Melihat keteladanan Rasulullah adalah suatu keistimewaan berarti bagi kalangan tersendiri. Disebut kalangan tersendiri karena mereka tidak melihat dengan matakepala, melainkan hati yang jernih yang tidak mempunyai perasaan jelek sedikit pun kepadanya.
Sahabat Abu Bakar misalnya. Sahabat yang pertama masuk Islam dari kalangan laki laki. Sahabat yang pertama mempercayai Isra’ Mi’raj. Sahabat yang yang di patuk ular untuk menyelamatkan nabi disaat bersembunyi di gua Hira’ karena dikejar oleh kafir Quraisy Makkah. Sahabat yang rela menyakiti dirinya sendiri demi Rasulullah, seorang yang sangat dicintainya.
Menurut sahabat Abu Bakar, bahwa melihat Rasulullah adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa. Karena beliau pernah berkata; “Tiga hal yang aku sukai melebihi dunia dan isinya. Salah satunya adalah melihat Rasulullah. Atau salah satu pengemis di depan pasar Madinah yang selalu mencaci maki Rasulullah, bahwa beliau adalah seorang pembohong. Akan tetapi Rasulullah dengan senang hati menyuapinya dengan menghaluskannya terlebih dahulu. Dan disaat Rasulullah wafat Abu Bakar menggantinya dengan suka rela, akan tetapi disaat makanan tersebut sampai pada mulut si pengemis dia memuntahkannya dan berkata; “Menyingkirlah, karena kamu bukan orang yang menyuapiku selama ini. Tak terasa Sahabat Abu Bakar membuat aliran sungai yang kecil dipipinya dan beliau berkata; “orang yang menyuapimu selama ini telah wafat, dia adalah Rasulullah”. Lalu pengemis itu pun takluk di hadapan abu Bakar dan masuk Islam.
Mungkin perasaan menggebu-gebbu juga dirasakan oleh Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi dalam satu pengantar Simtud Durar untuk didokumentasikan oleh muridnya; “Semakin aku berusaha keras untuk menggali kesempurnaan Rasulullah semakin aku tak mampu untuk mengekspresikannya dengan kata kata”.
Bukan dari kalangan muslim saja, bahkan dari kalangan orientalis juga sepakat dengan hal ini. Ada salah satu biarawati yang akhirnya pindah profesi menjadi peneliti agama dunia bahkan ia mengarang judul khusus tentang keistimewaan Nabi Muhammad yang tentunya banyak tidak dimiliki oleh manusia biasa.
Yang terpenting di sini bukan terletak pada ketinggian ilmu yang di miliki para penulis kepribadian Rasulullah, akan tetapi dengan cinta mereka yang lebih pada sosok Rasulullah. Secara akademis seseorang tidak bisa menilai yang fair tentang satu sosok jika ia tidak menghayati secara mendalam terhadap sosok yang ia tulis. Apalagi sosok tersebut adalah Rasulullah.
/Tafaqquhat