggota DPRD yang lain. Perjuangan beliau lewat jalur politik memang betul-betul murni memperjuangkan nasib rakyat kecil. Terbukti selama beliau berada DPRD sama sekali tidak pernah menerima gaji.
Jabatan beliau di DPRD disandang selama tiga tahun, karena pada tahun ketiga beliau mengundurkan diri. Penyebabnya adalah perasaan beliau dihantui oleh kebimbangan atas langkah politiknya selama ini. Beliau mundur setelah menyuruh salah satu santri asal Pamekasan untuk melakukan ritual istikharah lewat al-Qur’an, dengan sistem menghitung huruf Kha’ dan Syin, tanpa mengutarakan alasannya. Ternyata istikharah menunjukkan beliau harus berhenti.
Akhirnya, beliau memutuskan berhenti. Setelah itu, baru beliau mengungkapkan alasannya menjadi DPRD, karena untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Dan ternyata semua itu menurut beliau tidak tercapai. ”…Dan saya waswas terhadap apa yang saya makan. Bagaimana tidak? Karena yang dibahas di sidang itu bukan menghapus prostitusi, tapi memutuskan agar dilegalisasi dengan membuatkan lokalisasi dan ditarik pajak dengan alasan alasan yang bermacam-macam. Pada akhirnya argumen anggota yang menolak tidak kuat. Sedangkan yang mengetok palu adalah saya. Bagaimana ini, apakah saya tidak dosa?” ungkap beliau.
“Sementara itu, minuman bir yang dibahas di dalam sidang adalah pajaknya. Bukan memberantasnya, melainkan akan ditarik pajak. Pada akhirnya diputuskan tentang penarikan pajak. Sedangkan yang mengetok palu adalah saya. Berarti tidak pok (sesuai) amar ma’ruf yang dijuangkan dengan ketokan palu yang saya putuskan,” imbuhnya.
Pada pemilu pertama dalam kekuasaan Orde Baru tahun 1971, beliau tetap memperjuangkan kemenangan NU. Padahal di masa-masa itu sedang kisruh-kisruhnya negara dengan gerakan yang dilancarkan Orde Baru bagi yang tidak memihak pada Golkar. Pada akhirnya Partai NU bisa meraup 18,7% suara. Nomor dua setelah Partai Golkar yang mendapat 67,8% suara. Namun saat itu beliau tidak mau dicalonkan lagi menjadi anggota DPRD.
Memberantas Kebiadaban PKI
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terjadi pada tahun 1965 dan diawali dengan penculikan Dewan Jenderal, rupanya menggugah Kiai Sa’doellah untuk kembali turun ke medan juang demi memberantas pengkhianat bangsa tersebut. Juga demi menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dasar beliau begitu gigih memberantas gerakan PKI ialah karena mereka tidak mempercayai adanya Tuhan (atheis). Bukan syirik, melainkan lebih parah lagi hingga tak bertuhan. Itu menyalahi hati nurani, juga menyalahi aturan negara. Bagaimana bisa dibenarkan hal sedemikian, yang pada akhirnya akan menuhankan diri sendiri.
Kepercayaan semacam itu termasuk hal yang berat, karena kalau nantinya akan dipimpin oleh hawa nafsunya, maka akan Beliau sangat menggemari Drum Band, sehingga kalau ada undangan ke mana-mana kadang beliau ikut.
Sebagai pimpinan, beliau sangat membela gerakan-gerakan yang dilakukan Ansor. Suatu ketika ada anak-anak Ansor membantai seorang PKI di Pelinggisan, lantas semuanya ditahan di Kodim oleh pihak keamanan. Lalu Kiai Sa’doellah meminta pada pihak Kodim untuk membebaskan mereka dengan mengancam, ”Kalau jam lima tidak dibebaskan, maka markas akan saya balik!”. Ancaman ini membuat panik aparat. Setelah mendengarnya, aparat Kodim langsung menghubungi beliau lewat telepon dan berjanji akan membebaskan tawanan. Ternyata sebelum jam lima, sudah dibebaskan.
