Artikel

Santri dan Antri

Ketika bangun dari tidur qailulah, aku segera pergi ke kamar mandi, mengingat aku belum makan. Padahal satu jam lagi, bel sekolah berdering. Alangkah terkejutnya saat aku melihat lima kepala manusia menunggu di setiap jeding. Tanpa pikir panjang, aku pun ikut mengantri bersama lima orang itu. Meskipun aku tahu, antrian ini memakan waktu minimal 50 menit. Tapi hal ini bagiku adalah kebiasaan, mengingat statusku adalah santri. Jika kita teliti, kata ‘SANTRI’ secatra tekstualnya, maka kita menyimpulkan bahwasannya ‘SANTRI’ adalah gabungan huruf ‘S’ dengan kata ‘ANTRI’. Dari itulah, aku menyimpulkan bahwa santri itu harus antri.
Setelah kejadian tersebut, aku teringat akan update status kakakku di dumay (dunia maya) pada saat pulangan kemarin. Kurang-lebihnya begini, “Perbedaan antara pendidikan pesantren dengan lembaga lain adalah: Kalau pesantren pendidikannya 24 jam non-stop. Sedangkan lembaga lain pendidikannya hanya tiga jam pelajaran”.
Status ini menyiratkan bahwa pendidikan di pesantren itu lebih maksimal dari pada lembaga lain, baik dalam segi moralitas maupun ilmu pengetahuan. Karena jarang sekali di lembaga non-pesantren yang layak dibuat latihan untuk bersabar dalam melintasi lika-liku kehidupan. Seperti: antrian, desak-desakan, kiriman telat, rindu akan tanah airnya dan lain semacamnya yang sering terjadi di pesantren.
Aku jadi teringat tragedi seusai shalat Jumat dua minggu kemarin. Pada saat itu, saat aku hendak turun dari lantai dua, terjadilah saling dorong-mendorong antara ribuan santri, rebutan ingin lebih dahulu turun. Anehnya, teman saya malah berucap “Alhamdulillah!” berkali-kali. Lantaran penasaran, aku pun menanyakan alasannya. “Alhamdulillah! Aku ditakdirkan naik Haji! Buktinya, sekarang aku dilatih berdesak-desakan dengan ribuan orang, agar kelak di Masjidil-Haram tidak kaget!” Terangnya.
Hal itulah yang menyebabkan para alumni pesantren lebih lihai dalam mengatasi berbagai cobaan yang menimpanya, dari pada alumni lembaga non-pesantren. Oleh karena itu, tidak heran jika para santri lebih diidam-idamkan oleh gadis-gadis cantik melebihi para artis yang belum mencicipi ‘garam’ di pesantren.
Pernah kumembaca pepatah ulama dalam kitab Ihya’ Ulûmid-dîn “Kesabaran yang patut diberi apresiasi adalah kesabaran sesorang akan musibahnya—saking sabarnya—sahabat karibnya sendiri tidak tahu pada musibah yang dialaminya” kemudian ulama itu membahkan “Kita tidak akan sampai pada tingkat semacam itu kecuali apabila kita latihan ekstra”. Satu-satunya tempat untuk melatih kesabaran dalam menghadapi lika-liku kehidupan adalah pesantren. Karena di sanalah kita belajar mandiri dan istikamah.
Sedangkan di lembaga lain wa bil-khusus sekolah formal? Tanyakanlah pada diri sendiri!

Muhammad ibnu Romli/Sidogiri.net

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *