Diambil Anak Kiai Mahalli
Abu Dzarrin tak menemukan tempat untuk mengadukan perihal yang menimpanya. Kepada siapa beliau akan mengutarakan perasaannya yang sedang kalut. Mau mengutarakan kepada teman kamar, mereka menjauh ketika beliau menghampirinya. Selain itu, beliau sebatang kara tidak mempunyai famili di Sidogiri.
Setiap malam ia hanya bisa menangis karena ditinggalkan teman-temannya. Mereka seakan jijik untuk sekadar bertatap muka. Tak seorang santri pun yang berkenan mendekatinya apalagi sampai bercengkerama dengannya.
Di tengah gelap malam yang sunyi, KH Mahalli berjalan ke sekitar bilik pemukiman santri. Beliau ingin lebih dekat dengan para santrinya. Dengan kata lain, beliau ingin mengetahui langsung aktivitas santri di malam hari.
Sesampainya di salah satu sudut kompleks pesantren, beliau mendengar senggukan tangisan nan lirih. Beliau mencari sumber suara tersebut. Akhirnya beliau mendapati seorang santri tertunduk lesu sambil sesenggukan meneteskan air mata. Beliau menghampirinya dan menanyakan hal ihwal yang terjadi kepadanya.
Dari jawaban yang diutarakan pemuda itu, Kiai Mahalli mafhum akan apa yang menimpanya. Tak hanya itu, beliau juga mengetahui nama serta latar belakang pemuda malang itu.
Dengan penuh syafâqah (kasih sayang) beliau berkenan memberi solusi kepada Abu Dzarrin agar bertanya kepadanya jika ada kejanggalan dan ketidakmengertian akan pelajaran yang ia baca. Tak tanggung-tanggung, Kiai Mahalli memberikan kesempatan bertanya kepada Abu Dzarrin 24 jam nonstop (sehari semalam penuh). Kiai Mahalli meminta Abu Dzarrin untuk membangunkannya jika mendapatinya dalam keadaan tidur.
Abu Dzarrin bahagia luar biasa. Akhirnya, ia bisa mendapatkan ’pelabuhan’ bertanya jikalau ia tidak mengerti akan suatu hal. Akan tetapi, hal yang paling membuat Abu Dzarrin girang adalah ia bisa bertanya langsung kepada pengasuhnya. Ini adalah kesempatan yang sangat jarang sekali terjadi.
Sejak saat itu, Abu Dzarrin disuruh untuk tinggal bersama beliau di dalemnya dan dijadikan sebagai anak angkat, akan tetapi Abu Dzarrin menolak dengan halus tawaran tersebut. Tidak hanya satu-dua kali tawaran itu disodorkan Kiai Mahalli kepada Abu Dzarrin, tapi Abu Dzarrin tetap menolak. Abu Dzarrin takut sû’ul-’adâb dan merasa tidak pantas berada dalam satu rumah dengan kiainya. Tetapi, karena terus dipaksa oleh Kiai Mahalli, akhirnya Abu Dzarrin mau tinggal di rumah beliau dengan catatan hanya ditempatkan di dapur bukan di kamar, disamakan dengan khadam kiai yang lain.
Selama tinggal di dalem Kiai Mahalli, Abu Dzarrin diberi tugas untuk menjaga kamar beliau setiap saat, terutama ketika keluar rumah. Kiai Mahalli mempunyai kamar khusus yang selalu dikunci setiap kali beliau keluar, baik mengaji, memenuhi undangan, maupun keperluan lainnya. Kamar beliau selalu dikunci. Tak seorang pun yang mengetahui isi kamar itu. Semua keluarga beliau dilarang untuk memasuki kamar tersebut dengan tanpa terkecuali, termasuk istri beliau sendiri.
Dengan sigap, Abu Dzarrin melaksanakan tugas menjaga kamar khusus Kiai Mahalli dengan penuh tanggung jawab. Hal ini beliau lakukan dengan penuh kehati-hatian. Dengan tanpa bertanya-tanya apa yang ada di dalam kamar tersebut. Selain merasa mempunyai tanggung jawab yang besar, ini adalah perintah guru dan kiai yang harus dilaksanakan secara maksimal.
Melihat Surga di Kamar Kiai Mahalli
Pada suatu hari Kiai Mahalli diundang untuk menghadiri sebuah acara di suatu tempat. Dengan sedikit tergesa-gesa, Kiai Mahalli keluar dari kamar beliau dengan tanpa mengunci kamar tersebut terlebih dahulu. Mungkin beliau lupa untuk menguncinya. Abu Dzarrin yang mengetahui hal itu, segera mengejar Kiai Mahalli. Akan tetapi, Kiai Mahalli terlampau jauh, sehingga tidak terkejar.
Karena sudah tidak mungkin untuk mengejar beliau lebih jauh, Abu Dzarrin pulang dan bermaksud untuk mengunci kamar Kiai Mahalli. Di tengah perjalanan pulang, terbesit rasa ingin tahu di hatinya, kenapa kamar itu selalu dikunci dan tidak diperbolehkan untuk dimasuki oleh siapapun.
Karena rasa penasaran ini, Abu Dzarrin memberanikan diri membuka kamar Kiai Mahalli. Dengan perlahan Abu Dzarrin membuka kamar yang sudah tak terkunci itu. Ketika pintu sudah terbuka dengan sempurna, Abu Dzarrin mencoba menyapu pandangan melihat-lihat seisi kamar.
Di sekililing kamar, ia hanya mendapati tumpukan-tumpukan kitab dan manuskrip kuno yang tertata dan berbaris rapi. Seakan tidak ada hal istemewa yang perlu dirahasiakan. Kamar itu tampak biasa.
Setelah merasa cukup melihat seluruh sudut kamar, Abu Dzarrin mendongakkan kepala melihat ke langit-langit kamar. Subhânallâh,betapa terkejutnya ia. Di langit-langit kamar itu terdapat pemandangan yang indah sekali. Elok tak terbayangkan. Ia tercengang. Ia melihat surga di langit-langit kamar Kiai Mahalli, kamar gurunya yang selalu terkunci.
Setelah kejadian itu, Abu Dzarrin merasa sangat menyesal. Dirinya selalu diliputi perasaan bersalah karena telah masuk ke kamar Kiai Mahalli tanpa izin. Ia termenung menunggu kedatangan Kiai Mahalli dengan penuh harap dan penyesalan.
Tatkala Kiai Mahalli rawuh (datang) dari undangan, Abu Dzarrin memberanikan diri untuk langsung menghadap beliau. Lalu, ia menceritakan semua yang terjadi dari awal sampai akhir dengan tanpa pengurangan dan penambahan sedikitpun. Abu Dzarrin meminta maaf kepada Kiai Mahalli atas kelancangan dan keteledorannya. Kiai Mahalli bersedia memaafkan kesalahannya dengan syarat Abu Dzarrin tidak boleh menceritakan apa yang ia lihat kepada siapapun, tanpa terkecuali. Abu Dzarrin baru menceritakan kejadian ini kepada keluarganya sesaat sebelum ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Hendak Diambil Mantu Kiai Mahalli
Atas peristiwa ini, Kiai Mahalli lalu bermaksud untuk menikahkan Abu Dzarrin dengan putrinya, Nyai Hanifah. Abu Dzarrin pun dipanggil untuk menghadap. Kiai Mahalli menyampaikan maksudnya itu kepada Abu Dzarrin. Akan tetapi Abu Dzarrin tidak bisa menerima tawaran dari kiainya tersebut.
Penolakan Abu Dzarrin ini bukan tanpa alasan. Ia menolak permintaan kiainya ini karena teringat akan pesan yang pernah dilontarkan ayahnya, “Kalau kamu mau dijadikan mantu oleh kiai Sidogiri, jangan mau.”
Selain itu, Abu Dzarrin merasa tidak pantas untuk dipersandingkan dengan putri kiai yang sangat ia takzimi. Dengan kata lain, ia takut cangkolang.
Satu kali penolakan Abu Dzarrin tidak lantas membuat Kiai Mahalli mengurungkan niatnya. Untuk kali kedua dan kesekian kalinya Kiai Mahalli mengutarakan keinginannya agar Abu Dzarrin bersedia menerima tawarannya untuk dijadikan menantu. Akan tetapi, jawaban yang keluar dari lisan Abu Dzarrin tetap sama: “Mboten, Yai (tidak Kiai).”
Membantu Kiai Mahalli Membasmi Jin
Abu Dzarrin adalah salah satu santri Kiai Mahalli yang diajak untuk membantu membasmi jin yang sering kali mengganggu para santri. Jin-jin yang menghuni Sidogiri berkeinginan agar para santri tidak kerasan dan pulang ke rumahnya masing-masing.
Pada suatu hari, Kiai Mahalli dengan dibantu Abu Dzarrin berperang melawan jin-jin tersebut. Setelah terlibat pertarungan sengit, para jin berhasil ditundukkan. Mereka tak mampu meladeni kesaktian Kiai Mahalli dan Abu Dzarrin. Mereka akhirnya kalah dan menyerah.
Kekalahan bangsa yang tak kasat mata itu tidak lantas membuat mereka terusir dari Sidogiri. Setelah mengangkat bendera putih, mereka memelas meminta kepada Kiai Mahalli agar tidak diusir dari Sidogiri. Kiai Mahalli menyetujui permintaan mereka dengan syarat tidak lagi mengganggu santri dan harus ikut mengaji. Sejak saat itu, para jin yang menetap di Sidogiri selalu mengikuti pengajian yang dibacakan oleh Kiai Mahalli, meski masih ada saja di antara mereka yang membangkang dan melanggar perjanjian.
Ditugas Mencari Batu Mustika
Kiai Mahalli menyampaikan penolakan Abu Dzarrin kepada istrinya, Nyai Hafshah, “Bagaimana Nyai, Abu Dzarrin itu selalu menjawab ‘tidak’ ketika aku tawari untuk menjadi menantuku. Jika begini terus, aku bisa marah. Dan apabila hal ini terjadi (marah kepada Abu Dzarrin), maka aku kasihan kepada Abu Dzarrin, takut ilmunya tidak manfaat.”
Kiai Mahalli lalu bercerita panjang lebar kepada Nyai Hafshah tentang masalah ini (penolakan Abu Dzarrin) sekaligus meminta solusi yang tepat. Nyai Hafshah kemudian memberi solusi, “Bagaimana kalau diberi tugas saja Kiai. Tugas yang membuatnya keluar dari sini (Sidogiri), tapi bukan berarti mengusirnya.”
“Tugas apa itu Nyai?” tanya Kiai Mahalli. “Kiai kan mempunyai mustika watu cemong (batu hitam)? Lemparkan saja batu itu sejauh mungkin dan perintahlah dia untuk mencarinya sampai ketemu. Insya Allah batu itu tidak mungkin bisa ditemukan olehnya.”
Usai menunaikan ibadah salat Magrib, Kiai Mahalli memanggil Abu Dzarrin untuk menghadap. Kiai Mahalli kemudian memberi tugas kepada Abu Dzarrin sesuai ide yang digagaskan istri beliau.
Setelah mustika itu dilemparkannya jauh-jauh, beliau berkata kepada Abu Dzarrin, “Carilah batu itu dan jangan kembali sebelum engkau menemukannya. Berangkatlah sekarang juga.” Dengan takzim, Abu Dzarrin berkata lirih, “Nggih, nyuwun pendungane, Yai… (Baik, minta doanya, Kiai).”
Dengan mengusung semangat sam’an wa thâ’atan, Abu Dzarrin berangkat mencari mustika itu. Ia mencarinya dengan penuh tanggung jawab. Tak ada rasa pesimis di kalbunya.
Setelah keberangkatan Abu Dzarrin, Kiai Mahalli merasa agak lega. Rasa emosi beliau meredup dan pada akhirnya lenyap dengan sendirinya
Akan tetapi, sebelum salat subuh, Abu Dzarrin sudah terlihat itikaf di Masjid (tempat istikamahnya) sebagaimana biasanya. Kiai Mahalli yang menyempatkan diri berkeliling pondok kala itu, mengetahui keberadaan Abu Dzarrin. Dalam benaknya, Kiai Mahalli berujar, “Bagaimana Abu Dzarrin itu, aku beri tugas malah tetap di sini. Apa maunya, apa dia tidak mengikuti perintahku?
Setelah salat subuh, Kiai Mahalli memanggil Abu Dzarrin dan ingin menanyakan perihal keberadaannya di Sidogiri.
“Abu Dzarrin, apa kamu sudah melaksanakan tugas yang aku berikan?” tanya Kiai Mahalli.
“Sampun, Yai (sudah, Kiai).”
“Kalau begitu mana batunya?”
“Ini batunya, Yai.”
“Di mana kamu menemukan batu ini?”
“Saya menemukannya di dusun Tugu, Kiai.”
Karena batu itu ditemukan di dusun yang jauh dari Sidogiri, Tugu, maka Kiai Mahalli memerintahkan Abu Dzarrin untuk tugas dan berdakwah di sana. Tentunya, agar masyarakat di sana lebih mengenal ajaran Agama Islam secara kâffah. Tepatnya, Abu Dzarrin menemukan batu itu di depan rumah Kiai Suryo (Mbah Suryo), Tugu, Grati.
Secara geografis, Tugu adalah salah satu dusun yang masuk dalam lingkup desa Kedawung Kulon, kecamatan Grati, Pasuruan. Mungkin karena letaknya yang berbatasan dengan Winongan, maka banyak yang berasumsi bahwa Tugu termasuk daerah yang berada dalam kawasan Winongan. Hal ini maklum adanya, selain akses masuk ke Tugu melewati pasar Winongan, juga karena masyarakat Tugu sering berinteraksi dengan penduduk Winongan.