Wafat setelah Diuluk Salami Malaikat Izrail
Pada tanggal 11 Muharram 1392 H/25 Pebruari1972 M, suasana di sekitar Sidogiri terasa suram, salah satu tokoh panutannya, KA Sa’doellah Nawawie, telah berpulang ke Rahmatullah. Dengan wafatnya, dunia terasa gelap. Seakan setiap perasaan tercekam, merasa kehilangan tokoh yang diidolakan, sehingga tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Masyarakat sangat gelisah, karena beliau akrab sekali dengan mereka. Setiap orang yang mendengar berita kewafatannya sangat merasa kehilangan.
Sampai-sampai KH. Ahmad Jufri Besuk, setelah datang dari Mekah menunaikan ibadah Haji dan mendengar kewafatan beliau, langsung ke Sidogiri. Saat itu Kiai Jufri seperti akan pingsan, karena merasa eman (sayang) kehilangan beliau. Katanya, ”Siapa gantinya Kiai Sa’doellah?!”.
Menjelang wafatnya, beliau ternyata sudah merasakan akan segera sampai umurnya. Tiga hari sebelum kewafatannya, ada suara yang uluk salam pada beliau tanpa diketahui orangnya. Sehingga beliau mengungkapkan, ”Aku iki wis kate mati, paling. Telung dino aku diuluk salami wong sing ndak katok. Aku yakin iki Malaikat Izrail! (Aku ini mungkin sudah akan mati. Tiga hari aku diuluk salami orang yang tidak kasat mata. Aku yakin ini Malaikat Izrail!)”.
Pada hari kewafatannya, kekeramatan beliau sangat tampak. Di hari pemakamannya, rintik-rintik gerimis mengiringi. Padahal ketika itu musim kemarau. Dan lagi kira-kira jam 11 atau jam satu malam beliau wafat, namun jam 9 pagi lapangan Sidogiri sudah penuh dengan bus yang datang dari mana-mana untuk memberikan penghormatan terakhir pada tokoh yang selalu menjadi tumpuan untuk dimintai nasehat dan ide-ide yang brilian.
Padahal telepon pada masa itu sangat jarang. Sampai sampai KH. Cholil—karena merasa takjub dengan keadaan itu— mengatakan di hari wafat adiknya itu, ”Kok bisa begini Sa’doellah ini? Saya tidak menyangka Sa’doellah punya kekeramatan seperti ini. Saya belum tentu seperti ini”. Akhirnya Kiai Cholil berkesimpulan, mungkin itu karena barakah beliau yang berbakti pada ibu.
Keistimewaan dan Karamahnya
Sebagaimana lazimnya para kiai berpengaruh, Kiai Sa’doellah juga diyakini oleh masyarakat memiliki kesaktian waliyullah. Banyak cerita-cerita supranatural tentang beliau yang beredar di kalangan masyarakat, utamanya pasukan di bawah komandonya.
Di masa perjuangan melawan Belanda, keistimewaan dan kekeramatannya sangat nampak. Seperti diakuinya pada salah satu Pengurus Pondok, ketika bercerita tentang perjuangannya. Saat berperang, peluru yang ditembakkan pasukan Belanda padanya lewat saja ke belakang tubuhnya. Untuk memagari pesantren dari serangan Belanda, beliau memerintahkan salah satu anggota pasukannya yang bernama Abu untuk menarik benang mengelilingi Sidogiri. Maka Belanda tidak bisa melangkahi benang itu.
Menurut cerita yang berkembang, selain kebal beliau juga mempunyai ilmu menghilang (Halimun). Saat Belanda beriringan lewat di pematang sawah, beliau ada di bawahnya, tapi Belanda tidak melihatnya. Apalagi saat bertempur, enak saja menyerang Belanda tanpa diketahui oleh mereka. Menurut salah satu pasukannya, ketika akan menghadapi Belanda, beliau membaca, “Ya Sattar,” 3x. Maka beliau tidak kelihatan oleh musuh dan peluru yang ditembakkan Belanda hancur seperti air. Selama berperang melawan Belanda, beliau tidak pernah kena tembak Belanda.
Sebagaimana laiknya pendekar pilih tanding, di masa perjuangan kemerdekaan, rambut beliau dibiarkan memanjang sampai ke pinggang. Konon rambutnya memang tidak bisa dipotong kecuali oleh ibunya sendiri.
Di masa perjuangan, KA Sa’oellah tidak pernah makan. Selain karena memang tidak ada yang mau dimakan, juga karena memiliki semacam karamah. Ketika merasa lapar, beliau bersama pasukannya membaca Tasbih 33x. Setelah membaca bersama, semua pasukannya merasa kenyang, lalu membaca Hamdalah 33x. Dan begitulah seterusnya, setiap kali merasa lapar.
Keanehannya lagi, sejak kecil beliau dikenal tidak pernah mengaji ilmu agama, al-Qur’an pun tidak. Sehingga banyak orang yang berasumsi beliau tidak bisa baca kitab kuning dan al-Qur’an. Namun anehnya, apa yang dikatakan oleh Kiai Sa’doellah tidak bertentangan dengan isi kitab. Hal itu pernah diungkapkan oleh KH. Hasani pada KH. Cholil. Kiai Cholil menjawab, “Namanya ndakak (cerdas/ladunni) ya begini ini. Kalau sampai pandai baca kitab, yang lainnya takkan kebagian”.
Pernah Kiai Hasani isykal tentang foto dan menanyakannya pada Kiai Sa’doellah. Kiai Hasani menanyakan, ”Menurut kitab, yang diharamkan itu tashwir yang memakai tangan [melukis]. Lha kalau seperti foto, bagaimana?”. Kiai Sa’doellah menjawab, ”Sama saja dengan melukis, meskipun foto kan tetap membutuhkan tangan. Foto kalau tidak dipencet (tombolnya) dengan tangan, masak bisa? Cuma alatnya sudah modern, tinggal jepret, begitu saja”.
Suatu ketika beliau pergi ke Malang, di tengah jalan ada orang gila yang mengamuk di pasar dengan membawa sebilah belati yang membuat orang sepasar takut. Kemudian Kiai Sa’doellah datang bermaksud untuk lewat, namun beliau dihadang oleh orang agar tidak memasuki pasar. Tapi beliau bergeming. Ternyata kedatangan beliau membuat orang gila itu merasa takut, sehingga belatinya disembunyikan di belakang tubuhnya. Lalu Kiai Sa’doellah menghampirinya dan menanyakan pada orang gila itu, ”Apa itu?”. Orang gila itu menjawab, ”Belati”. ”Jatuhkan,” perintah kiai. Lantas orang gila itu menjatuhkan belatinya dan diambil oleh kiai. Maka amanlah pasar itu.
Selain itu beliau diyakini bisa mengetahui sesuatu yang bakal terjadi (ma’rifat). Satu bukti, saat bersama pasukannya di kamp perjuangan, tiba-tiba beliau memerintahkan pasukannya untuk pindah dari tempat itu, dengan alasan Belanda akan menyerang dengan kekuatan besar. Ternyata yang dikatakan beliau betul-betul terjadi. Pada jam yang dikatakan, Belanda menyerang dan mengobrak-abrik tempat itu.
Contoh lagi, sebelum salawat Badar tersebar di kalangan masyarakat, beliau sudah hafal dulu. Beliau juga mengetahui apa yang dilakukan sebagian pasukannya, yang telah mengambil uang gaji, padahal sudah dilarang oleh beliau. Kiai Sa’doellah juga tahu santri yang melanggar peraturan. Dan sebelum pemberontakan G/30/S PKI yang diawali dengan penculikan Dewan Jenderal meletus, Kiai Sa’doellah sudah memprediksikan hal itu sebelumnya, dan pernah mengungkapkan kekhawatirannya itu. Rupanya Kiai Sa’doellah sangat tanggap atas keadaan yang akan terjadi. Selesai.
Disadur dari Buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri Jilid 1