Prolog
Di zaman demokrasi seperti ini sangat mudah ditemukan seorang wanita memimpin sebuah institusi. Beberapa bupati dan wali
kota -di Jawa Timur khususnya- telah banyak diisi kaum hawa, pemerintah pusat, melalui undang-undang presiden, juga telah menetapkan setidaknya tiga puluh persen kursi anggota legislatif harus diduduki oleh kaum ibu, dan presiden kelima Republik Indonesia juga seorang wanita, Megawati Soekarnoe Poetri.
Sejenak, kalau dilihat dalam literature fikih klasik, kepemimpinan wanita merupakan perbuatan ilegal syar’i, karena dari sekian banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin adalah lelaki[1]. Dalam sebuah Hadis dijelaskan;
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً.[2]
“Tidak akan beruntung golongan yang memasrahkan urusannya pada wanita” (HR. al-Baihaqi)
Selain memang disebutkan dalam Hadis di atas, ada beberapa alasan yang melatar belakangi ketidak absahan kepemimpinan wanita. Pertama, wanita secara umum memiliki daya berpikir, kekuatan, dan keberanian yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sehingga, ketika wanita memimpin, sangat mungkin sekali rival politiknya yang seorang laki-laki dengan mudah menggulingkannya. Dalam al-Quran dijelaskan;
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ [النساء : 34]
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah swt telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)”. (QS. An-Nisa’ [04]:24)
Menurut Imam al-Baqa’i, ayat inilah yang mendasari kenapa seorang pemimpin haruslah laki-laki. Sebab yang dimaksudkan dengan kelebihan yang dimiliki kaum laki-laki adalah kekuatan, daya pikir, dan keberanian[3].
Kedua, wanita diperintahkan oleh agama untuk menutup diri dari orang-orang selain mahramnya, sedangkan pemimpin seharusnya sangat terbuka terhadap orang yang dipimpinnya untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Tentu, ketika wanita memimpin, dua aturan yang ditetapkan syariat ini sangat sulit untuk diterapkan. Ditambah lagi ketika seorang wanita sedang mengalami menstruasi ternyata menurut satu penelitian disebutkan bahwa daya berpikir mereka akan melemah.
Status NKRI
Sebelum kita membahas tentang keabsahan kepemimpinan wanita untuk konteks Indonesia, pertama kali yang perlu dibahas terlebih dahulu adalah status Republik Indonesia dalam pandangan fikih.
Menurut Syeikh Abdullah bin Umar bin Abi Bakar bin Yahya sebagaiman dikutip Habib Abdurrahman Ba Alawi dalam Bughyat al-Musytarsyidin menuturkan, setiap tempat dimana umat Islam pernah bebas dari kekangan kafir harbi, maka tempat tersebut adalah negeri Islam, meski kemudian kebebasan tersebut sirna disebabkan kepemimpinan berpindah pada orang kafir. Kemudian beliau dengan jelas menegaskan kalau sebagian besar tanah nusantara adalah negeri Islam[4].
Dengan begini, kiranya jelas status Republik Indonesia sebagai negara Islam, sehingga bagaimanapun aturan yang dianut tetap harus berasaskan syariat Islam. Namun yang perlu dibahas adalah, masihkah kepemimpinan wanita tidak sah untuk konteks keindonesiaan?
Sistem Demokrasi
Dalam syariat Islam ada tiga macam pengangkatan seorang pimpinan tertinggi yang bisa dianggap sah, 1). System Bai’at (pemilihan dari seluruh pemilik hak suara atau sebagian pemuka yang ditunjuk mewakili suara semua rakyat). 2). Penunjukan oleh pemimpin yang masih berkuasa. 3). Mendominasi kekuatan meskipun dengan cara mengkudeta[5].
Dari tiga macam system di atas tidak ada satupun yang sama dengan system demokrasi Indonesia, sebab dalam realitanya, meski pemilu telah menentukan pemenang, ternyata pengangkatan juga tetap menunggu surat keputusan pengangkatan pemimpin. Sedangkan dalam system bai’at, ketika suara rakyat telah memilih seorang pemimpin, maka pemimpin yang terpilih langsung sah menjadi seorang penguasa, meski tidak seluruh pemilik hak suara menggunakannya[6]. Sedangkan dalam system Istilâ’, kekuatan yang digunakan untuk merebut kekuasaan sudah harus dimiliki calon pemimpin ketika hendak merebut kekuasaan dari pemimpin yang berkuasa, bukan menggalang masa melalui pemilu. Sebab yang dimaksud syawkah adalah masa yang dipimpin oleh seorang penguasa dan mematuhi perintah dan ketetapannya[7]. Untuk system yang penujukan, jelas di Indonesia tidak dianut.
