Artikel

Meragukan Hasil Ijtihad Ulama!

“Sesungguhnya, Turats ini berada di antara tiga macam pembunuh yang berbahaya, yaitu: orang yang benci yang membunhunya dikarenakan kedegkiannya, orang bodoh yang membunuh dengan melakukan distorsi, dan orang yang menerimanya yang membunuh karena salah dalam memahaminya.”

Perkembangan keilmuan dewasa ini telah mengantarkan seseorang untuk berani membuka ruang yang biasanya terlihat sakral, terutama bagi kalangan pesantren. Pasalnya, ada sebagian Cendekiawan Muslim yang masih mempertanyakan otensitas dan orisinalitas Turats (peninggalan ulama salaf) yang telah mengakar dan menjadi sumber rujukan umat Islam sejak ribuan tahun yang silam. Menurutnya kitab-kitab kuning yang biasanya diajarkan di pesantren perlu dikaji ulang kebenarannya. Tambahnya, kita tidak wajib mengikuti rumusan-rumusan hukum yang telah dibuat oleh ulama, kitab umat Islam hanya ada dua: al-Qur’an dan Hadis, selebihnya tidak wajib diikuti.

Menolak Turats berarti sama halnya menolak hasil ijtihad para ulama. Sedangkan menolak hasil ijtihad maka seolah ia mengaku lebih alim dari Rasulullah e yang telah menerima dan memperkenankan umatnya untuk melaksanakan dan menerima hasil ijtihad. Sedangkan usaha untuk mengkaji ulang, menyeleksi dan menyelidiki otensitas dan orisinalitas karangan ulama salaf merupakan fenomena yang sebenarnya telah menjadi perbincangan hangat di kalangan para intelektual Islam sejak  ratusan tahun yang silam. Ringkasnya, ada dua pandangan yang saling berlawanan dan ekstrem.

Pertama, golongan ini menganggap bahwa Turats merupakan sesuatu yang sakral sehingga tidak boleh dikritik, atau dipertanyakan validitasnya. Golongan ini mewajibkan untuk mengambil peninggalan salaf secara keseluruhan dengan tangan terbuka dan kepasrahan.

Kedua, golongan yang menganggap bahwa turats merupakan sesuatu yang debatable (masih bisa didebat), mengingat Turats hanyalah hasil produksi manusia yang sama sekali tidak memilki ishmah (jaminan kebenaran) sebagaimana yang dimiliki oleh Rasulullah e, sehingga kesalahan merupakan hal yang sangat mungkin terjadi di kalangan para ulama. Kecuali hasil produksi hukum yang telah disepakati oleh para ulama secara aklamasi (ijma’), maka dalam konteks seperti ini, Turats tidak boleh tidak, harus diakui dan diterima keabsahaannya. Sebab Ishmah memang tidak diberikan kepada umat manusia secara individual akan tetapi diberikan kepada umat manusia secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang utuh. Karena umat ini tidak akan berkumpul untuk melakukan sesuatu yang menyesatkan[1].

Sejak dulu tradisi kritik antara para ulama sudah ada. Semisal kritik ulama terhadap seorang yang menjelaskan keutamaan salat sepanjang hari dan malam, salat hari Ahad, Senin, Selasa, dan salat Jum’at pertama bulan Rajab, yang ternyata tidak memilki tingkat akurasi argument yang kuat. Demikian juga kritik Imam Ibnu Taimiyah terhadap hadis tentang keutamaan salat Tasbih, yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, padahal tentang hadist ini tidak seorangpun di antara empat Imam Madzhab yang meriwayatkannya. Bahkan Imam Ahmad menganggap bahwa Hadis ini adalah Hadis Dhoif, dan salat ini tidak dianjurkan. Ibnu Mubarak Mengatakan bahwa salat tersebut tidak seperti salat yang didasarkan pada riwayat marfu’ yang berasal dari Nabi, karena dalam salat Nabi tidak terdapat bagian duduk yang panjang setelah sujud yang kedua, hal ini menyalahi kaidah-kaidah yang dibenarkan[2]. Pendapat yang serupa juga pernah dinyatakan oleh Imam Nawawi walaupun kritik ini kemudian ditanggapi oleh para ulama salaf[3].  

