Tempo bulan, Pesantren kita sukses menyajikan pesta tahunannya dengan mengusung tema, Beragama, Berbangsa, dan Bernegara. Tentu hal ini masih amat segar dalam molekul ingatan kita, bahkan kemungkinan besar banyak di antara kita yang telah lekat memahami, atau mungkin amat getol menghafal arti dan filosofi dari tema tersebut; adalah mengkader generasi muda agar bisa mengemban tugas mulia, yakni mampu mengawinkan pokok-pokok penting agama dengan prinsip bernegara dengan baik. Sehingga dari sisipan tujuan tersebut, lahirlah generasi unggulan yang memiliki pribadi yang tangguh, kuat dan produktif, serta taktis mengorelasikan bidang Agama dan Negara dalam bermasyarakat.
Namun ironisnya, teori hidup yang bagus ini hanya nampak elegan dari sudut pandang ‘desain-grafis’ ikhtibar saja. Akhirnya, tujuan utama menyisipkan teori hidup bagus ini menjadi kabur dan lebur. Sebab pasca perayaan dan usainya perhelatan, apalagi saat liburan, teori sebagus itu tidak langsung dibarengi dengan pengaplikasian yang diharapkan. Oleh karenanya, santri yang selayaknya menjadi mentari kecil yang dapat menyinari siraman etika pada masyarakat, malah ikut-ikutan tercebur dalam kubangan etika yang telah berkarat. Ironisnya, mereka justru bangga mengumbar etika buruknya dengan bebas tanpa sekat. Kendati ada sebagian mereka yang tetap menjunjung tinggi etika luhur yang diperoleh di pesantren. Serta merasa risih melihat sebagian kawan sejawatnya yang tanpa malu meng-expose luas perilaku buruk dan tak senooh.
Hal itu sebagaimana yang terjadi saat liburan kemarin, dalam hal ini penulis kerucutkan contohnya pada satu aplikasi yang -menurut hemat penulis- sempat lumer di lidah untuk tetap diperbincangkan. Tersebab aplikasi ini bukan hanya tidak layak dikonsumsi oleh khalayak santri, melainkan juga merembet pada khalayak publik. Akibatnya, bukan hanya aplikasinya yang goblok, bahkan pengguna pun terjangkit virus goblok, dan malah marak kita dapati dari mereka yang nyaris gila.
Bisa jadi, awalnya mereka hanya coba-coba. Tapi lambat-laun dengan berputarnya denting jam, mereka malah asyik tersenyum lepas merekam aksinya, hingga akhirnya semakin terjerumus ke dalam lembah keterpurukan. Dan kian waktu berpacu membikin video kocak. Tak sadar, bahwa dirinya masih dalam barisan orang-orang yang -boleh dikata- etikanya masih murni tak terkontaminasi. Mengingat etika di luar sana sudah amburadul.
Mirisnya lagi, tak jarang dari mereka yang terang-terangan membagikan hasil videonya ke ruang publik, contoh gampangnya; di dinding sosial media, mulai dari akun facebook dan semacamnya. Lebih dari itu, ada sebagian dari video mereka yang melampaui batas seyogyanya, “goyang dua jari” yang dipraktekkan saat salat. Mereka berpura-pura salat lalu goyang dua jari tanpa harus malu. Sialnya, ketika diperingatkan, mereka malah tertawa cengengekan ketimbang harus memasang telinga untuk sekadar mendengarkan.
Klimaksnya, bukan hanya aplikasi dan penggunanya yang dianggap bodoh, melainkan juga almamater yang mereka kenakan. Padahal telah gamblang bahwa yang salah bukan almamaternya, tapi kedunguan mereka yang tidak peka pada apa yang seharusnya mereka lakukan.
Penulis: Khoiron_Abdullah salah satu Redaksi Majalah Dinding (Mading) Madinah.