Akan tetapi jika kita melihat pada gambaran secara umum system pemilu Indonesia, yang paling mendekati adalah aturan pertama. Karena meski tidak secara total sama, paling tidak penentuan pemimpin dalam system pemilu diawali dengan suara rakyat. Tidak heran jika Dr. Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqhu al-Islami menggolongkan system suara rakyat dalam kategori Bai’at.[8] Namun dalam beberapa keputusan bahtsul masail diputuskan bahwa kepemimpinan di Indonesia tetap legal syar’i dan harus dipatuhi. Pendekatan yang dipakai adalah system Istilâ’ Bit Taghallub Bis Syawkah (mendominasi kekuasaan dengan kekuatan pendukung).
Dalam system istilâ’ bis syawkah, pakar fikih menyebutkan, bahwa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin tidak lagi seketat dalam dua system sebelumnya, bahkan dengan tegas Imam Ramli dalam Nihayatul-Muhtâj-nya mengatakan, meski yang mendominasi kekuatan adalah orang fasik dan bodoh sekalipun. Sebab system Istilâ’ memang pengecualian dari dua system lainnya.
Maka dari itu, jika mengacu pada hasil keputusan beberapa bahtsul masail ini sebagaimana juga pernah diputuskan dalam mu’tamar NU, maka kepemimpinan wanita untuk kontek keindonesiaan tetap sah dan harus dipatuhi. Toh kenyataannya tujuan dari disyariatkannya pengangkatan seorang pemimpin yang berupa penegakan amr ma’rûf nahi munkar, sebagaimana termaktub dalam kitab al-Imâmah al-Uzzma dan al-Fiqhu al-Islami, juga bisa tercapai dengan kepemimpinan wanita. Sebab, ketika perantara untuk mencapai suatu tujuan tidak bisa terlaksana secara maksimal, maka setidaknya bagaimana tujuan itu tetap terealisasi.
Bahkan dalam catatan kakinya terhadap kitab Nihâyatul-Muhtâj, Syekh Ali Syibromulaisi juga menyampaikan, jika dalam suatu daerah dikuasai oleh seorang pemimpin wanita, maka kebijakan dan pengangkatan yang ditetapkan tetap sah dan harus dipatuhi, sebab kondisi yang seperti ini adalah keniscayaan (dharurat) untuk melestarikan kemaslahatan umat manusia[9].
Epilog
Walhasil, untuk kontek keindonesiaan, kepemimpinan wanita tetap dianggah legal syar’i, sebab kondisi memang menjadi tuntutan. Meski tentunya kepemimpinan pria tentu lebih baik dan ideal. Sehingga, kiranya masyarakat lebih selektif dalam menentukan pemimpin, jika masih ada calon pria yang layak, memilih calon pria tentu tetap lebih baik.
[1] Syarat seorang pemimpin tertinggi (Imam A’dzam) dalam syariat Islam ada sembilan: Muslim, laki-laki, merdeka, berkebangsaan Qurays, mujtahid, pemberani, berpikiran normal, tidak buta dan tidak tuli. Sarat seorang Qhadli juga seperti sarat pemimpin tertinggi. Lihat: Minhaj at-Thalibin, karya Imam Nawawi. Hal: 131.
[2] Lihat, as-Sunan al-Kubro Lil Baihaqi, Hadis No 5332.
[3] Al-Baqa’i, Ibrahim bin Umar bin Hasan ar-Ribath. Nadzm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat was-Suwar. Juz: 2, hal: 204. Versi Maktabah Syamilah. Kandungan ayat ini menyikapi perbandingan wanita dan laki-laki secara fitrahnya, sehingga tidak menutup kemungki ditemukan seorang wanita yang kekuatan, daya berpikir, dan keberaniaannya melebihi seorang pria. Sebab menurut pakar gramatika arab, “al” yang ada dalam kata ar-Rijal dan an-Nisa’ dalam ayat tersebut memang menunjukan Hakikatul Jinsi (fitrah jenis wanita dan pria) bukan menunjukkan Istighraq al-Jinsi (mengena semua individu).
[4] Ba Alawi, Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar. Bughyat al-Mustarsyidin. Hal: 541. Dar el-Ffikr, Beirut Lebanon.
[5] Ibid. hal 526.
[6] Al-Anshari, Syeikh Zakariya. Asna al-Mathalib, juz: 04, hal: 109. Dar el-Kutub al-Ilmiyah, Beirut Lebanon, 2000 M.
[7] Lihat, Bughyat al-Mustarsyidin.
[8] Lihat, al-Fiqhu al-Islami.
[9] As-Sibromulaisi, Syeikh Ali, Hasiyah as-Sibromulaisi Ala Nihayat al-Muhtaj. Juz: 19, hal: 40. Versi Maktabah Syamilah.