Termasuk orang yang berani mengkrtitik peninggalan ulama salaf adalah Imam Asy-Syathiby, dalam kitab Al-I’tisham-nya, ia berkomentar: “mereka keberaadan kaum sufi pun demikan adanya, sebagaimana ulama-ulama yang lain, di mana tidak seorangpun dari mereka yang memilki I’tisham. Kerenanya mereka sangat mungkin untuk melakukan kesalahan, lupa atau melakukan maksiat, baik yang besar atau yang kecil. Tegasnya, setiap apa yang mereka lakukan tidak bisa lepas dari perkara tersebut (kesalahan dan lupa). Oleh karena itu para ulama berkata setiap perkataan boleh diambil atau ditinggalkan kecuali yang datang dari perkataan Rasulullah e.”[4].

Sikap Bijak

Terlepas dari dua pandangan yang sangat kontras ini kita harus bisa bersikap bijak dan proporsional. Dalam masalah ini bersikap moderat barangkali merupakan pilihan yang tepat, agar tidak mudah terjebak dalam pergulatan dua pandangan yang sama-sama ekstrem ini. Menjauhi sikap fanatisme agar terhindar dalam kultus terhadap golongan tertentu. intinya, kita tidak boleh terlalu berlebihan mensucikan peninggalan salaf  dan juga tidak terlalu berlebihan meremehkannya. Al-Hasan berkata, “Agama ini sirna, dikarenakan orang-orang yang terlalu berlebihan dalam beribadah dan  orang  yang terlalu menganggap enteng”.

Kita harus mengakui Turats merupakan kekayaan yang sangat berharga yang harus kita ambil manfaatnya walaupun dengan tanpa menutup pintu kritik dan saran. Tidak ada larangan bagi seseorang yang merasa telah mampu untuk melakukan tarjih, seleksi, untuk mengkaji otensitas peninggalan ulama salaf selagi dengan tujuan yang benar, serta menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Abdullah Bin Abbas berkata: “Setiap orang perkataannya boleh diambil dan boleh ditinggalkan kecuali perkataan Nabi e.”[5] Sebagian ulama salaf mengatakan “segala sesuatu yang datang dari Rasulullah e akan kami terima dengan tangan terbuka, segala sesuatu yang datang dari para sahabat sebagian kami ambil, sebagian kami tinggalkan, sedangkan apa yang datang dari tabi’in maka mereka adalah manusia kami pun juga manusia”.  Menurut satu riwayat, adalah pernyataan dari Imam Abu Hanifah.

Dalam rangka memahami ajaran Islam yang sarat dengan ilmu pengetahuan seyogyanya kita memang harus bisa membedakan antara teks ketuhanan (Al-Wahyu Al-Ilahy) dengan Turats hasil karya pemahaman manusia (Al-Turats Al-Basyary).  Segala sesuatu yang berasal dari teks ketuhanan baik berupa al-Qur’an atau Hadis yang Shahih, dan memilki konotasi yang jelas, di mana tidak mendapat sanggahan dari syariat maupun akal, maka kita wajib untuk tunduk dan mengikutinya.

Adapun yang termasuk dalam kategori hasil pemahaman manusia terhadap teks ketuhanan  tersebut baik dari al-Qur’an ataupun Sunnah, maka tidak ada larangan untuk menyeleksinya, sekadar untuk mengambil rumusan hukum yang mempunyai mata rantai yang jelas dan meninggalkan produk hukum yang tidak mempunyai tendensi yang kuat. Asalkan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati, bukan karena menuruti hawa nafsunya dan melakukan perbuatan zalim, Karena hal yang demikian hanya akan membawa kita kepada kesesatan.  Allah I berfirman: Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Qashash [50] ).

Namun jika pendapat tersebut datang dari seseorang yang Alim, yang sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya, dan dapat dipercaya dalam kapasitas keilmuan dan pemahaman agamanya, maka kita tidak boleh menolaknya begitu saja, akan tetapi sedapat mungkin pendapatnya diterima sebagai sesuatu pendapat yang baik, karena orang yang sudah mencapai tingkatan semacam ini, kemungkinan untuk melakukan kesalahan sangatlah minim, kecuali kesalahan yang di luar kesadaran dan kemampuan manusia. Dan kesalahan semacam ini masih dimaklumi oleh syariat Islam.

