“Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa”
Akhir-akhir ini gelombang revolusi telah melanda beberapa negara di kawasan Timur Tengah. Setelah presiden Mesir, Hoesnie Mubarok dan presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali berhasil digulingkan dari kursi jabatannya oleh para demonstran, gelombang revolusi susulan selanjutnya menjalar ke beberapa negara di kawasan Timur Tengah lainnya; Djibuti, Sudan, Oman, Yaman, Suriah, Yordania, Aljazair, Oman dan Maroko dan Libya. Yang paling heboh, saat ini aksi unjuk rasa yang terjadi Libya. Posisi Moammar Khadafy berada dalam kondisi terancam. kursi jabatannya sedang digoyang oleh para pengunjuk rasa. Dilaporkan sekitar ribuan korban berjatuhan dalam aksi unjuk rasa ini. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dalam catatan sejarah dunia, aksi unjuk rasa untuk menggulingkan pemimpin negara tidak hanya terjadi di Timur Tengah saja. Presiden Mesir dan Tunisia adalah salah satu di antara beberapa deretan pemimpin negara yang dituntut turun dari kursi jabatanya oleh rakyatnya sendiri. Seperti, aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1998-an yang lalu. Saat itu, para demonstran yang terdiri dari kalangan mahasiswa menuntut presiden Soeharto agar turun dari kursi jabatannya. Akhirnya, rezim Soehartopun tumbang.
Dalam instrumen hukum nasional ataupun inernasional rakyat memang memiliki hak kebebasan dalam berekspresi dan berpendapat. Aksi demonstrasi merupakan salah satu manifestasi dari hak asasi manusia tersebut. Dengan dasar HAM ini, rakyat menjadi lebih berani melakukan kritik terbuka terhadap kebijakan-kibijakan pemerintah atau bahkan menggoyang kursi presiden.[1]
Hak memberi nasehat dan memperingati pemimpin juga merupakan bagian dari amar makruf nahi munkar yang dianjurkan agama. Nabi bersabda: “Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa” (HR Bukhari). Dalam al-Qur‘an Allah berfirman: “Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun karena ia telah melampaui batas. Lalu katakanlah untuknya kalimat yang lemah lembut, agar ia ingat dan takut.” (QS. Thaha[20]:43-44). Begitulah perintah Allah kepada Nabi Musa untuk memberi peringatan kepada raja Fir’uan yang terkenal sebagai raja diktator yang suka menindas rakyat.
Dalam melakukan aksi protes kepada pemimpin negara, agama menetapkan aturan main dan rambu-rambu yang harus dipatuhi. Pertama , tidak boleh mencaci maki dan mengumpat sang penguasa. Kedua, Tidak boleh melakukan aksi-aksi anarkis yang sampai mencoreng nama baik pemimpin negara di mata publik. Aturan-aturan ini berdasarakan sabda Nabi Muhammad e, “Barang siapa yang menghina kepala negara di muka bumi, maka Allah kan menjadikannya orang yang hina” (HR Tirmidzi).[2]
Menegakkan amar makruf nahi munkar terhapad penguasa merupakan tradisi para ulama terdahulu. Imam al-Ghazali berkata, para ulama dulu tidak segan-segan menyerukan amar makruf nahi munkar terhadap para penguasa tak peduli hukuman yang akan diterima.[3]
Menggulingkan Kursi Presiden
Selain hak untuk memberi nasehat. Apakah rakyat punya hak melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut pemimpin negara turun dari kursi jabatannya?
Kalau dilihat dari kaca mata agama, rakyat dituntut patuh kepada kepala negara yang sah. Perintah ini tertuang dalam ayat 59 surat An-Nisa’.[4] Dan, pada dasarnya aksi unjuk rasa untuk menggulingkan kursi jabatan pemimpin yang sah merupakan tindakan khuruj (ketidak taatan pada pemimpin) yang tidak dibenarkan. Tetapi, konteks taat pemimpin negara dalam Islam juga ada batasan-batasan tertentu. Seorang pemimpin wajib ditaati selama ia masih berhak menjadi kepala negara. Dengan kata lain, ketika ia sudah menyandang sifat-sifat atau melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan jabatannya copot, lalu ia tetap saja menjabat sebagai kepala negara, maka rakyat memilki hak untuk melakukan aksi protes untuk menggulingkan dari kursi jabatannya, dengang catatan hal itu tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.[5]
