Diskursus seputar nasionalisme pada saat ini kembali menemukan momentumnya untuk mendapatkan perhatian yang lebih serius. Perkembangan mutakhir dan feneomena negeri yang telah sama-sama kita saksikan memang menunjukkan tanda-tanda serius, di mana telah ada banyak orang yang gagal paham tentang nasionalisme ini, atau menyelewengkan fungsinya pada yang tidak semestinya. Penulis melihat, persoalan nasionalisme ini perlu dibicarakan ulang setidaknya karena hal-hal berikut.
Pertama, banyak kelompok yang hanya menjadikan isu nasionalisme sebatas sebagai komoditas politik belaka. Pada saat berkampanye, mereka mengaku sebagai kelompok yang paling nasionalis, dengan menghamburkan janji-janji yang senafas dengan semangat nasionalisme. Hingga pada saat mereka sudah menduduki puncak kekuasaan, mereka malah rajin menjual aset-aset negara, rajin membebani negara dengan utang-utang luar negeri, serta rajin membanjiri negeri dengan para pekerja impor, sedang pada waktu yang sama anak bangsa banyak yang tidak memiliki lapangan pekerjaan.
Kedua, sebagian kelompok menjadikan isu nasionalisme sebagai senjata untuk menghantam lawan-lawan mereka – sekaligus menjilat pada penguasa. Mereka mempersekusi ulama karena dipandang tidak nasionalis, menyuruhnya untuk mencium bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum memberikan pengajian, memaksa untuk menandatangani pernyataan tertentu, menuduh kelompok lain sebagai radikal dan berpotensi melakukan makar, hanya karena mereka rajin mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak bijak.
Memang secara de facto harus diakui bahwa yang paling banyak mengritik kebijakan-kebijakan penguasa yang dinilai merugikan rakyat itu adalah para ulama. Ketika para ulama bangkit, maka secara otomatis umat juga akan ikut bangkit. Tentu, ini akan sangat meresahkan bagi sebagian kalangan yang merasa khawatir dengan posisi dan kekuasaan mereka, dan karena itu isu makar dan nasionalisme akhirnya secara terpaksa dilemparkan untuk menyerang barisan orang-orang kritis ini.
Namun, menuduh umat Islam, atau sebagian dari mereka, sebagai tidak nasionalis hanya karena kritis terhadap penguasa, atau karena memiliki haluan politik yang berbeda dengan penguasa, tentu tidak tepat sasaran dan salah penempatan, setidaknya karena beberapa faktor.Topik Utama – ISLAM DAN NASIONALISME
Kajian – ALAWIYUN
Editorial – ATAS NAMA NKRI
Wawancara – HABIB LUTHFI BIN ALI BIN YAHYA “Santri nasionalis sejak sebelum kemerdekaan”
Bahtsul Masail – HUKUM TRANSAKSI INTERNET MARKETING
Sakinah – MENYIKAPI HOAX PADA KELUARGA
Rihlah – TOKOH-TOKOH DIKTATOR DUNIA#sidogirimedia @sidogirimedia
Segera! Sidogiri Media edisi 134
http://bit.ly/PesanWa