Atas dasar ini, bersikap positif thinking harus kita kedepankan dalam menilai hasil nalar ulama salaf, dengan mencarikan jalan keluar untuk menakwilkan perkataannya yang terlihat kontroversial dengan takwil yang pantas, kedudukan dengan reputasinya. Kecuali apabila pendapatnya jelas bertentangan dengan Nash Sharih (teks yang jelas) dan tidak bisa diterima secara akal maupun syara’ maka tidak ada alasan untuk meninggalkannya. Seperti hasil ijtihad Ibnu Hazm dan Dawud ad-Dzahiri.

Sampai di sini, kendati pintu kritik terhadap Turats terbuka, hal ini bukan berarti terbuka untuk semua orang, sebab ‘aktivitas kritik’ hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang sudah memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni (Mujtahid Tarjih), bisa memahami makna dalam Nash sesuai dengan metodologi yang telah disepakati, mampu menyaring antara hadis yang bisa diterima dan tidak, dan peralatan pengetahuan lainnya.

          Sementara untuk tingkatan orang awam maka sama sekali tidak ada ruang bagi mereka untuk melakukan aktivitas ‘berbahaya’ ini. Bahkan wajib baginya mengikuti pendapat ulama-ulama salaf tanpa ada tuntutan harus mengetahui sumber aslinya dan metodologi yang digunakan.[6] Allah I berfirman :

فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Artinya: “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS: An-Nahl:43).

 

 

Oleh: Ahmad Zaini Aly, santri Sidogiri asal Bangkalan

 

[1] H. Ahrul Tsani Abd. Rahman LC, H. Muhtadi Abd. Mun’im LC, Bagaimana Kita Berinteraksi Dengan Peninggalan Salaf, Hlm, 57, cet, Pustaka Al-Kautsar, thn, 2003

[1] Ibid 50.

[1] Syekh Zakariya al-Anshary, asy-Syarqawy ‘Ala at-Tahrir, hlm, 307, cet, al-Haramain,

[1] Opcit, Bagaimana Kita Berinteraksi Dengan Peninggalan Salaf, hlm,46

[1] Ibid 57

[1]Al-Usul min ‘Ilmi al-Usul, 1/86, versi Maktabah Syamilah.

 

[1] H.Ahrul Tsani Abd.Rahman LC, H. Muhtadi Abd. Mun’im LC, Bagaimana Kita Berinteraksi Dengan Peninggalam Salaf, Hlm, 57, cet, Pusataka Al-Kautsar, thn, 2003

[2] Ibid 50.

[3] Syech Zakariya Al-Anshary, Asy-syarqawy ‘ala at-Tahrir, hlm, 307, cet, Al-Haramain,

[4] Opcit, Bagaimana Kita Berinterakadi Dengan Peninggalan Salaf, hlm,46

[5] Ibid 57

[6]Al-usul min ‘ilmi al-usul, 1/86, versi Maktabah syamilah.

Shares:
Show Comments (1)

1 Comment

  • […] Kedua, golongan yang menganggap bahwa turats merupakan sesuatu yang debatable (masih bisa didebat), mengingat Turats hanyalah hasil produksi manusia yang sama sekali tidak memilki ishmah (jaminan kebenaran) sebagaimana yang dimiliki oleh Rasulullah e, sehingga kesalahan merupakan hal yang sangat mungkin terjadi di kalangan para ulama. Kecuali hasil produksi hukum yang telah disepakati oleh para ulama secara aklamasi (ijma’), maka dalam konteks seperti ini, Turats tidak boleh tidak, harus diakui dan diterima keabsahaannya. Sebab Ishmah memang tidak diberikan kepada umat manusia secara individual akan tetapi diberikan kepada umat manusia secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang utuh. Karena umat ini tidak akan berkumpul untuk melakukan sesuatu yang menyesatkan[1]. […]

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *