Di tengah masyarakat kita, selain ada tradisi pembacaan tahlil setelah kematian ada penjamuan dari pihak keluarga duka yang diberikan kepada para jamaah. Pada biasanya, penjamuan ini dengan menu ala kadarnya, seperti teh, kopi atau makanan ringan lainnya. Meskipun ada pula yang terlihat mewah manakala tahlilan yang diadakan oleh keluarga yang mampu secara ekonomi. Dalam sebuah Hadis disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk membuatkan makanan untuk keluarga Jakfar bin Abi Thalib karena mereka sibuk
mengurusi jenazah Jakfar yang terbunuh di perang Muktah. Artinya, yang disunnahkan untuk memberi makanan dalah orangorang yang tidak berduka, bukan orang yang berduka. Nah, di sinilah akar masalahnya ketika
terbalik, justru yang berduka memberi makanan. Tujuan menyediakan makanan oleh keluarga duka ini ada dua kemungkinan; untuk mengundang orang agar bertakziah atau dengan suka rela memberi makanan terhadap mereka yang memang berniatan takziah. Dua tujuan ini tentu berbeda hukumnya; jika saat menyediakan makanan bertujuan agar orang orang bertakziah maka hukumnya makruh; jika menyuguhi orangorang yang bertakziah dengan niatan sedekah, apa lagi ada niatan untuk menghadiahkan pahala sedekah untuk yang meninggal, tentu hukumnya lain.
Syekh Abu Bakr Syaththa dalam kitab I’anah-nya mengatakan demikian, “Apa yang dibiasakan berupa penyediaan makanan oleh keluarga duka untuk mengundang orang-orang untuk mendatanginya, adalah bid’ah yang makruh sebagaimana mendatanginya mereka untuk hal itu. Sebab, ada Hadis sahih dari Jarir: “Kami menganggap pekumpulan di rumah duka dan membuat makanan setelah pemakaman adalah bagian dari ratapan.”
Menjelaskan perkataan ibn Jarir di atas, ash-Shan’ani dalam Subulus-Salam-nya mengatakan demikian, “Yang dimaksud dari Hadis sahabat Jarir ini adalah pembuatan makanan oleh keluarga duka untuk orang yang memakamkan di Antara mereka (pentakziah) dan dia hadir di tengah-tengah mereka sebagaimana kebiasaan di suatu daerah. Adapun bermurah hati pada mereka dengan membawa makanan maka tidaklah mengapa.”
Juga menurut ash-Shan’ani, malasan mengapa pembuatan makanan bagi mereka tidak diinginkan karena di antara hal yang dilarang oleh Rasulullah adalah ‘al-Uqr; menyembelih hewan di atas kuburan setelah pemakaman. Rasulullah bersabda, “Tidak ada penyembelihan hewan di atas kuburan (‘Uqra) dalam Islam” (H.R. Imam Ahmad dan Abu Dawud). Al-Khaththabi menceritakan, di antara kebiasaan orang-orang Jahiliyah dulu adalah menyembelih
unta di atas kuburan orang yang dermawan di antara mereka dan berkata, “Kami membalas atas apa yang ia telah lakukan, karena ia telah menyembelih unta di masa hidupnya dan memberi makan tamu-tamunya, dan kami menyembelih unta di atas kuburnya sampai hewan-hewan dan burung memakannya. Dengan begitu, ia tetap memberi makan setelah ia meninggal, sama seperti di masa hidupnya.” Sebab itulah, Rasulullah melarang praktik
semacam itu.
Dari ulasan ini dapat disimpulkan bahwa pembuatan makanan oleh keluarga mayyit tidaklah dilarang, paling banter berhukum makruh jika dengan alasan seperti di atas, apa lagi ada niatan untuk menghadiahkan pahala sedekahnya untuk si mayyit tentu akan lebih bermanfaat dan boleh. Hanya saja yang perlu diperhatikan saat akan mengadakan selamatan seperti tahlilan, pembiayaan tidak boleh diambilkan dari harta warisan yang belum dibagi sesuai dengan hukum Islam. Apalagi, di Antara salah satu ahli waris terdapat anak yang masih belum baligh, atau yang tidak normal akalnya. Sebab, di dalam harta tersebut masih terdapat hak orang yang tidak dianggap tasharruf-nya (pembelanjaannya).
Hal tersebut apabila yang meninggal tidak berwasiat agar ia diselamati menggunakan hartanya. Jika demikian, biaya tahlilan dapat diambil dari harta peninggalannya, walaupun terdapat anak yang masih belum baligh atau tidak normal akalnya, dengan syarat, biaya yang dikeluarkan tidak melebihi sepertiga dari keseluruhan harta warisan.
Juga dalam lingkup membuat makanan bagi pen-takziah ini, dalam sebuah Hadis diceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah bersama sahabat Anshar keluar ke pemakamanan seseorang. Beliau mengatakan kepada para
penggali kuburan: “Perlebar di bagian dua kaki, perlebar di bagian kepala.” Ketika Nabi pulang dari pemakaman, datang utusan seorang perempuan (isteri dari orang yang meninggal) dan mempersilahkan beliau untuk datang ke rumahnya. Rasulullah datang, dan beliau disuguhi makanan. Nabi mengambilnya, kemudian sahabat-sahabat mengambil juga.
Saat itu, beliau juga disuguhi daging kambing yang lantas berkata, “Aku temukan daging kambing yang diambil tanpa ada izin dari pemiliknya.” Akhirnya, perempuan tersebut menjelaskan duduk masalahnya bahwa ia
telah mengutus seseorang untuk pergi Baqi’, tempat penjualan kambing, dan memberikan uang untuk membeli kambing. Namun, utusan tersebut tidak menemukannya di sana. Kemudian diketahui, ada tetangganya yang
telah membeli kambing, dan ia menyuruh utusannya tersebut untuk mendatangi rumahnya, tapi tidak ia temukan pemiliknya. Yang ada hanyalah isteri pemilik kambing yang kemudian sang utusan mengganti uang pembelian
kambing kepada si isteri tanpa sepengetahuan suaminya. Mendengar itu, Rasulullah bersabda, “Kamu berikan kambing itu kepada para tawanan”. (H.R.Abu Dawud).
Meskipun Nabi tidak makan daging kambing suguhan perempuan tersebut, bukan berarti beliau mengingkari suguhan dari keluarga duka. Kenyataannya, beliau sudi datang dan makan. Konteks persoalan dalam
keengganan Nabi tersebut terkait dengan penghindaran Nabi dari makanan yang bernilai syubhat, tidak jelas kehalalannya. Seperti inilah yang dijelaskan oleh ‘Abdul Muhsin al-’Ubbad, dalam Syarh Sunan Abu Dawud. Wallahua’lam.
Penulis: M. Masyhuri Mochtar