Menikah dengan Anggas Sayid Sulaiman
Atas perintah Kiai Mahalli, Abu Dzarrin kembali ke tempat di mana ia menemukan mustika hitam itu. Di tempat itu, beliau menuturkan perihal kedatangannya kepada Mbah Suryo. Dengan senang hati Mbah Suryo menerima i’tikad baik itu.
Selama bertugas di Tugu, gerak-gerik dan aktivitas Abu Dzarrin diam-diam diperhatikan dengan seksama oleh Mbah Suryo. Dalam diri Abu Dzarrin, Mbah Suryo melihat banyak hal yang spesial dan istimewa. Mulai dari kealiman, kewaraan serta keistikamahan yang selalu menghiasi aktivitas sehari-hari Abu Dzarrin. Sehingga timbul kekaguman yang mendalam di hati Mbah Suryo terhadap sosok ‘guru tugas’ Kiai Mahalli ini. Akhirnya, Mbah Suryo berkeinginan untuk mengawinkan Abu Dzarrin dengan putri kesayangannya yang bernama Ashilah.
Dalam rencana pernikahan ini, pihak keluarga Abu Dzarrin tak ada yang mengatakan “tidak setuju”, termasuk ayahnya sendiri. Seakan semuanya sepakat akan pernikahan tersebut. Abu Dzarrin pun akhirnya menerima tawaran ini, karena dalam pesan yang pernah diwanti-wantikan ayahnya hanyalah larangan untuk menikahi putri kiai Sidogiri.
Istri Kiai Abu Dzarrin, Nyai Ashilah merupakan salah satu keturunan Sayid Sulaiman. Kiai Suryo, ayah Nyai Ashilah, adalah putra Sayid Amir Hasan bin Sayid Iskandar (Mbah Bungkul Surabaya) bin Sayid Ali Akbar bin Sayid Sulaiman Mojoagung Jombang pendiri Pondok Pesantren Sidogiri.
Santri yang Menjadi Pengasuh Sidogiri
Sepeninggal Kiai Mahalli, ada dua versi mengenai siapa yang menggantikan beliau menjadi pemangku Pondok Pesantren Sidogiri. Versi pertama mengatakan bahwa kepengasuhan setelah Kiai Mahalli dilanjutkan oleh KH Abu Dzarrin. Berlandaskan pendapat ini, berarti Kiai Abu Dzarrin adalah Pengasuh ke-4 Sidogiri, dengan urutan, (1) Sayid Sulaiman, (2) KH Aminullah, (3) KH Mahalli, (4) KH Abu Dzarrin, dan (5) KH Noerhasan bin Noerkhotim.
Menurut versi ini, selama menjadi pengasuh, Kiai Abu Dzarrin tidak menetap di Sidogiri. Beliau mengasuh Sidogiri dari dalem beliau di Tugu. Dengan begitu, Kiai Abu Dzarrin adalah satu-satunya pengasuh Sidogiri yang menetap di luar Sidogiri.
Selain satu-satunya pengasuh yang menetap di luar Sidogiri, beliau juga satu-satunya pengasuh yang tidak termasuk keluarga ataupun menantu kiai Sidogiri. Dengan kata lain, beliau merupakan satu-satunya santri ’murni’ yang kemudian menjadi Pengasuh Sidogiri.
Versi yang kedua menyatakan, bahwa Pengasuh ke-4 Sidogiri adalah KH Noerhasan bin Noerkhotim, santri asal Bangkalan Madura yang kemudian diambil menantu oleh Kiai Mahalli. Kiai Noerhasan dinikahkan dengan Nyai Hanifah, putri Kiai Mahalli yang sebelumnya hendak dinikahkan dengan Kiai Abu Dzarrin.
Menurut versi kedua ini, urutan kepengasuhan berubah menjadi, (1) Sayid Sulaiman, (2) KH Aminullah, (3) KH Mahalli, dan (4) KH Noerhasan bin Noerkhotim. Sementara Kiai Abu Dzarrin (menurut versi ini) tidak menjadi pengasuh Sidogiri.
