Syekh Abdurrahman Bajalhaban memiliki istri yang buruk akhlaknya. Suatu ketika beliau meninggalkan sang istri ke suatu gua, yang konon karena tidak tahan dengan perlakuan istrinya itu. Syekh Abdurrahman menjumpai dua orang lelaki yang juga berdiam di gua tersebut. Beliau meminta untuk berteman, tetapi keduanya mengajukan satu syarat. Syekh harus menyiapkan makanan secara bergilir sesuai jadwal, Syekh pun sepakat.
BACA JUGA:
Mereka Adalah Generasi Kita
Ketika kedua orang lelaki tersebut sampai pada gilirannya, mereka melakukan shalat dan berdoa, seketika turun makanan dari langit. Syekh Abdurrahman kebingungan, begitu hebat temannya itu. Saat giliran beliau tiba, Syekh Abdurrahman Bajalhaban meniru kedua orang tadi, beliau shalat dan berdoa kemudian berdoa, seperti yang mereka lakukan. Menakjubkan, makanan yang turun dari langit lebih banyak daripada milik dua lelaki sebelumnya. Keduanya heran, “Wahai Syekh, kepada siapa engkau bertawassul?” Tanya salah satu dari keduanya.
Syekh Abdurrahman menjawab, “Aku tidak akan memberitahu kalian kepada siapa aku bertawasul sebelum kalian memberitahuku terlebih dahulu, siapa yang kalian jadikan objek tawassul.”
BACA JUGA:
Generasi yang Nyaris Kehilangan Ibu
Keduanya serentak menjawab, “Syekh Abdurrahman Bajlhaban. Beliau adalah wali yang kami tawassuli. Beliau memiliki maqam yang tinggi di sisi Allah karena kesabaran beliau terhadap istrinya yang jelek perangainya.”
Syekh Abdurrahman kaget mendapati jawaban dari dua temannya, yang ternyata berhubungan dengan dirinya. Beliau pun pulang dan menceritakan kejadian tersebut kepada istrinya. Semenjak itu istri beliau bertaubat dari kejelekan perangainya.
As-Syamsul Munirah fil Masail al-Fiqhiyah al-Multaqathah min ‘Iddati Kutubisy-Syafi’iyah fin Nikah, karangan Habib Ali bin Hasan Baharun (Hal. 295)
Penulis: Muhammad Faqih
Penyunting: Muhammad Ilyas