Mengenai sebab-sebab tergulingnya presiden dari jabatannya, setiap negara memiliki konstitusi tertentu. Namun secara hukum fikih -sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Jamaluddin dalam karyanya Al-Khilâfah Islâmiyah baina Nadzmil Hukmil Muâsharah– ada tiga sebab seorang pemimpin bisa lengser: Pertama, murtad sebab pemimpin umat Islam haruslah Islam (Surat An-nisa [04]: 141). Kedua , tidak mampu untuk menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Baik karena faktor fisik seperti gila dan tuna netra, atau faktor non fisik seperti pemimpin ditawan oleh orang-orang kafir atau para pemberontak. Ketiga, zalim atau melakukan kefasikan. Mengenai faktor ketiga ini, kalangan fukaha masih berselisih pendapat. Ada yang mengatakan terpecat dengan sendirinya. Ada yang berpendapat tidak terpecat sebelum ada keputusan dari pihak mahkamah konstitusi. Dan pendapat terakhir menyatakan apabila pemipin tidak bertaubat dan memperbaiki kesalahannya maka terpecat dengan sendirinya.[6]
Pada bab selanjutnya, Dr. Jamaluddin menjelaskan beberapa prosedur pemecatan kepala negara. Pertama, dengan memundurkan diri. Prosedur hilangnya jabatan peimpin negara dengan memundurkan diri adalah cara yang absah ketika seorang pemimpin tidak mampu untuk menjalankan tugas-tugasnya sebab sakit lumpuh atau karena untuik meredam gejolak fitnah yang sedang berkobar sebagaimana yang dilakukan oleh Sayidina Hasan.[7] Bahkan Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir menyatakan pemimpin yang secara kaca mata fikih berhak untuk dipecat, ia wajib memundurkan diri dari kursi jabatannya.[8] Kedua, Pemecatan presiden oleh Ahlul Halli wal Aqdi. Ketika presiden berhak untuk dipecat dan ia tidak segera memundurkan diri. Maka Ahlul halli wal Aqdi memiliki wewenang untuk memecatnya. Ketiga, cara ketiga adalah menggulingkan kepala Negara dengan cara khuruj (membangkang), selama tidak menimbulkan fitnah.
Dalam pandangan fikih, rakyat memiliki hak untuk melentangkan suara untuk menggulingkan pemimpin negara yang sudah dinilai tidak lagi berhak menduduki jabatabatannya. Namun hal ini tidak harus dan tidak boleh dilakukan dengan cara kekerasan yang malah akan menyebabkan dampak negatif yang lebih buruk lagi. Apa lagi melakukan aksi perlawanan dengan senjata.
Pada suatu hari Nabi bersabda: “Akan datang suatu masa, dimana umat Islam akan dipimpin oleh penguasa yang selalu melakukan kemungkaran”. Lalu Sahabat bertanya : “Apakah kita wajib mengangkata senjata untuknya wahai Nabi”. “Jangan, selama ia (pemimpin) masih membiarkan kalian salat”. (HR Muslim).
Intinya, melakukan aksi-aksi anarkis dengan melakukan perlawanan bersenjata untuk mengudeta kepempinan penguasa tetap dilarang. Sebab kemungkaran tidak dapat dihilangkan dengan kemungkaran pula. Imam az-Zarqani, salah satu tokoh mazhab Malikiyah, menyatakan tunduk dibawah kepemimpin presiden yang bejat lebih baik dari melakukan perlawanan bersenjata untuk mengudetanya, sebab hal ini akan menambah kekacauan yang lebih parah lagi.[9]
Sehingga dari sini dapat kita pahami, hak rakyat untuk menuntut presiden turun dari kursi jabatannya, harus dilakukan dengan prosedur yang tidak sampai menimbulkan fitnah. Imam Nawawi , berkata, kepala negara yang berhak untuk dopecat, dan bisa untuk dilengserkan dan diganti dengan pemimpin yang adil tanpa melahirkan dampak negatif yang lebih besar dan pertumpahan darah, maka rakyat berhak untuk melengserkannya.[10] Wallahu A’lam.
Oleh: Achmad Zahrie Ms, alumni Pondok Pesantren Sidogiri asal Pamekasan
[1] Kebebasan berpendapat tertuang dalam Pasal 28E ayat (2) dan (3). UUD 1945
[2] Al-Allamah Abdur Rouf al-Manawi, Faidhul Qadir ; Daar Kotob Bairut, cet I 1994, vol 2, hlm. 415
[3] Abu Hamid al-Gazali, Ihyâ Ulûmuddîn: Darr Kotob Bairut, vol II, hlm.
[4] Imam Mawardi, Ahkâmuss-sulthaniya hal. 15
[5] Abd Qadir Audah, Tasyrî’ al-Janâ’i al-Islâmi: Darr Kotob, vol I, hlm. 109
[6] Majmû’ Syarhil Muhadzdzab, vol 19, hlm. 193.
[7] Asanal Mathâlib 19/385
[8] Al-Jamiul Ahkâm li Ahkâmil Qur`an, vol 1, hlm. 272
[9] Syarhul Muwaththa’ juz 2 hal. 262
[10]Imam Nawawi, Raudhatuthâlibin, juz 6 hlm. 321
[…] Dalam instrumen hukum nasional ataupun inernasional rakyat memang memiliki hak kebebasan dalam berekspresi dan berpendapat. Aksi demonstrasi merupakan salah satu manifestasi dari hak asasi manusia tersebut. Dengan dasar HAM ini, rakyat menjadi lebih berani melakukan kritik terbuka terhadap kebijakan-kibijakan pemerintah atau bahkan menggoyang kursi presiden.[1] […]