Dari kedua versi ini, bisa disimpulkan bahwa kepengasuhan di Pondok Pesantren Sidogiri sampai generasi keempat (dan generasi kelima menurut versi kedua) bukanlah putra dari pengasuh sebelumnya. KH Aminullah, pengasuh kedua Sidogiri, adalah menantu Sayid Sulaiman yang kemudian menggantikan beliau menjadi pengasuh Sidogiri. Kepengasuhan kemudian dilanjutkan oleh KH Mahalli yang notabene juga bukan putra dari Kiai Aminullah. Lalu KH Abu Dzarrin atau KH Noerhasan yang juga bukan putra dari pengasuh sebelumnya, padahal putra Kiai Mahalli, Kiai Oerip Mahalli, waktu itu masih ada.
Dengan sistem kepengasuhan seperti di atas, di mana yang menjadi pengasuh tidak harus putra pengasuh sebelumnya menunjukkan bahwa: pertama, kepengasuhan sebuah pesantren tidak harus diperebutkan. Dan kedua, kepengasuhan jelas berbeda dengan sistem monarki dan kerajaan yang mewajibkan takhta harus diserahkan kepada putra mahkota.
Tidak ada keterangan yang jelas mengenai rentan waktu KH Abu Dzarrin menjadi pengasuh. Akan tetapi, diperkirakan masa kepengasuhan beliau di Sidogiri tidaklah lama. Karena, setelah beliau (menurut versi ini), Sidogiri diasuh oleh menantu pengasuh sebelumnya, KH Mahalli, yaitu KH Noerhasan bin Noerkhotim.
Sejarah kepengasuhan beliau ini, tidak diberitahukan kepada sanak familinya di Tugu. Sehingga, mayoritas keturunan beliau tidak tahu menahu bahwa Kiai Abu Dzarrin pernah menjadi Pengasuh Sidogiri. Sebab menurut cerita-cerita yang mereka (keturunan Kiai Abu Dzarrin) dapat secara turun-temurun, beliau hanya menjabat sebagai pengasuh di pondok Tugu.
Hal ini menunjukkan betapa mulianya sifat Kiai Abu Dzarrin dan betapa tawaduknya beliau terhadap Sidogiri. Meski telah didapuk menjadi pengasuh, beliau tidak mau menasbihkan diri sebagai pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
Merintis Pesantren Tugu
Kehidupan agamis terpancar dari aktivitas Kiai Abu Dzarrin dalam mengarungi bahtera rumah tangga, berinteraksi dengan masyarakat, dan berhubungan dengan pemerintah. Tak ayal, banyak warga sekitar yang menaruh simpati kepada beliau. Sehingga, mereka banyak yang menitipkan putra-putri mereka untuk menerima pendidikan agama dari Kiai Abu Dzarrin.
Mbah Dzarrin—begitu beliau dipanggil oleh masyarakat— sangat diharapkan kiprahnya dalam membina anak-anak kampung Tugu. Sebab waktu itu, putra-putri Tugu jarang yang dapat mengenyam pendidikan. Selain karena biaya pendidikan yang cukup tinggi, sekolah yang ada hanya diperuntukkan untuk kalangan ningrat dan para pejabat.
Antusiasme warga dalam menyambut Kiai Abu Dzarrin sangat tampak. Keinginan Kiai Abu Dzarrin untuk mendirikan pondok pesantren ditanggapi dengan senyuman oleh masyarakat sekitar. Mereka berlomba-lomba untuk menyiapkan bantuan yang bisa mereka berikan demi kelancaran pembangunan itu. Ada yang bersedia menyumbang tenaga, pikiran, dan bahkan materi. Pekarangan yang waktu itu dijadikan sebagai pesantren dan dalem Kiai Abu Dzarrin, juga merupakan hibah (pemberian) masyarakat setempat.
Akhirnya, pondok Kiai Abu Dzarrin berdiri tegar di desa Tugu. Desa terpencil yang dulunya hanya disesaki pepohonan rindang dan rumput ilalang sejauh mata memandang, kini menjadi desa asri nan Islami dengan kehadiran pesantren Mbah Dzarrin.
Satu demi satu santri datang ke Pondok Tugu—begitu masyarakat menyebutnya—untuk nyantri kepada Mbah Tugu—panggilan lain Mbah Dzarrin. Pesantren yang mulanya hanya dihuni beberapa orang santri—itu pun dari penduduk sekitar, kini menjadi pesantren bertaburkan santri.
Banyak santri Tugu yang berasal dari luar desa bahkan luar kota. Pesantren ini menjadi incaran pemuda-pemudi untuk dijadikan tempat menuntut ilmu. Mereka ingin thalabul-‘ilmi kepada ulama Pasuruan yang terkenal ‘allâmah dan waliyullâh, yakni KH Abu Dzarrin.
Lanjut Bagian Ketiga: kh-abu dzarrin santri yang menjadi pengasuh sidogiri bagian III selesai