Artikel

Mengapa Islam Lahir di Arab?; Analisis Sejarawan Kontemporer (Bag-2 Selesai)

Penulis: Badrus Sholeh

Pada artikel sebelumnya sudah dijelaskan bagaimana kondisi Bangsa Arab, ditinjau dari berbagai aspek kehidupan, dibandingkan bangsa-bangsa lain seperti Persia, Romawi, dan India, yang telah ada sejak pra Islam. Selanjutnya, tulisan kali ini akan menampilkan beberapa hasil analisis sejarawan kontemporer sebagai jawaban atas pertanyaan besar: Mengapa Bangsa Arab terpilih menjadi tempat kelahiran Islam?. 

Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri

Bangsa Arab memiliki banyak karakter mulia seperti dermawan, tepat janji, menjaga harga diri, menjauhi kehinaan  dan kelaliman, berkemauan kuat, lemah lembut, murah hati, penyayang, dan polos. Akhlak-akhlak mulia inilah yang menjadi faktor terpilihnya Bangsa Arab sebagai pengemban risalah universal, pemimpin umat manusia dan pembimbing masyarakat. Akhlak-akhlak ini–sekalipun sebagiannya mengundang keburukan–pada esensinya merupakan akhlak yang berharga yang mengalirkan kemanfaatan-kemanfaatan umum bagi masyarakat  setelah ia mendapatkan perbaikan dari  Islam.[1]

Ali al-Hasani an-Nadawi

Allah memilih Bangsa Arab sebagai generasi pertama penerima dakwah Islam untuk kemudian menyebarkannya ke penjuru daerah lainnya, karena hati mereka masih jernih, belum tertulis pemahaman-pemahaman rumit yang sulit dihapus, sebagaimana masyarakat Persia, Romawi, dan India, yang maju dan cemerlang dalam peradaban keilmuan serta filsafat yang luas. Mereka semua telah terikat pemikiran dan kejiwaan yang tidak mudah dilepaskan.

Adapun hati Bangsa Arab hanya terisi tulisan-tulisan sederhana hasil tangan kebodohan dan nomaden, yang sangat mudah dihapus dan dibersihkan, untuk kemudian diganti dengan tulisan-tulisan baru. Secara keilmuan Bangsa Arab tergolong al-jahlu al-Basit yang mudah diobati. Sedangkan bangsa lain yang telah berperadaban tinggi tergolong al-Jahlu al-murakkab yang sulit dihilangkan dan diobati. 

Di samping itu, mereka adalah bangsa yang masih murni dan selalu berkeinginan kuat. Memang, ketika mereka tidak mampu memahami sebuah kebenaran, mereka akan memeranginya. Tapi, jika tabir penutup telah tersingkap dari mata mereka, mereka akan mencintai, memeluk, dan mati-matian untuk mencapainya.[2]

Sa’id Ramadlan al-Buthi

Hikmah terpilihnya Bangsa Arab sama dengan hikmah dijadikannya Rasulullah r seorang umi, agar manusia tidak ragu terhadap risalah kenabian dan dakwahnya. Adalah kesempurnaan hikmah Ilahiyah jika Rasulullah r diutus kepada Bangsa Arab yang waktu itu adalah masyarakat umi. Mereka belum terkontaminasi sama sekali oleh peradaban-peradaban tetangganya. Sistem pemikiran mereka masih jernih dari filsafat-filsafat membingungkan yang ada di sekitarnya.

Tentu akan timbul keraguan (skeptis) di dada manusia, apabila Rasulullah r pandai baca-tulis dan akrab dengan kitab-kitab, sejarah umat terdahulu, dan peradaban negara-negara sekitarnya. Sebagaimana akan menimbulkan keraguan apabila dakwah Islam muncul di tengah-tengah umat yang berperadaban, berbudaya dan bersejarah seperti Persia, Yunani, atau pun Romawi. Mereka yang ragu dan menolak akan menuduh bahwa dakwah Islam tak lain adalah mata rantai pengalaman budaya dan pemikiran filsuf yang akhirnya melahirkan peradaban yang unik dan perundang-undangan yang sempurna.

Al-Qur’an telah menerangkan hikmah ini dengan ungkapan yang sangat jelas dalam firman Allah I yang artinya: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. AI-Jumu`ah [62]; 02).

Allah menghendaki Rasul-Nya sebagai seorang umi dan kaum tempat terutusnya sebagai kaum yang mayoritas umi, agar mukjizat kenabian dan syariat Islam menjadi jelas dalam jalan pikiran dan tidak kabur dengan dakwah lain yang bermacam-macam. Jelas, ini semua merupakan rahmat yang besar bagi hamba-Nya.[3]

Hikmah-hikmah lain yang menjadi alasan terpilihnya Arab sebagai tempat kelahiran Islam menurut banyak peneliti adalah sebagai berikut:

  1. Rumah Ibadah Pertama

Allah I telah menjadikan baitul-haram sebagai tempat yang memberikan ketenteraman dan pusat pertemuan manusia. Allah I juga telah menjadikannya sebagai rumah ibadah pertama dan tempat tegaknya syiar-syiar agama. Dan di Jazirah Arab lah Allah I mengutus Nabi Ibrahim u, ayah para nabi. Maka, sebagai kelazimannya daerah ini dengan sendirinya menjadi pembuka jalan bagi dakwah Islam, yang merupakan agama Nabi Ibrahim u, dan menjadi tempat kelahiran dan terutusnya Nabi Muhammad r yang masih keturunan Nabi Ibrahim u.

  1. Posisi Strategis

Secara geografis Jazirah Arab adalah wilayah yang memiliki posisi strategis bagi penyebaran dakwah Islam. Sebab, ia terletak di antara daerah-daerah yang sepanjang sejarah menjadi pusat peradaban manusia. Tentu, ini sangat membantu dan mempermudah penyebaran dakwah Islam ke berbagai bangsa dan negara lain di sekelilingnya. Dan, jika melihat sejarah perjalanan dakwah Islam, maka hal ini sangat tampak ketika masa-masa awal dan masa Khulafaurrasyidûn.

  1. Bahasa Terkaya

Karena faktor bahasa, maka Allah I telah memilih bahasa Arab sebagai bahasa dakwah Islam dan menjadikannya sebagai alat utama untuk menerjemahkan kalamullah serta menyampaikannya. Dan, jika diteliti bahasa Arab ternyata memiliki banyak keistimewaan dibandingkan bahasa-bahasa lain, sehingga menjadikannya sebagai bahasa paling unggul. Sudah selayaknya jika bahasa Arab menjadi bahasa utama umat Islam di tengah-tengah kemajemukan negara mereka.

Dari analisis-analisis di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hikmah di balik terpilihnya Bangsa Arab sebagai tempat kelahiran Islam adalah keistimewaan-keistimewaan yang dimilikinya dibanding bangsa-bangsa lain yang ada waktu itu. Keistimewaan-keistimewaan itu tentu saja memiliki makna tersendiri yang jika diartikan setidaknya adalah segala hal yang mendukung kelancaran dan kemudahan dakwah Islam. Karena itu, terkadang keistimewaan tersebut justru berupa kekurangan dan ketertinggalan, tidak melulu berupa kemajuan atau kehebatan.[]

Catatan:

[1] Ar-Rahiqul al-Makhtum, karya Syaikh Shafiyyur-Rahman al-Mubarakfuri, hal. 52, Darul Hadis.

[2] As-Sirah an-Nabawiyah, Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, hal. 42-43, Darusy-Syuruq, cetakan ke-08

[3] Fiqhus-Sirah, karya Said Ramadlan al-Buthi, hal.30

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *