Artikel

Logika Liar Dalam Menalar al-Quran

Al-Quran adalah kalam Allah  yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia. Sebagai kalam Allah  yang notabene berbeda dengan kalam manusia, tentu hanya Dialah satu-satunya yang paling mengerti maksudnya. Sebagai petunjuk hidup, tentu manusia harus berupaya memahaminya dengan pemahaman yang mendekati pemiliknya. Pada konteks seperti inilah, tafsir atas ayatayat al-Quran diperlukan.

Dalam perspektif ‘ulûmul-Qur’ân, setidaknya ada dua terminologi penafsiran yang sering digunakan yaitu tafsir bil-ma’tsûr dan tafsir bir-ra’yi. Tafsir bil-ma’tsûr diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat; yakni tafsir al-Quran dengan al-Quran, Hadis, pendapat Shahabat, atau tabi’in. Sedangkan tafsir bir-ra’yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan al-Quran dengan ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi nalar akal. Menurut adz-Dzahabi, tafsir bir-ra’yi adalah suatu upaya untuk menafsirkan dengan ijtihad setelah memahami ujaran-ujaran orang Arab, lafal-lafal orang Arab beserta maksudnya, syair-syair Jahiliyah, asabâbun-nuzûl, nasakh dan mansukh dari ayat-ayat al-Quran dan sebagainya yang dibutuhkan dalam penafsiran al-Quran (at-Tafsîr wal-Mufassirûn,I/225) Dari definisi ini dapat diketahui bahwa tafsri bir-ra’yi adalah sebuah corak penafsiran yang dilakukan dengan mengembangkan nash-nash al-Quran melalui perangkat-perangkat kontekstual dengan memaksimalkan fungsi akal (ijtihad). Tafsir bir-ra’yi dibedakan menjadi dua macam: al-mamdûh (terpuji) dan al-madzmûm (tercela). Tafsir bir-ra’yi yang dianggap terpuji yaitu tafsir yang sesuai dengan tujuan pembuat hukum (Allah ), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sejalan dengan kaidahkaidah bahasa Arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa Arab dalam memahami nash al-Quran. Barang siapa menafsirkan al-Quran menurut logikanya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut, serta berpegang pada makna-makna al- Quran, maka penafsirannya dapat diterima dan patut dinamai dengan tafsir bir-ra’yi al-mamdûh, Contohnya:

وَمَنْ كَانَ فِْ هَدِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِ الاَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيْلاً

Barangsiapa yang buta (hati) di (dunia) ini, niscaya akan buta pula di akhirat dan lebih sesat jalannya”. (QS. Al-Isra’: 72)

Orang yang tidak paham akan berpendapat bahwa setiap orang yang buta akan mengalami nasib celaka, rugi, dan masuk neraka. Padahal yang dimaksudkan buta di sini bukanlah buta mata, melainkan buta hati berdasarkan firman Allah  yang berbunyi:

فَإِنَّهَا لاَ تَعْمَى اْلاَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى اْلُقُلُوْبُ الَّتِيْ فِ الصُّدُوْرِ

Sesungguhnya mereka bukanlah buta mata, tetapi buta hati yang dalam dada “. (QS al-Haj:46) (Ikhtisar UlumulQur’an, Syekh Muhammad Ali Ash- Shabuni, hlm. 254)

Tafsir bir-ra’yi dianggap tercela bila menafsirkan al-Quran menurut selera penafsir sendiri, di samping tidak mengetahui kaidah bahasa dan hukum, atau membawa fi rman Allah  kepada mazhabnya yang menyimpang atau rusak, atau kepada bid’ah tercela, atau mendalami fi rman Allah  dengan ilmunya tapi tidak mengetahui kaidah bahasa Arab, maka tafsir model ini ditolak. Berikut contohnya:

يَوْمَ تَدْعُوْ كُلَّ أُنَاسِ بِإِمَمِهِمِ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَبَهُ

بِيَمِيْنِهِ فَاُلَئِكَ يًقْرَئُونَ كِتَبَهُمْ وَلاَيَظْلَمُوْنَ فَتِيْلاً

“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya, dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka

tidak dianiaya sedikitpun.” (QS al-Isra’:71) Orang yang gagal paham menjelaskan maksud kata “imâm” dengan “ummahât”, padahal maknanya sangat berbeda. Dia menduga bahwa kata “imâm” adalah bentuk plural (jamak) dari kata “um” padahal tidaklah demikian menurut bahasa Arab, karena bentuk plural (jama’) dari “um” adalah “ummahât”, sesuai dengan firman Allah  berikut:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَأَخَوٰتُكُم

وَعَمَّاتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنَاتُ الَْخِ وَبَنَاتُ

اْلاُخْتِ وَأُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِ أَرْضَعْنَكُمْ

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan: saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudarasaudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu” (QS. an-Nisa: 23) Jadi tidak ada dalam nash al-Quran yang menyebut bentuk plural (jama’) “um” menjadi “imâm” karena hal ini merusak secara bahasa maupun hukum. Yang dimaksud “imâm” di sini adalah nabi yang diikuti oleh para pengikutnya. Di antara contoh Tafsir birra’yi yang bermasalah adalah ketika menafsiri al-Quran surat al Ahzab ayat ke 59:

يَأَيُّهَا ٱلنَّبُِّ قُلْ لَِّزْوجِٰكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ

الْمُؤْمِنِيَْ يُدْنِيَْ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلٰبِيْبِهِنَّ ذٰلِكَ أَدْنىٰ

أَنْ يعُْرَفْنَ فَلَ يُؤذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan istri-istri orang-orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya kedeluruh tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal maka mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian di manapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kriterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, maka hukumnya adalah sama sesuai. Jelas penafsiran seperti ini liar dan menyalahi perintah syariat yang mengharuskan wanita berhijab dalam situasi dan kondisi apapun.

Alil Wafa/Sidogiri Media

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *